KAPOL.ID — Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI akhirnya mengeluarkan peraturan yang mengatur label bahaya BPA pada galon AMDK dengan bahan Polikarbonat.
Perlawanan paling keras untuk menentang regulasi pelabelan risiko Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon air minum (AMDK) boleh jadi diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) yang ketuanya merupakan petinggi perusahaan multinasional.
Yang terbaru, membawa-bawa produsen AMDK skala kecil dan menengah sebagai alasan, Ketua Aspadin Rachmat Hidayat mengatakan, peraturan pelabelan yang baru diterbitkan BPOM hanya akan memberatkan pelaku usaha.
“Hal ini juga mungkin yang menjadi pertimbangan BPOM sehingga baru mewajibkan pelabelan ini 4 tahun setelah peraturan tersebut diterbitkan,” ungkap Rachmat, seperti dikutip Kontan (17/7).
Dalam beberapa kesempatan, Aspadin juga kerap mengutarakan penolakan keras terkait regulasi ini.
Pihaknya menentang usulan tersebut lantaran selama 40 tahun penggunaan galon guna ulang polikarbonat, belum ada temuan masalah kesehatan akibat mengonsumsi AMDK tersebut.
Rachmat Hidayat, selain dikenal sebagai ketua umum Aspadin juga diketahui menjabat sebagai salah satu direktur di perusahaan multinasional raksasa asal Prancis, Danone-Aqua.
Danone-Aqua menjadi penguasa pangsa pasar terbesar AMDK botol, gelas plastik dan galon polikarbonat berbahan Bisfenol A (BPA) di Indonesia.
Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, terdapat dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko bahaya BPA pada kemasan AMDK, yaitu 48a dan 61a, dengan tenggat waktu transisi empat tahun bagi produsen untuk melakukan penyesuaian.
Saat ini, Indonesia mungkin satu dari segelintir negara di dunia yang masih membolehkan penggunaan senyawa kimia BPA untuk kemasan air minum dan lainnya.
Lobi dan perlawanan sengit yang dimotori oleh pengusaha AMDK multinasional boleh jadi salah satu alasannya, sebab faktanya BPA justru sudah dilarang dan diperketat di banyak negara.
Sebagai bukti makin ketatnya peraturan dunia internasional untuk membatasi BPA, 27 negara yang bergabung dalam UE bahkan sudah resmi mengumumkan kebijakan pelarangaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman pada penghujung tahun 2024 ini.
UE juga sangat tegas, perusahaan hanya diberi waktu transisi selama 18 hingga 36 bulan untuk mematuhi larangan ini.
Ini berbeda dengan BPOM yang bahkan sangat lunak, karena masih memberikan waktu empat tahun kepada pengusaha AMDK untuk ikut regulasi pelabelan kemasan galon BPA.
Lunaknya kebijakan di Indonesia, sebenarnya bertolak belakang dengan temuan uji migrasi BPOM sendiri pada AMDK galon polikarbonat, yang justru menghasilkan temuan yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan uji migrasi BPOM pada AMDK galon polikarbonat (PC) sepanjang tahun 2021-2022, ditemukan bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang dipatok BPOM: yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan”, karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Kebijakan Indonesia yang sangat lunak ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat.
Investigasi suratkabar Washington Post (31/5/2009), mengungkapkan bagaimana para pemimpin industri yang menggunakan senyawa BPA berupaya melakukan perlawanan dengan segala cara, agar produk kemasan mereka tidak diregulasi.
Lobi industri di AS memang cukup kuat. Meski ada lebih dari 100 publikasi penelitian tentang bahaya BPA, Food and Drug Administration (FDA atau BPOM-nya AS) masih belum meregulasi kemasan BPA, hanya karena mempertimbangkan dua hasil riset pro-BPA.
Meskipun anehnya, kedua hasil riset tersebut justru didanai oleh grup industri kimia yang tidak netral. ***