Ono Surono: Perkuat Nasionalisme Melalui Budaya Daerah
KAPOL.ID – Pagelaran Virtual Wayang Golek Rampak Dalang Putra Giri Harja “Semar Lakon” dilakukan secara hybrid oleh Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan Jawa Barat, Sabtu 26 Februari 2022 malam.
Karya tersebut, dipentaskan oleh dalang Dadan Sunandar Sunarya, Yogaswara Sunandar dan Bhatara Sena Sunarya.
Sementara, hiburan dari Ade Batak dan Jenong serta ditayangkan melalui akun resmi Youtube @bknppdiperjuangan.
Acara tersebut, merupakan bagian dari rangkaian acara HUT PDI Perjuangan ke-49.
“Alhamdulillah pagelaran wayang yang digelar PDI Perjuangan Jawa Barat ini mendapat antusias masyarakat yang cukup tinggi. Saat ditayangkan di youtube channel penontonnya mencapai 58.864,” kata Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Ono Surono dalam Siaran Pers, Senin 28 Februari 20202
Sebelum membahas lebih jauh soal wayang, Ono mengungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) lahir dan berdiri berkat nasionalisme.
Sebelum berdiri formal pada tahun 1945, Indonesia belum ada.
Saat itu yang ada adalah bangsa-bangsa yang mempunyai corak budayanya masing-masing. Ketika Indonesia tegak berrdiri, bangsa-bangsa yang ada bermetamorfosis menjadi suku-suku bangsa.
Menurutnya, sangat jelas bahwa Indonesia merupakan kesatuan kultural, gabungan suku-suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing.
Ternyata, imbuh Ono, nasionalisme itulah yang memersatukan berbagai suku bangsa menjadi satu bangsa.
Maka sesungguhnya nasionalisme Indonesia seperti kata Bung karno adalah nasionalisme yang berakar pada budaya-budaya daerah dan budaya-budaya suku bangsanya.
“Sifat keberagaman ini sepantasnya tetap terjaga, eksis bersama, tumbuh kembang bersama pula. Lenyapnya atau tertekannya satu unsur budaya tertentu akan menyebabkan sakitnya kebudayaan dan peradaban kita sebagai satu keutuhan, sebagai satu bangsa. Bhinneka ngajadi eka, ngadegna Pancasila anu jadi dasar nagara,” ujar anggota Komisi IV DPR RI ini.
Ono mengungkapkan wayang merupakan salah satu warisan budaya dari nenek moyang yang memiliki arti kata bayang, yang artinya sesungguhnya adalah bayangan atau penerawangan untuk masa yang akan datang.
Wayang dipandang sebagai suatu bahasa simbol dari hidup dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah.
Orang melihat wayang seperti halnya melihat kaca rias.
Jika orang melihat pagelaran wayang, yang dilihat bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat di dalam lakon wayang itu, yaitu diri kita
sendiri.
“Sehingga dalam bahasa Sunda menonton wayang itu ngeunteng atau ngaca diri. Posisi wayang sebagai produk kebudayaan bangsa kita, sekarang ini posisinya makin terdesak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal,” ungkapnya.
Ia menjabarkan faktor internal, antara lain, sulitnya memahami wayang bagi generasi mutakhir, sebagai akibat semakin ditinggalkannya bahasa daerah karena kecenderungan berbahasa asing dalam kehidupan sehari-hari.
Hal lain, sambungnya, adalah faktor eksternal yaitu masuknya nilai-nilai budaya dari luar yang kemudian lebih populer ketimbang wayang, seperti musik, tarian dan film.
Ono menyebut, ada pula, upaya mendelegitimasi wayang sebagai seni tuntunan hidup, penghilangan wayang dalam sejarah peradaban bangsa ini sama artinya dengan menghilangkan keluhuran peradaban bangsa warisan dari para leluhur bangsa.
“Upaya mengaburkan sejarah bahkan melenyapkan sejarah khususnya wayang adalah model penjajahan gaya baru, dengan cara menghilangkan dan memanipulasi kesadaran masyarakat. Pertanyaan yang sewajarnya muncul ialah, apakah wayang akan mampu bertahan menghadapi gempuran-gempuran dari dalam dan dari luar yang membanjir ??? Jawabannya tergantung kita. Apakah kita mau sejarah peradaban nusantara dengan produk wayangnya hilang dari bumi Indonesia atau tidak?” cetus Ono.
Ono yakin, apa yang ia rasakan sama dan sejalan dengan seluruh masyarakat Jawa Barat yang tidak ingin warisan budaya adiluhung bangsa dalam kesenian wayang itu harus hilang atau dimiliki bangsa lain.
“Inilah warisan kita semua! Ini warisan yang harus kita jaga bersama.Demi generasi berikut agar mereka tau, faham dan bangga dengan sejarah bangsanya. Mereka harus bangga terhadap pagelaran wayang yang sarat akan pitutur dan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Tradisi apa pun dengan nilai adiluhung seperti apa pun, akan memudar, manakala ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Tapi hari ini kita yakinkan dalam bathin kita, kita akan jaga dan mulyakan wayang dan seni tradisi nusantara yang mulai memudar,” tegasnya.
Lebih jauh Ono mengatakan, banyak orang membicarakan wayang dari segala aspeknya, mulai dari aspek seni rupa, seni drama, seni sastra, seni musik, seni tari, maupun dari aspek filosofisnya.
Menurut Ono, semua tahu bahwa wayang memang merupakan gabungan dari berbagai jenis kesenian yang mengandung nilai luhur (adiliuhung).
Meskipun demikian wayang tidak bisa dipandang sebagai kesenian yang melulu milik kaum feodal ataupun kaum berpunya.
Sebab, lanjutnya, wayang dipentaskan secara terbuka, tanpa tiket yang harus dibeli dan seluruh lapisan masyarakat berpeluang ikut menikmatinya.
Sebab dari segi seni rupa, wayang mempunyai bobot yang tidak ringan. Dari segi sastra, wayang memiliki kecanggihan yang luar biasa.
“Dari segi seni musik, wayang memiliki harmonisasi nada bertaraf tinggi. Dari segi seni drama, wayang juga didukung oleh dramaturgi yang klasik, unik menarik. Dari segi filosofi, wayang mengandung nilai-nilai filosofis, filsafat dalam wayang juga sangat mementingkan nilai-nilai keruhanian. Kultur wayang bagaimana pun bentuknya tidak akan bisa dipahami, apalagi dinikmati, tanpa mengerti bahasanya. Dalam wayang bahasa bukan hanya sekadar pengantar, tetapi bahasa itu sendiri sudah merupakan wujud seni yang menunjukkan cita rasa peradaban tinggi,” paparnya.
Saat ini, ujar Ono, sistem pendidikan kita tidak mengacu kepada penghormatan nilai-nilai kultural, termasuk seni tradisi.
Kita, imbuhnya,tidak mempunyai ruang intelektual dari mulai pendidikan dasar untuk mengingatkan bahwa nilai-nilai tradisi itulah yang telah teruji waktu, melekat dalam cara hidup bangsa kita, dengan kandungan kearifan yang membuat kita tetap eksis mengarungi ujian zaman.
Menurutnya, eksistensi wayang bukan hanya terganggu oleh pendangkalan makna dan estetika belaka bagi masyarakat sekarang.
Tingginya kualitas seni, dalam tataran bahasa dan filosofinya, juga mempersulit pemahaman kebanyakan orang awam.
“Jadi masalah kualitatif itu juga merupakan kendala tersendiri. Sehingga peran dalang akan menentukan dan berpengaruh terhadap kualitas pentas wayang dalam masyarakatnya. Salah satu ciri khas wayang sebagai teater tradisional adalah keterbukaannya terhadap kemungkinan berimprovisasi,” ujarnya. ***