OPINI

Diskursus Antara Agama dan Demokrasi

×

Diskursus Antara Agama dan Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh Maulana Janah
Lembaga Kajian Silang Budaya Indonesia (LKSBI)

Mendialogkan antara Islam dan demokrasi memerlukan suatu pemikiran yang mendalam. Dalam pandangan sebagian cendikiawan bisa saja ada hubungan antara nilai-nilai demokrasi dan Islam. Misalnya dalam pandangan Islam, demokrasi dipandang sebagai salah satu cara atau metode dalam mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, tidak dipungkiri bahwa ada sebagian kelompok Islam yang menentang demokrasi karena bukan merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Mereka meyakini demokrasi adalah produk barat yang tidak bisa digunakan untuk negara Islam.

Terlepas dari dua perbedaan pendapat antara yang setuju dan tidak setuju terhadap demokrasi sebagai suatu model negara, maka tulisan ini mencoba mencari makna, relasi dan relevansi antara Islam dan demokrasi.

Dengan melihat kondisi saat ini, ada kecenderungan bahwa demokratisasi di seluruh dunia telah menantang para ilmuwan untuk mengejar dua tujuan yang berpotensi kontradiktif.

Di satu sisi, mereka berusaha untuk meningkatkan diferensiasi analitik guna menangkap beragam bentuk demokrasi yang telah muncul. Di sisi lain, mereka prihatin dengan validitas konseptual.

Secara khusus, para ilmuan sosial berusaha menghindari masalah perumusan konseptual yang muncul saat konsep demokrasi diterapkan pada kasus-kasus yang menurut standar ilmiah kurang relevan, dan tidak sesuai.

Tulisan ini berpendapat bahwa pengejaran kedua tujuan ini telah menghasilkan proliferasi inovasi konseptual, termasuk banyak subtipe demokrasi, katakanlah, demokrasi “dengan kata sifat.”

Kajian tersebut di atas, mengeksplorasi kekuatan dan kelemahan strategi alternatif inovasi konseptual yang telah muncul, menghasilkan subtipe demokrasi yang “berkurang”, dan “mendahului” definisi demokrasi dengan menambahkan atribut yang menentukan, dan menggeser konsep menyeluruh yang dengannya demokrasi dikaitkan.

Oleh karena itu, begitu banyaknya ulasan tentang demokrasi yang memang dapat menimbulkan kesulitan kalau di antara ulasan itu ada pertentangannya. Misanya dalam karya Dahl (1989: 213-224), terkesan memakai pendekatan tesis-antitesis-sintesis yang cukup menimbulkan pertanyaan besar tentang apa itu sebenarnya demokrasi.

Gagasan tentang poliarki yang menempatkan demokrasi pada tahap terakhir setelah konsep poliarki. Sementara negara-negara yang dianggap sudah mengalami poliarki pun tidak mengalami apa-apa meskipun dikenal sebagai negara demokratis. Di sini pengertian demokrasi seolah-olah dikaburkan juga.

Padangan lebih tajam diungkpkan oleh Thaha (1996: 232-233), dari sekian banyak pembahasan tentang demokrasi, maka ada pokok-pokok yang selalu dibahas sebagai elemen penting dalam demokrasi atau hal substansial yang perlu diupayakan oleh demokrasi.

Dapat disebutkan di sini elemen demokratis itu sebagai berikut: 1) Ada pengakuan kesetaraan antara seluruh individu. 2) Nilai-nilai yang melekat pada individu mengatasi nilai-nilai yang melekat pada negara. 3) Pemerintah merupakan pelayan masyarakat. 4) Ada aturan-aturan hukum. 5) Ada pengakuan atas nalar, eksperimentasi dan pengalaman. 6) Ada pengakuan mayoritas atas hak-hak minoritas. Dan 7) Ada prosedur dan mekanisme demokratis sebagai cara mencapai tujuan bersama.

Dari pemaparan tentang prinsip-prinsip demokratis diatas tersebut, dapat diterima bahwa demokrasi pada dasarnya menekankan adanya suatu kesetaraan atau keseimbangan politis. Itu berarti setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan dan kemampuan yang relatif sama dan seimbang untuk memperjuangkan kepentingan politisnya.

Pendapat Dunn (1992: 73, 115), menjelaskan bahwa hal ini dapat dipahami sebagai salah satu unsur demokrasi tetapi mungkin juga tidak dianggap sebagai padanan demokrasi. Sehingga pada akhirnya prinsip kesetaraan diterima sebagai basis demokrasi.

Sementara itu, ada beberapa pandangan terkait dengan realitas demokrasi di negara-negara Islam, hal ini dapat ditemukan dalam pandangan Elshtain (2009: 10), menjelaskan bahwa ada data empiris yang serius, terkait adanya defisit demokrasi di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia.

Masih menurut Elshtain, ada fermentasi politik yang luar biasa. Sebagian besar berkisar pada pertanyaan tentang kemungkinan demokrasi dan bagaimana kepercayaan muslim dapat masuk ke dalam hal ini. Tidak ada konsensus mengenai prospek masa depan demokrasi di dunia muslim.

Sebuah kumpulan literatur yang terus berkembang mengenai topik ini menunjukkan bahwa pandangan ini dibagi kira-kira menjadi tiga bagian, yaitu: yang optimis, penuh harapan, dan meragukan atau kecewa.

Analisis selanjutnya, Elshtain menjelaskan bahwa yang termasuk dalam kelompok optimis mengklaim pemikiran Islam klasik, abad pertengahan, dan modern. Apakah yurisprudensi, teologi, filsafat, dan disiplin ilmu pengetahuan Islam lainnya mengandung konsep yang sebanding dengan doktrin demokrasi, dan pluralisme.

Meskipun awalnya diilhami oleh hukum alamiah, doktrin-doktrin tersebut berdasarkan pada otoritas tekstual yang berasal dari Alquran dan Sunnah. Dan memberikan argumen yang mendukung bentuk pemerintahan demokratis, masyarakat majemuk, dan jaminan hak asasi manusia”.

Perdebatan panjang tentang Islam dan demokrasi dalam khazanah Islam juga dapat berarti bahwa para penganut agama Islam sangat beraneka ragam dalam menyikapi demokrasi itu sendiri.

Misalnya, Islam dan demokrasi merupakan dua konsep yang berbeda. Menurut Mawdudi (1996), Islam merujuk pada satu istilah berkenaan dengan pandangan hidup (way of life) yang telah digariskan oleh Allah swt, sedangkan demokrasi adalah bukan merupakan agama itu sendiri tetapi sebuah istilah yang merujuk pada kehidupan bernegara. Suatu konsep yang bisa saja dikemudian hari berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Oleh karena itu, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dan dipersamakan dalam posisi yang sama. Ini memiliki makna bahwa Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi syariah, muamalah dan akhlak.

Demokrasi tidak memiliki aspek-aspek seperti itu sehingga kurang proposional kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari alat (tool) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. *** Bersambung