BUDAYA

Refleksi dan Revitalisasi Dangiang Sunda Pakidulan

×

Refleksi dan Revitalisasi Dangiang Sunda Pakidulan

Sebarkan artikel ini

KAPOl.ID-
Dangiang Sunda Pakidulan (DSP), komunitas atau paguyuban Sunda di Tasela menggelar refleksi dan revitalisasi mapag taun anyar 2021, di Imah Sunda Beuri, Desa Simpang, Kec. Bantarkalong, Kab. Tasikmalaya.

Ada yang berbeda dengan tahun sebelumnya, semangat dan optimisme untuk menapaki eksistensi perjalanan dan perjuangan DSP ke depan sangat kentara.

Terjadi dialog cukup bernas bahkan autokritik dari anggota yang datang terutama dari kalangan nonoman (pemuda).

Nanang salah satu nonoman DSP menegaskan, sejak berdiri tahun 2006 belum kelihatan ada semacam aktivitas atau kegiatan yang bisa mendorong warga Tasela.

“Budaya itu punya pengertian yang luas, tidak hanya seni, bahkan seni bagian kecil saja dari budaya. Urang Sunda sangat dekat dengan alamnya, pengelolaan hutan terutama hutan lindung dan lingkungannya.”

“Dari perilaku manusianya, pengembangan wisata alam dan potensinya bisa dikatakan bagian dari budaya yang harus diperhatikan, dilindungi dan terus dikembangkan,” jelas Nanang, Minggu (27/12/2020)

Dia berharap DSP tahun 2021 bisa berperan mendorong warga Tasela dalam bentuk budaya dalam pengertian yang luas.

Seperti halnya pengembangan wisata alam (sungai, hutan, gunun, bukit dan laut).

“Ditempat wisata nanti bisa ditampilkan berbagai macam kreasi seni, sehingga seni dan tradisi Sunda bisa hidup dan menghidupi pelaku seninya,” harapnya yang juga ikut mendirikan DSP (2006)

Kritik yang sama datang dari Muhammad Taufan Firmansyah. Dia menambahkan Desa Hegarwangi sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pusat budaya Sunda dan pengembangan wisata alamnya.

Sejatinya DSP bisa lebih terdorong melahirkan kreativitas budaya tak hanya seni.

“Selama ini belum terlihat di masyarakat apa bisa dilakukan untuk kemajuan daerah dalam budaya dengan arti yang luas, bukan hanya seni,” jelas Taufan yang juga Kades Hegarwangi, Kec. Bantarkalong.

Dedi Abdullah dari PATAKA Kaum Bantarkalong Cipatujah menandaskan, sejatinya DSP harus lebih maju dan bisa memberikan pencerahan kepada warga Tasela dalam menggali potensi budaya seni dan wisata.

“Harapan ke depan DSP tidak hanya ada aktivitas jika menghadapi milangkala. Alangkah baiknya jika ada progres lewat potensi yang lain.”

“Selain seni di Tasela bisa lebih berkembang, berdaya guna untuk kesejahteraan warga Tasela,” harap Dedi.

Pupuhu DSP Slamet Riadi menanggapi apa yang dikritisi oleh anggotanya. Sudah menjadi bagean dari udagan (visi) dan rarancang gawe (misi) DSP.

Awal berdirinya DSP datang dari almarhum Ki Darya lebih fokus mengajak bagaimana agar warga Tasela ngamumule basa Sunda.

Terutama keluarga, kalangan, pemerintahan, ajengan, kepala sekolah dan guru bisa menanamkan kepada masyarakat atau muridnya agar bicara dalam sehari-hari menggunakan basa indung basa Sunda.

Seiring dengan perkembangan zaman pungkasnya, ternyata autokritik ini sangat baik untuk ditindaklanjuti dan harus menjadi pemikiran bersama.

“Tentu jika harus sempurna memerlukan dorongan dan masukan dari semua pihak, DSP tugasnya hanya cukang (jembatan).”

“Untuk bisa menyampaikan kepada yang punya kebijakan agar semua usulan dari warga Tasela khususnya dalam budaya bisa ditindaklanjuti,” jelas Ki Emet, sapaan akrab Slamet.***