Oleh Nizar Machyuzaar
Ihwal Meme
Istilah meme berasal dari kata mimeme (Yunani kuno) yang berarti imitasi/tiruan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang biolog bernama Clinton Charles Dawskin dalam buku The Selfish Gene (1976).
Dawskin menganggap bahwa evolusi biologi dengan gen sebagai entitas terkecil yang mengalami seleksi alam ditemukan pula dalam evolusi budaya. Dia merasa perlu membuat istilah dalam satu suku kata sebagaimana gen. Meme –yang diambil dari suku kata pertama mimeme–, menjadi pilihannya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) meme didefinisikan dalam dua batasan. Pertama, meme adalah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya. Dari definisi ini dapat dikatakan bahwa segala bentuk peniruan yang menjadi kebiasaan yang diwariskan (budaya) dapat dimasukan ke dalam meme.
Kedua, meme adalah cuplikan gambar dari acara televisi, film, dan sebagainya atau gambar-gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur. Dari definisi kedua ini meme cenderung dimaknai dengan sempit sebagai cuplikan gambar yang tujuannya melucu atau menghibur saja.
Padahal, di era teknologi informasi ini, sebuah informasi yang tersebar di internet (konten), terutama yang sedang menjadi perhatian warganet/netizen (trending topik/viral) mirip dengan penyebaran virus. Proses penyebaran konten viral (replikasi) melalui jejaring situs, surel, dan sosial media bisa utuh.
Namun, proses replikasi konten juga bisa melalui modifikasi kreatif. Meme dalam pengertian inilah yang sekarang dipahami di jagat maya oleh warganet sebagai meme internet. Untuk kemudahan penulisan, selanjtnya penulis memakai kata rekon (diambil dari akronim kata re-kreasi dan konten) sebagai padanan kata meme internet.
Makna Lebih Rekon
Pandangan kita atas meme cenderung menganggapnya sebagai konten yang bertujuan menghibur. Rekon berasosiasi dengan konten lucu. Rekon berkonotasi dengan teks, gambar, dan video yang dibuat sedemikian sehingga mencapai tujuan komunikasi/pesan yang mengharapkan tanggapan tertawa.
Mengapa orang membuat rekon? Beragam alasan bisa menjadi motifnya, mulai dari iseng mengisi waktu luang, mempertanyakan suatu kebenaran fakta, menanggapi sebuah peristiwa, sampai mengkritik suatu kebijakan publik.
Namun, ada sudut pandang yang sama dalam proses mere-kreasi konten, yakni rekon dibuat karena pembuatnya menganggap ada makna yang kurang atau salah dari konten yang dijadikan objek rekon.
Hasilnya, objek yang telah direkreasi tersebut adalah konten baru yang berbeda dengan konten asalnya, yang memiliki makna lebih sesuai dengan tujuan pembuatnya.
Makna lebih pada rekon dapat diidentifikasi dengan operasi tanda (semiotika) prasaran Pearce (1837-1914), yaitu tanda dalam hubungan kausalitas (indeksikal), representasi objek (ikonitas), dan konvensi arbitrer/manasuka (simbolitas).
Apalagi, jika kita menempatkan rekon sebagai produk berpikir kritis warganet, kita dapat menemukan makna filosofis rekon sebagai gaya seorang netizen dalam mempertanyakan suatu kebenaran, mengkritik suatu kebijakan, atau memberi saran suatu masalah dengan gaya eufimisme (penghalusan), hiperbola (penggambaran berlebihan), ironi (sindiran halus), sinisme (sindiran sikap), atau sarkasme (sindiran kasar).
Ibarat menyaksikan pertunjukan drama satire, penonton diaduk-aduk perasaanya. Penonton tertawa bahagia saat ending lakon sedih dan penonton berurai air mata saat ending lakon bahagia.
Untuk memahami sebuah rekon kita harus mengenali bagian-bagian pembangunnya. Secara umum struktur meme dapat dibagi menjadi bagian pembuka (orientasi/pengenalan), bagian inti (isi meme), dan bagian penutup (reorientasi/penegasan ulang).
Dalam setiap bagian meme, bahasa verbal, yakni kata, frasa, klausa, dan kalimat terintegrasi dengan bahasa nonverbal, yakni gambar (termasuk gambar bergerak), figure, komposisi garis dan warna, dan secara keseluruhan desain meme.
Setidaknya, ada dua tahap penafsiran yang mesti dilakukan netizen dalam memahami meme, yakni (1) penafsiran atas objek meme yang menjadi konten awal, yang referensi dan maknanya akan dire-kreasi oleh pembuat meme dan (2) penafsiran hasil rekreasi konten Si Pembuat meme dengan referensi dan maknanya yang baru (yang ditambah).
Batas Etika
Ragam rekon dapat dikelompokkan ke dalam bidang yang menjadi isi konten. Kita bisa menemukan rekon pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, politik, sejarah, dst. Banyak aplikasi yang bisa digunakan untuk membuat rekon, mulai dari teks editor, foto editor, video editor, sampai animasi editor.
Bahkan, sampai saat ini, warganet masih keranjingan membuat meme (dalam pengertian meme replikasi utuh) dan rekon (dalam pengetian meme internet hasil mere-kreasi konten) di aplikasi tiktok, face up, sampai stiker di whatsapp.
Akhirnya, sebagai warganet, kita harus bijak dalam membuat rekon. Sebabnya, rekon akan kembali ditanggapi oleh warganet dengan beragam penafsiran. Ada batas etika dalam berkomunikasi di internet. Untuk itulah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diberlakukan.
Namun, kita dapat menggunakan rekon sebagai konten yang membangun. Karena dengan kekuatan kritiknya, rekon dapat menjadi media penyadaran publik.***