KAPOL.ID – Riset menunjukkan, air minum dalam kemasan (AMDK) gelas plastik ternyata paling banyak terkontaminasi mikroplastik.
Bukan di dalam AMDK botol dan galon plastik. Hasil penelitian terbaru ini dilakukan oleh para peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP), Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, bekerja sama dengan lembaga FMCG Insights.
“Dari hasil uji statistik, diketahui bahwa mikroplastik lebih banyak ditemukan pada AMDK gelas plastik jika dibandingkan dengan kemasan botol dan galon plastik,” kata Khusnul Yaqin, salah satu peneliti utama yang bersama timnya melakukan penelitian dan pengambilan sampel di Makassar, Sulawesi Selatan.
Penelitian tim Khusnul dilakukan terhadap beberapa merek AMDK dalam berbagai bentuk kemasan, yaitu botol, galon, dan gelas. Merek AMDK yang dipilih yaitu Aqua, Le Minerale, Vit, Cleo, dan JS.
Dari tiap-tiap merek dan kemasan diambil sampel empat buah.
Identifikasi polimer dalam penelitian ini menggunakan Fouier-Transform Infrared Spectrometer (FTIR) 8400S Shimadzu.
Hasil penelitian ini kemudian mendapati bahwa hanya ada lima dari total 48 sampel yang tidak terkontaminasi oleh mikroplastik.
“Dengan kata lain, ada 89,6 persen sampel AMDK yang terkontaminasi mikroplastik,” kata Khusnul.
Konsentrasi partikel mikroplastik yang ditemukan berkisar antara 1,67–12,00 partikel/L.
Konsentrasi partikel mikroplastik dengan kuantitas seperti ini, menurut Khusnul, masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan yang pernah ditemukan oleh sejumlah penelitian.
Dibandingkan botol dan galon plastik, gelas plastik ternyata menjadi kemasan terbanyak yang terkontaminasi mikroplastik.
“Umumnya bentuk mikroplastik yang ditemukan adalah fiber dan fragmen,” kata Khusnul. “Fiber jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan fragmen secara statistik.”
Hasil riset mereka mendapatkan bahwa jumlah fiber mencapai 92,19 persen dari mikroplastik yang ditemukan dan sisanya adalah fragmen (7,81 persen).
Ukuran mikroplastik yang ditemukan untuk fiber yaitu 94,46-4.496,34 µm.
Ukuran mikroplastik dalam bentuk fragmen yaitu 58,01-574,16 µm.
Sebagian mikroplastik yang mengontaminasi AMDK kemudian dianalisis polimernya dengan FTIR. Polimer yang ditemukan pada bentuk fragmen yaitu Polyethylene chlorinated, Polyamide 66, Polypropylene, dan Polyamide 6, sedangkan pada bentuk fiber adalah Polypropylene, karet, Ethylene propylene, Polyamide 6, Polyethylene chlorinated, dan Polypropylene.
“Dari penemuan polimer ini, dapat kita ketahui bahwa sebagian besar sumber kontaminasi mikroplastik berbeda dari polimer yang digunakan dalam pembuatan kemasan AMDK,” kata Khusnul.
“Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa sumber mikroplastik yang ada di dalam AMDK tidak mungkin berasal dari kemasannya, jadi sumber kontaminasi mikroplastiknya patut diduga justru berasal dari sumber air baku dan udara saat proses pengemasan AMDK dilakukan,” kata Khusnul.
Menurut Khusnul, penemuan timnya bersesuaian dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sherri A Mason dari State University of New York, Fredonia, Amerika Serikat (2018), Xue-jun Zhou dari Zhe Jiang Institute of Product Quality and Safety Inspection, Hangzhou, Cina (2021), dan Anna Winkler dan dari Department of Environmental Science and Policy, University of Milan, Italia (2019).
Berdasarkan hasil penelitian mereka, baik Mason, Zhou, maupun Winkler, sepakat menyatakan bahwa mikroplastik yang ditemukan di dalam AMDK tidak mungkin bersumber dari kemasannya, tapi mungkin justru berasal dari sumber air bakunya atau mikroplastik yang ada di udara pada saat proses pengemasan AMDK.
Lebih jauh Khusnul menjelaskan, dampak negatif mikroplastik bagi tubuh manusia sejauh ini masih belum banyak diketahui. Sistem detoksifikasi tubuh manusia juga, menurutnya, masih sanggup menyaring dan membuang kontaminasi mikroplastik pada pangan.
“Yang menjadi concern saat ini adalah keberadaan mikroplastik dalam jumlah besar di badan perairan, yang bisa berakibat fatal bagi biota laut,” kata ahli ekotoksikologi itu.
Sebagai rekomendasi hasil penelitian ini, Khusnul mengatakan, masih sangat diperlukan penelitian yang lebih ekstensif dengan menambah jumlah sampel, sehingga hasil penelitian dapat dikatakan mewakili jumlah AMDK yang beredar di pasaran.
Dia juga menyarankan penelitian tentang mikroplastik tidak hanya difokuskan pada AMDK, tapi berbagai jenis minuman lain seperti jus dan susu yang dikemas dengan kemasan plastik atau kaleng, bahkan pada air leding di rumah-rumah.
Selain mikroplastik, yang sangat penting untuk dicegah, menurut Khusnul, adalah migrasi bahan kimia berbahaya dari plastik ke air minum.
“Bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai bahan aditif dalam pembuatan plastik dan sudah diketahui secara ilmiah dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan manusia dan ekosistemnya, seperti Bisfenol A (BPA), harus dilarang penggunaannya,” katanya.
Tim FKP Unhas bekerja sama dengan FMCG Insights, melakukan penelitian mikroplastik pada AMDK karena penelitian terhadap mikroplastik di dalam AMDK di Indonesia masih sangat jarang.
Salah satu yang pernah melakukannya adalah Arif Luqman dan kawan-kawan, yang hasilnya kemudian dituangkan dalam artikel berjudul “Microplastic contamination in human stools, foods, and drinking water associated with Indonesian coastal population” pada 2021.
“Penelitian seperti yang dilakukan oleh Luqman sangat penting sebagai bahan evaluasi penggunaan kemasan plastik untuk AMDK,” kata Khusnul. “Karena itu, perlu dilakukan penelitian pada beberapa merek AMDK dalam berbagai kemasan, terutama di wilayah Makassar,” ujarnya. ***