BISNIS

Dipertanyakan, Tanggung Jawab Produsen Galon Sekali Pakai

×

Dipertanyakan, Tanggung Jawab Produsen Galon Sekali Pakai

Sebarkan artikel ini
Pemandangan sampah plastik di Sungai Ciwulan yang melintasi wilayah Kawalu Kota Tasikmalaya beberapa waktu lalu. (Istimewa).

KAPOL.ID –
Produksi galon sekali pakai membuat masalah sampah plastik semakin menggunung.

Penggunaan kemasan pangan sekali pakai juga bertentangan dengan gaya hidup 3R (reduce, reuse, recycle) yang sedang gencar digaungkan semua pihak.

Juru Kampanye Urban Greenpeace, Muharram Atha Rasyadi menuturkan, klaim ramah lingkungan produk galon sekali pakai hanya jargon semata.

“Mereka hanya melakukan pencitraan mengeluarkan produk ramah lingkungan,” kata Atha saat berbincang dengan Aliansi Zero Waste Indonesia beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, yang perlu diperhatikan adalah apakah produk tersebut benar-benar telah terserap ke industri daur ulang.

Data Sustainable Waste Indonesia (SWI) mengungkapkan, tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia baru menyentuh angka tujuh persen.

Bahkan 50 persen diantaranya tidak terkelola dan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Belum terkelola

Sementara itu, Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) 2022, jumlah timbunan sampah nasional mencapai angka 21,1 juta ton. Angka itu berasal dari 202 kab/kota se Indonesia.

Dari total produksi sampah nasional tersebut, sebesar 13,9 juta ton atau 65.71 persen dapat terkelola. Sedangkan sisanya sebanyak 7,2 juta ton atau 34,29 persen belum terkelola dengan baik.

“Harus ada tanggung jawab dari produsen atas kemasan produk yang dihasilkan yang tidak bisa terurai oleh alam.”

“Ketika produsen mengenalkan produk baru, seharusnya mereka sudah menyiapkan skema ’take back’. Dengan kapasitas yang seharusnya sama dengan produk yang dikeluarkan,” tegas Atha.

Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) keberadaan galon sekali pakai berbahaya bagi ekologi. Bahkan menjumpai galon sekali pakai berakhir menjadi sampah yang mengotori sungai.

“Jika produsen secara terus menerus memproduksi galon sekali pakai, ini berdampak pada penambahan jumlah dan jenis sampah yang berakhir di lingkungan,” kata Divisi Edukasi Ecoton Foundation, Alaika.

Lembaga yang bergerak di bidang pemulihan ekosistem batang air itu menyebutkan, kalau kondisi sungai-sungai di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ternyata semuanya positif terkontaminasi mikroplastik.

Dia menjelaskan, mikroplastik dapat berpengaruh dan berpotensi terhadap organisme hidup termasuk manusia.

Pihaknya secara tegas menolak penggunaan plastik, termasuk plastik sekali paka. Baik dalam bentuk kecil maupun yang besar seperti galon sekali pakai.

Prinsip 3R

Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, Halik Sandera menilai pemerintah seharusnya melarang penggunaan galon sekali pakai.

Hal ini sebagai ketegasan atas prinsip 3R dalam pengelolaan sampah nasional. Apabila beberapa daerah telah menerapkan pelarangan kantong plastik sekali pakai, seharusnya di tingkat nasional juga ada larangan, karena izin perusahaan ada di pusat.

“Seharusnya izin dari penggunaan galon sekali pakai itu juga tidak boleh. Karena kita dalam konteks kebijakan sedang melaksanakan roadmap tanggung jawab produsen,” katanya.

Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) juga mengkritik penggunaan dana CSR yang keliru dari para produsen terkait pengelolaan sampah plastik.

Produsen seringkali beralasan akan bertanggung jawab terhadap sisa produk plastik. Tanpa memikirkan siapa yang akan melaksanakannya di bawah atau hilir.

“Karena mereka bingung, para produsen itu akhirnya berusaha membangun infrastrukturnya sendiri dalam mengelola sampah-sampah plastik sisa produk mereka,” kata Ketua Yaksindo, Nara Ahirullah.

Dia mencontohkan kegiatan produsen galon sekali pakai yang menggunakan Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) untuk mengambil sisa produk ke rumah masyarakat.

Menurutnya, aksi tersebut bukan mengelola sampah tapi mengambil bahan baku daur ulang karena mereka hanya memungut galon sekali pakai.

“Langkah APSI itu tak lebih dari kerjasama bisnis semata dan bukan niatnya untuk mengurangi sampah di masyarakat,” katanya.

Nara menyarankan, para produsen dalam mengelola sampah dari sisa produk mereka adalah memberikan insentif kepada para pengelola sampah.

Jadi yang dilakukan para produsen itu adalah metode insentif dan bukan bisnis.***