oleh Deri Hudaya
“Pesan” dan “tren”. Dari keisengan berbahasa itu saya sadar, pada masanya pesantren memang pernah jadi pusat dari pesan-pesan penting. Maksudnya, pusat dari penyebaran pengetahuan. Era Islamisasi tersebut berlangsung tidaklah sebentar—bahkan ratusan tahun—setelah era Hindu-Budha melemah dan sebelum pendidikan ilmiah ala Barat menguat di nusantara. Saya tidak berani menulis kurun waktu yang pasti, saya ada di antara mereka yang tidak terlalu saklek percaya dengan catatan resmi mengenai periodisasi sejarah, terlalu banyak versi dan kontroversi tentangnya.
Bagaimanapun pesantren masih bertahan hingga sekarang. Beda dengan di negara-negara Barat, ketika pendidikan modern yang sekuler itu mapan, bentuk pendidikan religius benar-benar ditinggalkan. Gereja dan perpustakaannya alih fungsi jadi museum atau tempat wisata. Di nusantara sendiri pesantren memang bukan lagi pusat dominasi pendidikan, tetapi bergeser menjadi pendidikan alternatif. Sekalipun demikian, pengaruhnya di luar pendidikan formal tak bisa disepelekan.
Menjelang pemilu banyak pesantren akan disibukan oleh tamu—mereka yang hendak mencalonkan diri dalam pemilu, baik di legistlatif maupun di eksekutif. Istilahnya memohon restu atau bimbingan spiritual. Pesantren jadi salah satu kekuatan utama di wacana politik, yang mana bisa terbaca dalam jargon: “Suara rakyat, suara Tuhan.” Dengan sendirinya para bakal calon terdidik sejak awal, paling tidak untuk memiliki kepekaan terhadap kondisi pesantren.
Yang tidak pernah berubah dari tubuh pesantren adalah kesan religius yang ketat. Hal itu membuatnya dilekati stereotip tertentu. Mereka dianggap tertib, disiplin, bahkan terlampau konservatif. Anak muda dengan celana jeans bolong-bolong akan sungkan untuk memasuki pintu gerbang pesantren. Pemikir bebas akan berhati-hati jika diundang diskusi di madrasahnya. Pengamen bisa saja takut memasuki area pesantren karena pernah melihat video santri dan ulama yang sedang beramai-ramai menghancurkan gitar.
Setiap stereotip tentu saja bisa dipertanyakan. Stereotip mengambil kesimpulan dari sampel-sampel yang tidak memadai. Alhasil, stereotip tidak bisa mewakili kenyataan sebenarnya. Begitu juga stereotip umum terhadap pesantren, mudah untuk dibantah. Pesantren terlalu banyak macamnya dan tidak bisa disamaratakan. Aminul Ummah (Aminulum) yang ada di Wanaraja, Kabupaten Garut, adalah pesantren yang sejak permukaan tampak tidak cocok dengan stereotip umum tersebut.
Aminulum
Situs pendidikan ini tidak membatasi diri dengan pagar, tidak juga dengan gerbang kokoh karismatik. Masyarakat sekitar bebas berlalu-lalang di tengah area pesantren: petani, pengangkut batu bata, kanak-kanak, pedagang keliling, dst. Beberapa ustad yang mengajar di sana tidak sering memakai jubah dan serban. Malahan, mereka bisa mengajar santri dengan hanya memakai celana jeans dan kaus. Salah satu perancang kurikulum, Sabiq, memang senang bersarung, pakai peci hitam, kaca matanya tebal, tetapi kaus yang dipakainya selalu kaus musik: Homicide, Burgerkil, dll.
Kesan kolot menguap begitu saja dari kepala mahasiswa jurnalistik Uniga begitu mereka tiba di Aminulum. Sebagian mereka cengar-cengir, sebagian lagi geleng-geleng kepala. Saya sengaja mengajak mereka untuk liputan selama dua hari, 3 dan 4 Juni lalu. Sebelumnya, mereka sibuk bertanya di kelas: harus pakai pakaian apa, apa saja yang ditabukan. Tentu saja mereka bertanya dengan wajah agak tegang. Pada awalnya mereka pun dibayang-bayangi stereotip tentang pesantren.
Di Aminulum, nilai-nilai konservatif diajarkan tapi juga dipertanyakan dengan cara menyediakan referensi yang tidak satu frekuensi. Para santri tidak hanya diwajibkan membaca kitab-kitab, tidak hanya membaca buku pelajaran sekolah, tetapi juga mesti membaca sastra dengan genre realisme sosial—sebuah genre dari alam pikiran sekuler dan kiri. Ridwan Malik, sarjana sastra dari UIN Yogyakarta, penanggung jawab bidang literasi, tidak tergoda menempatkan teks sastra kiri sebagai doktrin. Ia menggunakannya semata-mata sebagai pembanding agar peserta didiknya tidak fanatik terhadap corak pikiran tertentu. Apakah itu yang dimaksud dengan pendidikan yang membebaskan? Sementara ini saya belum berani menarik kesimpulan.
Sebagai gambaran, saya menawarkan kasus Animal Farm karya George Orwel yang jadi salah satu bacaan wajib santri. Novel ini berbicara tentang revolusi masyarakat kelas bawah yang berhasil menumbangkan pemimpin otoriter. Sialnya, ketika perwakilan kelas bawah memegang kekuasaan, ia menjelma pemimpin otoriter baru. Kisah ini disimbolkan dengan pertentangan petani dan binatang ternak.
Jika di kampus, novel ini telah jadi bacaan lumrah di kalangan aktifis. Tokoh fiksional dalam cerita dicarikan kesamaannya langsung dengan tokoh di kehidupan nyata. Tensi diskusi novel lekas meningkat begitu muncul kesadaran bahwa orang-orang di sekitar ternyata memiliki karekter politis seperti dalam karangan Orwel. Mahasiswa bisa membacanya dengan kritis sekaligus sarat beban.
Pembacaan tersebut tidak begitu kentara di Pesantren Aminulum. Siswa SMP lebih bisa membacanya dengan bersih tanpa mencari keterkaitannya di dunia nyata. Fiksi adalah fiksi. Karena tokohnya banyak berasal dari binatang, mereka menyamakan karya Orwel tersebut dengan dongeng tentang si kancil, kura-kura dan monyet, dan cerita folklor lain. Saat santri menceritakan kembali pengalaman membaca—saya menontonnya di Youtube Aminulum—saya tergelak kaget, kagum, sekaligus sadar: novel ideologis bagi pelajar tidak seberbahaya yang dibayangkan kaum kolot. Anak sekolah punya cara membacanya sendiri.
Barangkali mereka akan memahami muatan ideologinya di kemudian hari, ketika berhadapan langsung dengan konflik di masyarakat seperti dalam pembacaan yang kerap dilakukan mahasiswa. Di saat membacanya, mereka bisa menikmati seutuh dunia imajiner yang boleh-boleh saja dilepaskan dari kenyataan, kalem dan tanpa beban, tanpa tendensi macam-macam. Mahasiswa terkadang membaca novel itu kelewat marah. Bukan saja tokoh dan konfliknya serupa dengan apa yang sering mereka hadapi, tapi juga didorong kedongkolan pada diri sendiri: kenapa baru membacanya setelah dewasa dan pikirannya telah begitu rumit, telah begitu sesak dengan tanggung jawab sosial.
Creative Boarding School
Selain sastra, Aminulum memiliki klub kreatif seperti musik, teater, artistik. Semua itu menjadi fasilitas bagi santri untuk menggali minat dan bakatnya masing-masing. Apabila di sekolah formal klub seperti ini diposisikan sebagai ekstrakurikuler—penghalusan dari “bukan kurikulum utama”—di Pesantren Aminulum, justru inilah bagian inti, sesuai dengan konsep yang mereka usung: creative boarding school.
Sabiq Gidafian Hafidz, Harik Giarian Hafidz, Muhamad Abdillah, dan Ridwan Malik adalah generasi baru pendidik di Aminulum. Mereka mulai menggunakan kurikulum independen berbasis kreativitas sejak tahun 2021. Di Yogyakarta, tempat mereka pernah mengenyam pendidikan sarjana, ada perbedaan tegas antara kopi-susu dan susu-kopi. Secara hierarkis kata yang diletakkan di depan lebih dominan dibanding kata berikutnya. Begitu juga keadaan di Aminulum, sebab kata kreatif diletakkan paling depan, maka kreativitas lebih pekat dibanding formalitas.
Saya ingat tulisan pada topi yang sering dikenakan Harik, pengasuh klub musik. Frasa itu pendek, tapi imajinasinya jauh ke gerakan pembebasan Zapatista di Meksiko. Di sana teks sastra yang bebas tafsir dijadikan senjata untuk membebaskan pikiran gerilyawan dari segala doktrin, dari teks-teks bernuansa formal dan resmi yang tak bebas tafsir. Tulisan di topi Harik jadi semacam kode —kode keras— dari gerakan kreatif di pesantren Aminulum. Terjemahan umumnya ialah kesadaran bahwa kata-kata merupakan senjata. Bunyinya: Ya basta!
Hampor, 30 Juni 2023
Deri Hudaya, dosen di Ilmu Komunikasi Uniga. Selain mengajar ia juga menulis karangan sastra. Buku puisi terbarunya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya (2020).