OPINIPENDIDIKANPOLITIK

Literasi Politik pada Lembaga Pendidikan

×

Literasi Politik pada Lembaga Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ai Nurhidayat

Pendidik, CEO Calegmu

Wacana kampanye di lembaga pendidikan kini menjadi sorotan. Kepentingan meningkatkan literasi politik di lembaga pendidikan dipandang perlu terutama untuk menjangkau pemilih pemula serta gagasan kontestan pemilu dapat digelar. Apakah tindakan ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan lembaga pendidikan yang harusnya netral dari persoalan politik praktis? Mari kita lihat dari beberapa aspek.

Literasi politik 

Literasi politik di lembaga pendidikan amatlah penting. Salah satu kompetensi yang mestinya dimiliki oleh seorang pembelajar adalah kemampuan menerima informasi, mengelola informasi terkait situasi politik dan menyiapkan bekal untuk berpartisipasi pada kegiatan politik.

Sebagaimana kompetensi lain, kemampuan memahami politik juga bagian dari kebutuhan dasar yang harus dimiliki seorang individu agar keputusan politik terlebih di dalam iklim demokrasi sejalan dengan kepentingan publik.

Upaya literasi politik selama ini telah dijalankan oleh lembaga pendidikan. Bahkan sejak pendidikan menengah semisal SMP, siswa telah dibekali wawasan tentang kewarganegaraan yang sudah pasti membicarakan topik politik. Lebih lanjut pada sisi praktik berpolitik, siswa menjalani pesta demokrasi seperti pemilihan OSIS. Di lembaga yang kami selenggarakan, malah siswa praktik membuat partai politik agar partisipasinya dapat dihimpun serta kompetisi untuk memperoleh legitimasi misalnya dalam membuat kebijakan menjadi lazim dipraktikan.

Kegiatan literasi politik ini berlangsung dan setiap siswa punya bekal dasar terkait wawasan politik. Akan tetapi, sebagai sebuah “latihan” tentu akan sangat berbeda dalam realitas politik terutama menjelang pemilu berlangsung.

Proses latihan ini memang hanya fokus pada prosedur dan latihan bersikap. Paling tidak, siswa dapat belajar tentang kesiapan mental agar tidak perlu tegang dalam berpolitik. Perbedaan dalam politik adalah hal biasa, oleh karena itu kesiapan mental untuk menang dan kalah menjadi pelajaran penting.

Kemampuan literasi politik juga menghindarkan seorang individu pada arus berita palsu yang mengadu domba terlebih banyak praktik “kampanye hitam” yang lebih buruk daripada “kampanye negatif.”

Soal Keberpihakan 

Keputusan untuk bolehnya kampanye di lembaga pendidikan adalah upaya membawa kampanye ke lembaga pendidikan. Hal ini yang jadi sorotan terutama menyangkut kemungkinan adanya keberpihakan dari penyelenggara lembaga pendidikan.

Kemungkinan terburuk adalah bila terjadi ketegangan menghadapi politik akibat ketiadaan fairness atau tindakan adil dari lembaga pendidikan.

Kekhawatiran itu masuk akal dan perlu ada aturan khusus. Dalam pilpres, mungkin lebih mudah untuk membuat syarat agar fairness terjadi. Akan tetapi jika pileg, nah ini yang akan lebih sulit diatur.

Anggota legislatif yang jumlahnya ratusan di setiap dapil dari 24 partai politik yang tengah berebut suara, sudah pasti akan menyulitkan lembaga pendidikan menyediakan arena yang fair.

Karena itu, praktik berpolitik semacam ini mengandung resiko. Jalan tengahnya adalah, penyelenggara pemilu yang selama ini juga telah melakukan upaya kontak dengan lembaga pendidikan diperbanyak porsinya untuk hadir di sekolah. Walau ada pertanyaan klise terkait kemampuan KPU dan Bawaslu, setidaknya ini mestinya mendorong kedua lembaga itu kerjasama dengan berbagai pihak yang turut melakukan literasi politik dengan syarat pihak yang kerjasama dapat membuktikan akuntabilitasnya.

Sebagai pendidik, tentu saya mengerti betul situasi semacam ini terutama menjelang pemilu. Oleh karena itu, tak cukup sekedar menyeret lembaga pendidikan dalam pertarungan politik bila kesiapan penyelenggara pemilu, tentu saja dengan pengawas pemilu, kerepotan menjaga netralitas lembaga pendidikan. Terlebih pemilu mestinya langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.