Oleh: Adhim Mugni Mubaroq
Budaya korupsi yang terjadi di bumi pertiwi semakin kompleks.
Bahkan, kasus ini tengah menjalar dan menggrogoti semua sendi-sendi kehidupan.
Ironisnya lagi, kasus korupsi tengah menjadi santapan pemberitaan baik media elektronik maupun cetak setiap harinya.
Publik mau tidak mau, suka atau tidak suka, terus disuguhkan informasi yang membuat semua pihak merasa perihatin.
Kasus terkini yang menjerat dua menteri. Mereka yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari Batubara.
Edhy dengan dugaan kasus impor benih lobster dan Juliari di kasus dugaan korupsi bantuan dana bansos Covid-19.
Sekarang kasusnya berjalan dan publik menunggu putusan adil dari wakil Tuhan di Bumi.
Sebelumnya, ada juga setingkat menteri yang terjerat kasus korupsi yakni eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi terkait kasus dana hibah Kemenpora serta eks Menteri Sosial Idrus Marham di suap proyek PLTU Riau-1.
Berdasarkan data statistik KPK menyebutkan ada sekitar ratusan politikus dan pihak swasta yang terjerat korupsi.
Dan tentunya masih banyak lagi deretan nama kasus korupsi yang membelit politikus di negeri ini, baik yang sudah terungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun yang tengah dilakukan penyilidikan maupun penyidikan.
Tapi itulah korupsi, tidak hanya menjerat para politikus di senayan maupun pejabat negara di pusat, namun menimpa para pejabat daerah lainnya.
Korupsi menciptakan kerugian besar dari negara, diantaranya kerugian keuangan negara.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dihimpun dari pemantauan persidangan kasus-kasus tindak pidana korupsi dalam kurun waktu Januari 2020 hingga Desember 2020.
Hasilnya, total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi sepanjang tahun 2020 mencapai Rp 56,7 triliun.
Naik sekitar empat kali lipat dibanding tahun 2019, yang kerugian negaranya sekitar Rp 12 triliun.
Menurut ICW, Kejaksaan Agung jauh lebih besar menangani kerugian keuangan negara dibandingkan KPK. Kejaksaan Agung menangani kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun.
Sedangkan KPK menangani kasus dengan kerugian hanya Rp 114,8 miliar.
Korupsi yang terjadi membuat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37.
Transparency International Indonesia (TII) skor IPK Indonesia turun sebanyak tiga poin dari tahun sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan.
Di level ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40).
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) di Indonesia sebesar 3,88 pada 2021.
Angka tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar 3,84.
Dari fakta dan data di atas, kondisi ini mencengangkan dan menyakitkan kita semua.
Korupsi yang mulai menjalar ke semua lini, menandakan memudarnya nasionalisme dari sebagian besar pejabat.
Itu baik terjadi dari di tatanan birokrasi, pemimpin maupun kader sebuah partai politik, artis, anggota dewan, serta pemimpin daerah yang seharusnya menjadi teladan dan menjaga amanah rakyat yang telah memilihnya.
Praktik korupsi yang masif ini menunjukkan bahwa semangat pengabdian dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara semakin tipis dan kronis yang harus segera diamputasi.
Slogan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, itu hanya isapan jempol belaka.
Karena mereka telah berbohong terhadap rakyat, berarti sama dengan telah mengkhianati tuhan.
Bisa dikatakan mereka sudah melumuri tubuhnya denga dosa atas segala prilaku dan tindakanya.
Penulis memperoleh informasi dari dosen di kampus, bahwa salah satu koran terbitan Hongkong menyatakan kalau orang China korupsi di bawah meja, orang India di atas meja, sedangkan orang Indonesia mejanya sekalian dibawa.
Sindiran dan hinaan orang Hongkong maupun orang luar negeri lainnya terhadap keadaan Indonesia, menyebabkan makin tenggelamnya keberadaan Indonesia dalam kancah percaturan dunia yang semakin keras dan ganas.
Kalau kita mengingat kembali pada masa lalu, di mana Indonesia dalam pemerintahan Presiden Soekarno sempat disegani di berbagai negara di dunia ini, dan sempat menyandang predikat sebagai macan asia.
Kini rasanya semua hanyalah tinggal kenangan belaka.
Kondisi bangsa kita tengah terjerumus pada tataran terendah.
Kita bukanlah pemain utama yang ikut berperan dalam kancah percaturan dunia, akan tetapi keberadaan kita laksana pion-pion yang siap diatur dan dimakan oleh kekuatan yang lebih besar. Sungguh sangat memperihatinkan sekali!!!..
Memudarnya Nasionalisme
Bila melihat benang merah dari kasus korupsi yang menggurita ini, menurut hemat penulis salah satu indikatornya terjadi korupsi adalah memudarnya Nasionalisme.
Nasionalisme itu sendiri adalah satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dalam mewujudkan satu konsep identitas bersama sekelompok manusia dimana bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial.
Sedangkan korupsi Menurut Ikhtisar dari World Economic Forum, adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Karena saat melakukan korupsi sudah tak ada lagi spirit berkorban untuk bangsa dan negara, yang terjadi malah sebaliknya.
Dan ini sangat bertentangan dengan konsep nasionalisme itu sendiri. Bahkan kalau disadari dampak korupsi banyak sekali.
Karena, tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang, seseorang yang inginan menjadi pegawai negeri atau pejabat negara tidak lagi dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, tapi motivasi untuk mendapatkan kekayaan atau kekuasaan.
Akibatnya, segala cara dihalalkan agar dapat menjadi pegawai negeri atau pejabat negara dengan tujuan memperkaya diri.
Atau, setidaknya dampak korupsi akan berimbas pada semangat kerja karena akan selalu mengukur kinerja yang dicapai dengan seberapa besar pendapatan yang diperoleh.
Akhirnya, mental pegawai secara keseluruhan akan ambruk dan pemerintahan secara keseluruhan akan lebih sibuk memikirkan diri sendiri dan mengabaikan tugas utama dalam menyejahterakan dan melayani rakyat.
Padahal para pegawai negeri dan pejabat negara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Indonesia, menjadi salah satu model bagi masyarakat.
Mereka menjadi teladan yang selalu diamati dan sangat memengaruhi terhadap perilaku masyarakat.
Pada saat nasionalisme pegawai negeri dan pejabat negara telah hancur dengan sendirinya akan mengikis nasionalisme masyarakat pada umumnya.
Jika para pegawai negeri dan pejabat negara saja sudah mengorbankan kepentingan bangsa dan negara demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Pertanyanya, apalagi yang bisa diharapkan dari masyarakat untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan bangsa dan negara.
Disadari atau tidak, bahwa musuh utama bangsa kita saat ini adalah korupsi.
Upaya menjadikan korupsi sebagai musuh bersama untuk menumbuhkan dan menjaga nasionalisme tentu bukan perkara yang mudah.
Sosialisasi empat pilar kebangsaan merupakan salah satu usaha menumbuh kembangkan nasionalisme.
Dan itu tidak cukup hanya dalam satu program ini saja, tapi memerlukan elemen lainnya.
Pendidikan antikorupsi harus dilakukan sebagai pendidikan yang sesungguhnya.
Bukan hanya sekadar pengajaran tapi harus menyentuh spirit nasionalisme.
Sebaliknya, sudah saatnya pendidikan nasionalisme tidak lagi menekankan pada kerelaan berperang menghadapi ancaman bersenjata, tetapi lebih ditekankan pada kesadaran terhadap dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh praktik korupsi, dan keberanian menolak praktik korupsi itu sendiri.
Sekali lagi, mengapa korupsi sebagai musuh bersama, karena ini bertentangan dengan spirit nasionalisme.
Maka semua ini harus ditumbuhkan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama melalui iklim pendidikan, budaya kelembagaan, serta budaya sosial lainnya.
Terlebih saat ini kita menghadapi situasi pandemi Covid-19 dan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang akan diperingati pada 17 Agustus 2021.
Jangan sampai dana bantuan bansos Covid-19 kembali di korupsi.
Hukum Harus Menjadi Panglima
Keyakinan bahwa negara ini pasti bisa keluar dari krisis korupsi adalah suatu keharusan, karena hakekat masalah sebenarnya bukan pada korupsi tetapi pelaku tindak korupsi itu sendiri.
Jika pelakunya diganti oleh orang-orang yang memiliki kompetensi, jujur dan amanah, maka praktik korupsi tak akan pernah terjadi, dan ini akan mudah mengantarkan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita yang tertera dalam UUD 1945.
Semoga tulisan ini sedikit banyaknya dapat memberikan masukan dalam upaya mengatasi kasus korupsi yang sudah mendarah daging ini. Kita berharap, bangsa dan negara ini bisa bangkit bersama-sama melawan korupsi.
Para penegak hukum bisa menjadikan hukum sebagai panglima. Keadilan dan kebenaran harus selalu ditegakan, meski hal itu pahit dan sulit dilaksanakan karena berbagai kepentingan yang merasukinya.
Hukum di tanah air ini juga jangan sampai dicampuradukan dengan politik. Karena hukum dan politik itu jelas berbeda domainnya.
Tapi sayang, kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini selalu dipolitisir dengan sudut pandang yang sangat sempit.
Alasan itu sangat logis, sebagai pembelaan agar hukuman yang membelit para koruptor seolah-olah tidak murni karena ada kepentingan lain dibelakangnya.
Terlepas dari semua itu, kita berharap korupsi dimuka bumi ini bisa diberantas, dan para koruptor yang tengah merampok uang rakyat dapat mempertanggungjawabkanya dan menerima hukuman yang setimpal.
Tanpa adanya sanksi tegas maka sudah dipastikan bangsa dan negara ini akan berada di dalam ambang kehancuran. Semoga hal itu tidak terjadi.
Mari kita eratkan barisan dan satukan tekad untuk katakan tidak pada korupsi. Semua ini bukan hanya sekedar kata-kata, tapi bukti nyata dalam perbuatan sehari-hari. ***