Oleh Ilham Abdul Jabar
Dewan Guru Pesantren Al Hikmah Mugarsari Kota Tasikmalaya
Aktivis Muda Nahdlatul Ulama
Akhir-akhir ini di media sosial, berita online, di konten-konten, saya selalu saja disuguhkan dengan informasi berbagai kasus korupsi. Hingga akhirnya saya berpikir selaku rakyat indonesia perlu menyumbangkan pemikiran saya.
Mengamati fenomena sekarang, saya bisa mengambil kesimpulan, korupsi di Indonesia ternyata bukan sekadar masalah individu yang serakah. Lebih jauh dari itu, ini adalah cermin dari sistem yang amburadul, ambigu, dan penuh kontradiksi. Kasus-kasus korupsi mega skala seperti Pertamina (Rp193,7 triliun), timah (Rp300 triliun), BLBI (Rp138,4 triliun), kondensat ilegal TPPI (Rp37,8 triliun) dan masih banyak lagi. Dampaknya, bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak lingkungan, menghancurkan kepercayaan publik, dan menggerogoti fondasi negara.
Untuk menanggapi fenomena ini saya jadi ingin membuka kembali buku Madilog karya Tan Malaka yang sudah lama saya tidak buka. Jikapun beliau sudah tidak ada tapi pemikiran-pemikiran beliau masih relevan untuk menanggapi fenomena akhir-akhir ini. Tan Malaka! Izinkan saya memakai pemikiranmu untuk menanggapi masalah korupsi yang terjadi marak akhir-akhir ini.
Andaikan Tan Malaka hadir di tengah-tengah kita, pasti dia akan mengatakan “Lihatlah materi, lihatlah realitas!” sadarlah kawan, pandangan materialisme. Korupsi ini bukanlah masalah moral individu, melainkan hasil dari struktur ekonomi-politik yang timpang. Contohnya dalam kasus korupsi timah, perusahaan tambang mengeruk keuntungan besar. Sementara rakyat dan lingkungan menanggung kerugian. Rakyat ingin membeli pertamax demi mendapatkan kualitas yang bagus walaupun harganya lebih mahal daripada pertalite ehh malah dioplos. Bukankah Ini contoh nyata bagaimana modal (kapital) mengorbankan kepentingan rakyat?
Yang parahnya lagi, sekarang negara sudah menjadi alat para elite, contohnya kasus BLBI. Dari kasus ini, bisa kita pahami bagaimana negara menjadi alat bagi segelintir elite untuk memperkaya diri. Dana Rp147,7 triliun yang seharusnya menyelamatkan perekonomian justru diselewengkan.
Fungsi negara
Pertanyaan yang muncul dari benak saya “Apakah negara masih menjalankan fungsinya sebagai penjaga kepentingan rakyat ketika korupsi merajalela. Ataukah ia telah menjadi alat bagi elite untuk melanggengkan kekuasaan?”
Dalam kacamata dialektika, korupsi lahir dari dampak produk kontradiksi internal. Dialektika mengajarkan kita bahwa segala sesuatu mengandung kontradiksi internal yang mendorong perubahan. Dalam konteks korupsi, kontradiksi ini terlihat jelas, misalnya kontradiksi antara hukum dan kekuasaan.
Tumpul ke atas tajam ke bawah, untuk menggambarkan peran hukum di negara kita ini sudah bukan lagi kata-kata belaka. Siapa yang tidak tahu kasus Asabri (Rp22,78 triliun),Benny Tjokro yang didakwa melakukan pencucian uang hanya divonis nihil. Apapun alasannya penjatuhan vonis ini dinilai bertentangan dengan keadilan masyarakat dan negara yang dirugikan oleh perbuatan pelaku.
Setiapkali kasus korupsi terungkap, kita berharap bahwa keadilan akan ditegakkan. Namun, harapan itu sering kali pupus ketika melihat bagaimana korupsi terus berulang, dan pemberlakuan hukum yang “lucu.” Kekecewaan masyarakat pada sistem negara semakin dalam ketika melihat bagaimana korupsi merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apakah masih ada harapan untuk memperbaiki sistem yang sudah sedemikian rusak ini? Ataukah kita hanya bisa pasrah dan menerima korupsi sebagai bagian tak terpisahkan dari realitas kehidupan berbangsa?
Jika kita memakai kacamata logika, sungguh kita akan menemukan bahwa perbuatan korupsi itu sebagai produk pemikiran yang irasional. Dalam Madilognya, Tan Malaka menekankan pentingnya logika sebagai alat untuk berpikir secara sistematis dan rasional. Namun, korupsi justru lahir dari pemikiran yang irasional dan ambigu. Berarti kita bisa menilai sejauh mana logika mereka berfungsi.
Revolusi
Sampai sini, mungkin para pembaca sudah bertanya-tanya, lalu apa sintesis dari keadaan ini? Kalau pandangan saya, cara memperbaikinya simpel, namun susah dilaksanakan. Yaitu dengan revolusi mental dan sistemik.
Revolusi Mental, rakyat harus dibebaskan dari mentalitas feodal dan pemikiran irasional. Pendidikan IQ, SQ dan EQ adalah kunci untuk meningkatkan kesadaran rakyat. Hal ini harus berbarengan dengan revolusi yang sistemik di pemerintahan. Lalu sistem hukum, ekonomi, politik yang tidak adil harus diubah secara mendasar. Mungkin Ini berarti harus membongkar oligarki dan elite-elite yang lain, namun demi menciptakan tatanan baru yang lebih adil, apa boleh buat?
Mungkin, untuk kali ini, hanya itu yang bisa saya suguhkan untuk menakar fenomena sekarang dengan konsep Madilognya Tan Malaka. Wallahu a’lam. ***