TAHUN 2019 menjadi sejarah kelam perjalanan pemerintahan di Tasikmalaya baik di Kota maupun Kabupaten. Peristiwa kelam dan memilukan itu adalah munculnya beberapa kasus korupsi yang terjadi di pusaran (pucuk tertinggi) pemerintahan.
Mulai dari kasus korupsi dana hibah yang melibatkan Sekretaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya (kini sudah vonis), kemudian ditetapkannya Walikota Tasikmalaya sebagai tersangka atas dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan jalan dan jembatan Ciawi-Singaparna yang kini membelit para pejabat di Kabupaten Tasikmalaya.
Kita khawatir terdapat praktik-praktik korupsi lain yang belum terungkap, sehingga itu hanya bagian kecil saja dari sekian kasus yang muncul kepermukaan. Namun mudah-mudahan tidak ada lagi.
Peristiwa – peristiwa tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata, hal ini merupakan masalah penting serta krusial bagi masyarakat Tasikmalaya pada umumnya yang dikenal sebagai Kota Santri ( kota dengan nila-nilai relijius).
Korupsi bagaikan fenomena gunung es, bisa jadi banyak “tabir lain yang belum tersingkap”. Namun ini dapat dijadikan refleksi bagi semua pihak, mungkin saja kasus-kasus yag nampak di permukaan itu semua adalah cermin dari praktik pemerintahan selama ini yang dilakukan hingga pada level terendah. Sekali lagi, mudah-mudahan keliru.
Apa faktor penyebabnya? Orang pada umumnya mengatakan karena biaya politik (political cost) bagi seorang kepala daerah maupun pejabat lainnya itu mahal. Pertanyaannya mengapa mesti berkontestasi bila keberatan dengan beban biaya yang tinggi itu.
Kemudian, bagi seorang penyelenggara negara atau aparatur sipil negara, mungkin beralasan bila hanya mengandalkan gajih tidak akan cukup, pengamanan serta promosi jabatan atau lainnya.
Lalu mengapa memutuskan untuk menjadi abdi negara jika niatnya untuk memperkaya diri sendiri. Maka alasan-alasan demikian menjadi sangat tidak relevan saat dikemudian hari perbuatannya (korupsi) itu menjadi sebuah tindak pidana (strafbaar feit) yang di proses oleh aparat penegak hukum.
Korupsi ibarat penyakit akut yang sulit untuk disembuhkan. Korupsi menyertai perkembangan pemerintahan dari masa ke masa, mungkin dapat dikatakan seiring sejalan perkembangannya dengan perjalanan sejarah kekuasaan.
Oleh sebab itu sejak dulu Plato (427 SM – 347 SM) sudah mengatakan gagasannya “para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang harus, kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara.”
Korupsi adalah perbuatan busuk, diartikan pula kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary). Namun anehnya prilaku demikian terus menerus diulang-ulang oleh manusia.
Dan saya yakin mereka yang melakukannya itu kebanyakan adalah orang-orang yang memiliki kedudukan sosial serta kapasitas intelektual yang cukup tinggi. Akan tetapi lagi-lagi intelektual serta kedudukan seseorang belum tentu berbanding lurus dengan kualitas moral (integritas) seseorang.
Saking hinanya perbuatan korupsi sudah menjadi bagian prilaku yang sangan dilarang dalam ajaran islam. Dalam konsep islam korupsi memilik beragam istilah seperti Ghulul (penyalahgunaan jabatan), Syariqah (mencuri sembunyi-sembunyi), termasuk pula Risywah (suap).
Bahkan untuk perkara suap dan atau gratifikasi, telah disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi, “arrosyi wal murtasyi fin nnaar” artinya yang memberi suap dan yang disuap sama-sama masuk neraka.
Dalam hukum positif, itu semua dikenal dengan istilah tindak pidana korupsi (dengan beragam bentuknya) yang diatur didalam Undang-undang 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saya meyakini saat orang mencoba masuk pada ruang publik atau menjadi pejabat serta terlibat dalam pengelolaan dana publik (anggaran negara) semestinya terbersit sejak awal.
Mereka harus sudah membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup berkaitan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara atau daerah serta membekali dirinya dengan integritas yang tinggi. Sehingga di akhir kemudian, tidak keluar kalimat seperti “saya khilaf”, “saya dijebak dan dipaksa” atau kalimat dengan nada-nada penyesalan lainnya.
Pada sisi lain, masyarakat harus benar-benar mendukung terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan membangun budaya anti korupsi mulai dari hal-hal yang sangat kecil disekitar kita.
Tidak bersikap pasif serta permisif terhadap segala hal yang bernilai koruptif. Akhir kalimat tidak ada toleransi (zero tolerance) untuk tindak pidana korupsi. Mari saatnya kita kembalikan predikat Kota Santri yang salah satu upayanya adalah mewujudkan Tasikmalaya menjadi Zona Anti Korupsi. Amin
Tasikmalaya, 15 Mei 2019 (10 Romadhon 1440 H)