KAPOL.ID – Peneliti Net Zero Waste Management Consortium, konsorsium pengelolaan sampah nol-bersih berbasis di Jakarta, Ahmad Safrudin, mendesak perusahaan air kemasan berani mengambil kebijakan radikal dalam menanggapi desakan berbagai kalangan terkait penghentian produksi air minum dalam kemasan gelas plastik yang terbukti mencemari lingkungan di banyak daerah.
“Perusahaan tak bisa lagi sekadar bersilat lidah sebab sampah gelas plastik, utamanya kemasan air minum, sebagai penyumbang terbesar pencemaran lingkungan di berbagai daerah buktinya sangat banyak dan semua pihak juga sepertinya sudah sadar kalau tak ada jalan keluar kecuali penghentian produksi kemasan kecil,” kata Ahmad.
Berbicara ke awak media kemarin (20/2), Ahmad menyayangkan sikap raksasa air minum kemasan, AQUA, yang seolah ingin mengecilkan dampak pencemaran sampah kemasan gelas plastik.
“Hasil brand audit anyar Sungai Watch,” kata Ahmad merujuk pada laporan investigatif sebuah lembaga nirlaba di Bali, “seharusnya jadi cambuk bagi perusahaan untuk segera menghentikan penjualan air minum gelas yang cenderung menjadi perbuatan melawan hukum, yaitu pidana pengelolaan sampah”.
Audit Sungai Wacth ini juga relevan dengan hasil brand audit “Potret Sampah 6 Kota” yang dipublikasikan oleh Net Zero Waste Management Consortium bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2023 yang lalu, di mana daftar lima besar jenis sampah yang paling banyak ditemukan, terbukti gelas Aqua menempati posisi keempat dengan total 33.789 buah setelah sampah serpihan plastik berbagai merek (59.300 buah), sampah kantong kresek (43.957 buah) dan sampah bungkus Indomie (37.548 buah). Posisi kelima ditempati oleh botol Sprite (30.171 buah).
Pekan lalu, Sungai Watch mendapuk Danone, perusahaan multinasional Perancis yang menjadi pemilik sekaligus pengendali AQUA, di posisi teratas perusahaan yang paling besar kontribusinya pada pencemaran perairan sungai dan laut di Bali.
“Kami menemukan sampah (plastik) Danone di perairan sungai, di seluruh sisi pantai, di kawasan hutan bakau,” kata pendiri Sungai Watch, Gary Bencheghib, dalam sebuah video di media sosial Instagram.
Temuan itu berdasar analisa atas lebih dari 537.000 item sampah produk kemasan bermerek yang dikumpulkan relawan organisasi nirlaba tersebut di kawasan perairan sungai dan laut di Bali dan Banyuwangi, Jawa Timur, sepanjang tahun 2023.
“Danone adalah pencemar nomer wahid di Indonesia selama tiga tahun bertutur-turut,” kata Gary. “Kami menemukan sampah Danone di perairan sungai, di seluruh sisi pantai, di kawasan hutan bakau.”
Namun pihak Danone justru menganggap sepi desakan agar perusahaan menghentikan penjualan air minum kemasan gelas plastik (cup).
Direktur Pengembangan Keberlanjutan Danone Indonesia, Karyanto Wibowo, seperti dilansir Liputan6.com, berdalih kemasan gelas merupakan “bagian integral dari cara hidup masyarakat” dan perusahaan tak bisa disalahkan sepenuhnya atas sampah plastik yang mencemari lingkungan.
Dia juga berkilah bahwa temuan Sungai Watch dalam tiga terakhir justru memperlihatkan penurunan persentase sampah plastik Danone yang berakhir di perairan sungai dan laut di Bali. “Ini menunjukkan terjadi perbaikan,” katanya.
Tapi Ahmad Safrudin dari Net Zero justru miris dengan pandangan tersebut. Menurutnya, meski secara persentase sampah plastik AQUA yang dalam audit brand berkurang, dari 12% pada 2021 menjadi 7% pada 2023, tapi faktanya sampah AQUA tetap saja yang paling besar kontribusinya.
“Total sampah gelas AQUA yang ditemukan Sungai Watch lebih dari 12.400 gelas, dan itu angka yang besar,” katanya.
“Sekadar mengingatkan saja, AQUA yang notabene menguasai pasar air kemasan gelas, memproduksi miliaran gelas plastik setiap tahunnya dan sebagian besar dari produk itu jadi sampah yang tak bisa diolah karena kurang ekonomis dan berakhir tercecer di lingkungan terbuka sebagai sampah.” ujar dia.
Lagi pula, menurut Ahmad, pemerintah telah mendorong kalangan produsen untuk meninggalkan produk dengan kemasan kecil untuk mendukung program pengurangan sampah plastik.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah antara lain mendorong industri untuk stop produksi (phase-out) air minum kemasan ukuran di bawah 1 liter dan juga kemasan saset di bawah 50 mililiter.
Karena itu, dia menyesalkan sikap AQUA yang seperti tak mau tunduk dan tetap berjualan air kemasan gelas plastik. Menurutnya lagi, ‘solusi’ perusahaan dengan mengeluarkan kemasan botol air minum ukuran saku, volume 220 ml, tetap saja tak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Sekalipun produk tersebut diklaim memiliki berbagai kelebihan dari kemasan cup, yakni dapat didaur ulang, tanpa sedotan, tanpa label plastik, atau tutup yang disegel.
Menurut Ahmad, tingkat daur ulang sampah plastik, termasuk sampah industri air kemasan, masih rendah meski kalangan produsen kerap menebar klaim kesuksesan dalam soal ini.
Penelitian investigatif Net Zero pada November 2023 di enam kota — Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali dan Samarinda – menunjukkan sampah kemasan air minum, baik dalam bentuk botol maupun gelas plastik, termasuk yang paling membebani tempat penampungan sampah di berbagai kota, selain sampah plastik kresek dan kemasan saset berbagai merk.
“Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil masih selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA,” kata Ahmad.
Menurutnya, berkebalikan dengan anggapan umum, sampah produk konsumen dengan kemasan besar justru lebih mudah dikelola dan lebih bernilai ekonomis ketimbang sampah produk konsumen yang ukuran kemasannya relatif kecil.
Yang terakhir, oleh sebagian masyarakat, kerap dipandang sepele lantaran dianggap sebagai ‘sampah kecil’.