KAPOL.ID — Fahmy Iss Wahyudi, peneliti dari Indonesian Political Research Center (IPRC) dihadirkan pada diskusi publik bertajuk Quo Vadis: Pilkada Langsung dan Tidak Langsung yang digelar di GGM Bandung.
Fahmy menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh sebelum mengambil keputusan terkait mekanisme pemilihan kepala daerah ke depan.
“Belum bisa langsung disimpulkan apakah Pilkada ke depan sebaiknya langsung atau tidak langsung. Kita perlu kajian komprehensif untuk mengevaluasi dampak positif dan negatif dari Pilkada sebelumnya. Jangan sampai sebelum evaluasi dilakukan, kesimpulan sudah diambil bahwa Pilkada harus tidak langsung. Ini bisa menjadi langkah yang kurang arif,” ujarnya.
Fahmy menjelaskan bahwa baik Pilkada langsung maupun tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pilkada langsung memberikan rakyat hak penuh dalam menentukan pemimpin daerah, tetapi juga rentan terhadap praktik politik uang.
Sementara itu, Pilkada tidak langsung memangkas potensi politik uang dalam kontestasi publik, tetapi dapat menciptakan keterputusan aspirasi antara rakyat dan kepala daerah.
“Dalam sejarahnya, ketika Pilkada dilakukan secara tidak langsung, masyarakat merasa ada jarak dengan pemimpin yang terpilih. Mereka tidak benar-benar memiliki peran dalam menentukan kepala daerah. Ini yang perlu diantisipasi jika Pilkada tidak langsung kembali diterapkan,” tambahnya.
Terkait kemungkinan perubahan regulasi Pilkada, Fahmy memprediksi bahwa dalam dua hingga empat bulan ke depan, isu ini akan kembali menjadi perdebatan publik. Ia menilai bahwa pembahasan ini tidak akan singkat, karena revisi undang-undang harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terlebih dahulu.
Di sisi lain, Fahmy juga menyoroti perlunya peningkatan pendidikan politik dan penegakan hukum untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi Pilkada. Ia menilai bahwa salah satu masalah utama Pilkada langsung adalah masih maraknya politik uang, yang meskipun telah diatur dalam undang-undang, belum ditindak secara tegas.
“Kalau masyarakat dianggap belum siap, maka tugas negara adalah menyiapkan mereka. Pendidikan politik harus diperkuat, dan penegakan hukum terhadap politik uang harus lebih maksimal. Jika regulasi diperketat dan aparat penegak hukum bekerja optimal, maka masyarakat bisa lebih rasional dalam menentukan pilihannya,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi bagian dari refleksi atas praktik demokrasi di Indonesia, yang terus mengalami dinamika dalam mencari format terbaik bagi pemilihan kepala daerah.
“Keputusan apakah Pilkada tetap langsung atau kembali ke sistem tidak langsung masih membutuhkan kajian lebih lanjut, dengan mempertimbangkan berbagai aspek politik, sosial, dan hukum,” ujarnya. ***