Beberapa tahun ini berbagai aktivitas dilakukan oleh para aktivis perempuan untuk mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual dan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Aktivitas tersebut sangat bervariasi, mulai dari acara bedah film, seminar, FGD, serta pembuatan konten di media sosial, sampai pada agenda yang bersifat serius yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, meski RUU ini telah lama disusun, yaitu pengajuan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Kampanye tersebut digalakkan karena adanya pihak-pihak yang menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami “Darurat Kekerasan Seksual”.
Alasannya karena maraknya pemberitaan terkait perkosaan, pencabulan, dan penyiksaan bernuansa seksual yang kadang berujung pada pembunuhan dan diskriminasi terhadap korban.
Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada tahun 2018 terjadi peningkatan kasus sebesar 16,6% dibandingkan tahun 2017, menjadi 406.178 kasus.
Komnas perempuan juga melihat selama satu dekade ini ada tren yang menunjukan semakin banyak korban kekerasan berani melapor. Selain itu, tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban terhadap lembaga-lembaga penyedia layanan pendampingan kasus kekerasan juga meningkat.
Jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan tahun 2016 ada sekitar 259.2 ribu kasus, tahun 2017 ada 348.4 ribu kasus, dan tahun 2018 sekitar 406.2 ribu kasus. (Sumber: Komnas Perempuan)
Berbagai pro-kontra terjadi di tataran mahasiswa yang mungkin akan menimbulkan kebingungan pada masyarakat awam. sekelompok mahasiswa yang menolak RUU ini beranggapan bahwa RUU P-KS ini bisa merusak generasi bangsa, dengan mengkriminalisasi hubungan seksual yang halal dalam rumah tangga, meniadakan nilai agama dan pancasila, melegalkan kekerasan aborsi, kekerasan pelacuran dan perkosaan.
Jika boleh berpendapat menurut saya ini gagal paham, karena jelas dalam BAB II Pasal 2 (a) tercantum RUU P-KS didasarkan pada asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia; serta bertujuan untuk Pasal 3 (a) mencegah segala bentuk Kekerasan Seksual (b) menangani, melindungi dan memulihkan Korban; (c) menindak pelaku; dan (d) mewujudkan lingkungan bebas Kekerasan Seksual.
Dan pada BAB V tentang TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Pasal 11
(1) Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Seksual.
(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan/atau
i. penyiksaan seksual.
(3) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.
Dalam pasal 2,3 dan 11 saja sudah jelas RUU ini tidak melegalkan segala hal dimaksud, itu adalah sebuah pemahaman tanpa pengkajian dan tabayun terlebih dahulu, semua akan termentahkan jika kita mau membaca draf terlebih dahulu dengan hati yang bersih dan menjadi sudut pandang korban, draf asli RUU P-KS ini sangat mudah kalian dapatkan di www.dpr.go.id
Sementara disisi lain kami dan sekelompok aktivis perempuan lainnya berpendapat, penundaan RUU P-KS yang berlarut-larut ini justru terkesan mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di Indonesia.
Pengabaian dan penolakan terhadap RUU P-KS ini menunjukan Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin melanggengkan budaya pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan.***