BISNIS

Labelisasi BPA di Galon, Sikapi Dengan Bijak

×

Labelisasi BPA di Galon, Sikapi Dengan Bijak

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi galon. (Elements Envanto) suara.com

KAPOL.ID –
Pakar hukum persaingan usaha Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait SH.MLi, meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar tidak terlalu memaksakan regulasi pelabelan BPA pada kemasan pangan berbahan Polikarbonat.

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini isu mengenai bahaya BPA dalam kemasan tersebut masih terjadi pro kontra.

“Dari dunia kesehatan, isu ini kan masih pro kontra. Jadi, ya jangan dong itu dipaksakan menjadi beban para konsumen nantinya.”

“Sebagai pakar hukum bisnis, saya hanya mempertanyakan regulasi pelabelan BPA itu sebenarnya untuk kepentingan siapa?” ujar Ningrum.

Ia mengatakan, dari segi persaingan usaha, apapun yang menimbulkan biaya tentu akan menjadi beban suatu industri.

“Semua peraturan yang menimbulkan dampak pada meningkatnya biaya produksi seperti pelabelan BPA ini pasti berdampak pada konsumen dan itu perlu menjadi pertimbangan,” ucapnya.

Dia juga mempertanyakan apakah BPOM sudah mengukur dampak dari regulatory impact assessment dari wacana pelabelan BPA itu.

Kebijakan ini jelas akan menjadi satu level beban yang akan dihadapi pelaku usaha yang memproduksi produk terkait.

“Kalau BPOM mengatakan produk itu merusak kesehatan masyarakat, saya mau tanya ada buktinya tidak di masyarakat.”

“Jangan-jangan asal ngomong saja mereka itu. Makanya banyak orang yang ribut karena isu ini,” tukasnya.

Sebelumnya, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan, polemik kontaminasi BPA yang berujung upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.

“Sebab, 99,9 persen industri air minum dalam kemasan ini menggunakan galon tersebut. Dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” ungkapnya.

Diskriminatif

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim juga meminta agar BPOM tidak bersikap diskriminatif hanya melabeli satu jenis kemasan plastik saja.

Dia meminta agar BPOM juga harus melakukannya terhadap semua kemasan termasuk galon sekali pakai terhadap bahaya etilen glikol, asetaldehid, dan antimonnya.

“Jadi, jika BPOM ingin mewacanakan pelabelan, ya semua harus dilabeli, baik kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan,” kata Rizal.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menegaskan agar jangan ada diskriminasi usaha air minum dalam kemasan (AMDK) khususnya terkait senyawa BPA.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyampaikan pemerintah harus mengedepankan unsur keadilan dan jangan bersikap diskriminasi.

“Dalam usaha harus mengedepankan unsur keadilan, tidak boleh ada unsur diskriminasi. Semua pelaku usaha, produk, harus diberikan kesempatan yang sama untuk bersaing,” ujar Heri.

Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D mengkritik kebijakan pelabelan BPA yang dinilai cenderung diskriminatif.

Dia mengatakan regulator perlu mengambil keputusan berdasar fakta-fakta ilmiah. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu kemudian dikategorikan tidak boleh.

“Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” ucapnya.

Dia mengutarakan kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat diketahui sudah digunakan lebih dari 38 tahun di Indonesia. Dan sampai hari ini, belum pernah ada mendengar orang meninggal atau sakit akibat keracunan air minum dari galon polikarbonat.

“Polikarbonat itu adalah plastik yang aman dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan,” katanya.

Guru Besar Bidang Keamanan Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., juga menyampaikan hal yang sama.

“Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu buru-buru. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut,” ujarnya.***