Ihya M Kulon, S.IP
Pengajar Ilmu Sosiologi
Sudah cukup lengkap tulisan yang membahas baik latar belakang, profesi, maupun aktivitas-aktivitas lain masing-masing sosok dari empat pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tasikmalaya yang telah lulus tahap demi tahap persyaratan pencalonan, yang pemilihannya digelar pada 9 Desember 2020 mendatang.
Tidak sedikit pula yang menulis cukup tajam dengan melihat dari sisi dinamika politik dalam koalisi partai-partai politik, legalitas pencalonan menurut peraturan-peraturan partai politik, kualitas serta konfigurasi politik masing-masing pasangan calon, realitas politik di wilayah pesantren, bahkan tentang pilkada di masa pandemi Covid-19 saat ini, yang semuanya sangat menarik dibaca.
Kini tinggal giliran masing-masing pasangan calon menunggu jadwal kampanye yang halal untuk mengumpulkan massa dari kantong-kantong suara yang sudah mereka bina selama ini lewat kampanye-kampanye silaturahmi dalam bentuk kunjungan-kunjungan khusus dan sangat pribadi ke institusi-institusi tertentu yang terpilih, pada tokoh-tokoh lintas-lokal yang berpengaruh, serta komunitas-komunitas penting yang memiliki daya efek-domino lebih dalam rangka sosialisasi atau mengenalkan diri sebagai calon idaman hati masyarakat yang –sudah pasti– hanya sedikit melanggar aturan yang sudah disetujui. Tetapi tidak terlalu melanggar dari sisi gairah politisi.
Agen-Agen Kampanye
Tokoh-tokoh agama dari pondok-pondok pesantren yang tersebar luas di wilayah Kabupaten Tasikmalaya terutama, merupakan tumpuan terbesar yang paling potensial bagi para calon dapat mendulang suara sebanyak-banyaknya, — di samping lumbung-lumbung suara dari institusi-institusi non-agama serta komunitas-komunitas besar lainnya.
Kunjungan-kunjungan silaturhami para calon pada tokoh-tokoh agama yang memiliki pengaruh besar itu, dimaksudkan agar kemudian para tokoh agama bersedia menjadi agen-agen kampanye mereka.
Keempat pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati memahami benar bahwa politik dan agama untuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya khususnya, merupakan realitas yang tidak dapat dipisahkan.
Kemampuan merangkul dengan cara politik yang paling bijaksana hingga mendapatkan restu yang tulus dari para tokoh agama tersebut, menjadi kunci kemenangan yang penuh berkah.
Terlebih jika pandemi Covid-19 dinyatakan masih berbahaya bagi kampanye-kampanye terbuka dan tertutup yang akan dijadwalkan, maka peran tokoh-tokoh agama sebagai agen-agen kampanye menjadi paling utama.
Karena bisa dipastikan akan dihindari suguhan panggung-panggung hiburan rakyat dalam bentuk pentas musik dangdut yang biasa ditampilkan. Kecuali suguhan panggung-panggung tausyah yang akan sulit dihentikan, apa lagi sampai dibubarkan.
Sensasi Agama
Media sosial Facebook menjadi sarana kampanye bagi para calon yang paling gencar digunakan, yang dikelola oleh para tim sukses masing-masing, dan sementara ini dipercaya memiliki efek besar dalam menjangkau, menjaring, serta mempengaruhi partisipasi politik generasi muda sebagai pemilih awal yang potensial.
Penggunaan bentuk kampanye satu ini bukan hanya murah, juga dianggap lumayan luas sebarannya –walaupun terbatas isinya–, dan efektif. Terutama untuk menampilkan gambar-gambar calon, jargon-jargon kampanye, serta visi-misi yang dipersingkat yang hendak dituju para calon.
Sering kali sensasi agama dimunculkan dalam setiap postingan-postingan guna menarik hati –atau dengan kata lain upaya menghipnotis– masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang religius.
Namun dalam kenyataannya, sensasi agama yang sering ditampilkan di dunia maya Facebook kecil sekali mendapatkan tanggapan, atau tidak signifikan untuk mendulang suara pemilih.
Beberapa survey membuktikan bahwa pengguna facebook kebanyakan tidak terlalu berminat pada nilai-nilai keagamaan, termasuk sensasi agama yang disuguhkan oleh para tim sukses pada calon-calon mereka di dunia yang instan itu.
Para Duta Agama
Keberadaan para duta agama penting secara politik. Artinya, warga Kabupaten Tasikmalaya hampir selalu memiliki perasaan kedekatan dengan kelompok keagamaan tertentu, kelompok Nahdatul Ulama (NU) misalnya, dimana mereka terlibat dalam praktek keagamaan dengan frekuensi yang tinggi, dibandingkan keterlibatan mereka dalam politik.
Karena itu mengembangkan tema kampanye politik dengan menggunakan citra keagamaan sangat tepat. Terlebih lagi seruan-seruan keagamaan itu ditransformasikan kepada tokoh-tokoh dari institusi-institusi keagamaan atau pondok-pondok pesantren yang memiliki pengaruh besar terhadap keterlibatan masyarakat luas. Para duta agama dengan institusi-institusi keagamaannya sudah mewakili identitas kelompok warga masyarakat yang akan memilih calon yang direstui.
Jika di mata para calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tasikmalaya memainkan instrumen agama dalam kampanye untuk menarik simpati warga masyarakat karena adanya persamaan kepentingan, hal itu salah besar.
Agama adalah sesuatu yang dijalankan orang-orang secara publik maupun privat, dimana setiap hari mereka berdoa kepada Tuhan, belajar mengaji dan mengkaji berbagai persoalan kehidupan, mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan, serta merumuskan pemikiran-pemikiran bagi desain dan tujuan sistem-sistem politik, dari para duta agama mereka.
Tasikmalaya, 26 September 2020