KAPOL.ID –
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman, tidak pernah menyatakan dukungannya terhadap pelabelan BPA kemasan pangan. Khususnya produk air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan polikarbonat.
Dia menduga ada pihak-pihak tertentu yang mencatut GAPMMI untuk tujuan persaingan usaha.
“Terkait pemberitaan di beberapa media yang mencatut nama GAPMMI, perlu saya luruskan bahwa saya tidak pernah diwawancarai terkait BPA galon,” ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima KAPOL.ID, Jumat (23/6/2023).
Menurutnya, GAPMMI hanya mendorong semua anggota dan semua industri pangan di Indonesia agar mematuhi regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Tapi bukan berarti mendukung wacana pelabelan BPA, karena regulasinya kan belum ada,” katanya.
GAPMMI juga berharap agar setiap regulasi pangan yang dibuat regulator ada dasar kajiannya dan berbasis risiko.
“Hal ini bertujuan agar dalam penerapannya tidak merugikan produsen maupun konsumen,” ucapnya.
Fakta ilmiah
Sebelumnya, Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin, mengkritisi kebijakan pelabelan BPA yang dinilai cenderung diskriminatif.
Menurutnya, regulator perlu mengambil keputusan berdasar fakta-fakta ilmiah. Dan jangan hanya menyebut nama zat tertentu kemudian dikategorikan tidak boleh.
“Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” katanya.
Dia sangat menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam AMDK yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini.
Sebab, sebagai pakar polimer, dia melihat kemasan yang mengandung BPA itu merupakan bahan plastik yang aman.
”Karena, memang dari tes-tes yang kami tahu, BPA yang ada di dalam air akibat menggunakan polikarbonat itu rendah.”
“Jadi, wajar kalau memang tidak ada problem yang muncul seperti kematian atau orang sakit karena minum air botol galon polikarbonat,” katanya.
Dia juga menegaskan pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan. Karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon aman untuk digunakan.
“Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan BPOM sudah terbukti, bahwa migrasi BPA dalam galon itu masih dalam batas aman. Atau jauh di bawah ambang batas aman yang sudah ditetapkan BPOM.”
‘Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman,” ucapnya.
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Sulaeman, bahkan mengkhawatirkan isu pelabelan BPA yang belum jelas.
Kemudian menyebabkan adanya ketakutan masyarakat untuk mengkonsumsi produk yang sebetulnya sangat dibutuhkan tubuh manusia. Dan beralih ke produk-produk lain yang justru belum bisa terjamin kesehatannya.
Dia mencontohkan seperti wacana pelabelan potensi bahaya BPA dari kemasan galon guna ulang yang meskipun belum terbukti secara ilmiah.
Menurutnya, saat dilakukan pelabelan itu, masyarakat bisa dipastikan khawatir untuk meminum semua jenis yang namanya air minum dalam kemasan termasuk yang non BPA.
Mengingat kemasan yang non BPA atau kemasan botol dan galon sekali pakai juga memiliki zat-zat kimia berbahaya.
“Pasti akan berimbas juga. Karena masyarakat taunya kan air minum dalam kemasan,” ujarnya.
Urgensi
Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hardinsyah mengatakan belum ada urgensi pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan.
Dia beralasan hal itu disebabkan belum adanya bukti kuat yang menyatakan bahwa BPA dalam kemasan itu sudah membahayakan kesehatan.
“Kalau mau mengatur BPA tadi, ya harus berbasis bukti, berbasis evidence. Kan namanya mau membuat regulasi, jadi harusnya berbasis bukti yang kuat.”
“Bukti itu berupa hasil kajian atau penelitian bahwa BPA pada galon guna ulang itu memang benar-benar berbahaya untuk kesehatan. Harus dengan protokol yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan asal-asalan,” ucap Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia ini.
Praktisi kesehatan bidang onkologi atau penyakit kanker, dr. Bajuadji, Sp.B (K) Onk, juga mengatakan tak ada kaitannya sama sekali antara air galon dengan penyakit kanker seperti diisukan selama ini.
Dia melihat isu-isu yang mengait-ngaitkan air galon dengan kanker itu hanya karena adanya unsur-unsur persaingan usaha semata.
“Saya tidak pernah menemukan ada dari pasien-pasien yang mengalami kanker karena telah mengkonsumsi air galon. Itu menurut saya hanya persaingan usaha saja,” ujarnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menduga ada yang melakukan framing terkait isu BPA ini.
“Sepertinya ada rilis palsu atas nama saya terkait isu BPA ini,” ucapnya.***