KANAL

Telaah Kritis Atas Hubungan Islam Dan Negara (3. Tamat)

×

Telaah Kritis Atas Hubungan Islam Dan Negara (3. Tamat)

Sebarkan artikel ini

(Refleksi atas pemikiran Prof. Bahtiar Efendy)
Reviewer : Dr. Maulana Janah, MA

Menjelaskan hubungan Islam dan negara terkait posisi partai-partai dan kelompok-kelompok Islam. Hal ini diulas sangat dalam hingga pada masa-masa awal terbentuknya Negara Indonesia. Pada tahun 1955 misalnya Indonesia telah melakukan pemilu pertama yang sangat demokratis. Diikuti partai-partai baik bercorak agama dan nasionalis. Sejak ituah demokrasi di Indonesia mengalami perkembangannya sampat saat ini.

Dalam pandangan para intelektual Islam juga banyak yang berpendapat tentang demokrasi itu sendiri. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. sejak perkembangannya perdebatan panjang tentang Islam dan demokrasi dalam khazanah Islam juga dapat berarti bahwa para penganut agama Islam sangat beraneka ragam dalam menyikapi demokrasi itu sendiri.

Misalnya, Islam dan demokrasi merupakan dua konsep yang berbeda, Islam merujuk pada satu Istilah berkenaan dengan pandangan hidup (way of life) yang telah digariskan oleh Allah swt, sedangkan demokrasi adalah bukan merupakan agama itu sendiri tetapi sebuah istilah yang merujuk pada kehidupan bernegara. Suatu konsep yang bisa saja dikemudian hari berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Oleh karena itu Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dan dipersamakan posisi yang sama. Ini memiliki makna bahwa Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi syariah, muamalah dan akhlak.

Demokrasi tidak memiliki aspek-aspek seperti itu sehingga kurang proposional kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari alat (tool) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Rashid Ghannoushi menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi bahkan berkongsi beberapa ciri yang sama di mana kepentingan Pengamalan Demokrasi di Dunia Islam Menurut Perspektif bersama dapat bertukar antara satu sama lain.

Beliau menyeru kepada umat Islam supaya menerima demokrasi sebagai satu langkah untuk membebaskan negara dari pemerintahan diktator yang menghalangi kebebasan bersuara dan pilihanraya umum. Beliau berkeyakinan bahawa demokrasi yang bercirikan Islam merupakan jalan untuk menobatkan Islam sebagai syariat tertinggi. Hujah Ghannoushi bahawa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi ialah kerana sistem autoriti sivil diwujudkan di mana perlakuan politiknya diserahkan kepada rakyat. Dalam sistem demokrasi, beberapa mekanisme demokrasi seperti kebebasan bersuara, sistem berparlimen, dan pilihanraya boleh diwujudkan dan diinstitusikan dengan melaksanakan syura. Oleh itu, beliau menegaskan bahawa demokrasi diperlukan kerana kebaikannya. Ia merupakan mekanisme bagi warga muslim memanfaatkan sebaik mungkin darinya bagi mewujudkan semula pemerintahan moden berasaskan syura dan demokrasi Islami.

Dalam pandangan Ghannoushi, beliau menekankan kepentingan demokrasi dalam dunia Arab yang mana sehingga kini kebanyakan sistem pemerintahan negara dunia Arab seperti di Tunisia, Algeria dan Syiria adalah berasaskan pemerintahan yang bersifat diktator. Oleh itu, system demokrasi deperlukan bagi mengembalikan hak kebebasan bersuara dan pemilihan kerajaan yang bersifat bebas. ini kerana beliau yakin bahawa kebangkitan rakyat dengan semangat Islam akan membawa kepada pemilihan pemimpin yang berwibawa dan berjiwa Islam. Dalam dunia Arab, perjuangan mereka adalah menukar sistem diktator kepada demokrasi sementara di Malaysia perkara tersebut telah selesai. Namun perkara yang perlu dilakukan adalah mengukuhkan sistem demokrasi tersebut dengan nilai-nilai integriti dan Islami.

Selanjutnya demokrasi itu sendiri memiliki makna yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada basis pijakan yang mutlak dan absolut yang bisa dipakai sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi. Demokrasi tidak dapat menentukan suatu tipe yang ideal bagi dirinya sendiri baik dalam definisi maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi pengertian kepada makna demokrasi itu sendiri sesuai dengan kerangka pemahaman Islam. Dengan demikian berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat dibandingkan dalam level yang setingkat, harus diakui adanya pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan negara menjadi relatif. Di hadapan negara, bersifat mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam.

Oleh karena itu, pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi tujuan sedangkan negara merupakan sarana dan perantara saja. Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan bersifat mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan (setidak-tidaknya menurut klaim agama) sistem gagasannya.

Dengan klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup yang lebih menyeluruh daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan menempatkan demokrasi di hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain, demokrasi dihadapkan pada teologi Islam. Relasi antara demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip tauhîd) juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis menjadi otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri dengan “jiwa dari hukum yang diwahyukan”.

Dengan demikian, memang harus diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah “pikir manusia” membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dapat saja perubahan ini justru merongrong nilai abadi dalam Islam.

Disnilah persoalannya potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan gagasan demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan transendental). Kasus Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki sistem kepercayaan yang dapat bertentangan dengan gagasan demokrasi.

Oleh karena itu, pandangan yang berbeda diungkapkan oleh Shaikh Muhammad Hisham Kabbani tentang demokrasi dalam pandangan tradisi Islam, ia mengatakan bahwa Aturan didasarkan pada konsep shūrā, sebuah istilah yang memiliki dua arti dalam pemerintahan Islam, yang pertama Shūrā adalah referendum yang menjadi dasar mayoritas orang, dan merupakan metode dasar untuk memilih penguasa dalam Islam.

Demikian pula, cara untuk menyetujui keputusannya. Muhammad Abū Zahrā dalam Sejarah Pemikiran dan Kepemimpinan Islam dalam Politik dan Kepercayaan, menulis: “Semua Muslim, termasuk kelompok syiah dan semua aliran pemikiran yang berbeda, mereka sepakat bahwa kepemimpinan seperti yang didefinisikan oleh Nabi. Jika anda membuat seorang pemimpin anda hanya bisa dilaksanakan dengan pemilihan. Itu dilakukan di setiap distrik, (hayy), di tingkat negara bagian (wilāyat) dan di atasnya oleh otoritas federal (al-idāra al-markazīyya). Kedua Dewan penasihat (al-majlis ash-shūrā), yang menasihati penguasa, adalah sekelompok ahli terpilih. Tugas kelompok semacam itu adalah mengamati dan mengawasi penguasa (murāqabat as-sulţān). Mereka berada dalam posisi ini untuk membentuk peraturan, dan untuk mengendalikan aspirasi apa pun dan hak-hak rakyat.

Mereka menyadari variasi dalam hak-hak ini adalah norma etnis, budaya dan lingkungan. Sistem ini seperti yang diterapkan di Amerika saat ini, yang memiliki sistem federal, pemerintah negara bagian dan lokal, dan pemerintah kota. Sistem peradilan bertindak untuk memeriksa eksekutif dan legislatif, memastikan pelaksanaan undang-undang yang adil dan benar. Memiliki pers yang bebas, yang bertindak sebagai pengawas pemerintahan, memberikan kontrol, sehingga kepentingan rakyat tidak dikhianati.

Segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupan manusia diperhitungkan dalam hukum dan berada di bawah yurisdiksi penguasa. Namun penguasa sendiri tidak memiliki pilihan pribadi dalam memerintah, seperti halnya dengan raja pada masa sekarang. Nabi melarang penguasa, yang telah dipilih atau ditunjuk, untuk merebut otoritas yang tidak dimilikinya. Dia terikat dengan hukum, sebagai penguasa maka tugasnya untuk menegakannya.

Di dalam syari’at ada hukum yang tidak dapat diubah, seperti dalam konstitusional demokrasi Barat dan Undang-Undang Hak Asasi Amerika Serikat. Namun, aturan-aturan tertentu dapat disesuaikan, berubah dengan alasan: Pertama, penerapan praktis dari hukum “tidak dapat diubah”, ditetapkan dalam keputusan hakim sebelumnya; yaitu. kasus hukum. Kedua. Kebutuhan masyarakat berkembang. Ini adalah tugas dari Dâr al-Iftā, untuk membentuk dasar bagi undang-undang baru yang disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan inovasi manusia, dari sisi kebiasaan. tidak menuntut agar peraturan tertentu diberlakukan pada inovasi baru, namun membiarkan masyarakat mengembangkan undang-undang sesuai kebutuhan, berdasarkan sesuatu yang telah ditetapkan dalam masa hidupnya oleh cendekiawan di generasi berikutnya.

Dalam pandangan Baruch Spinoza “Setiap orang berbeda dalam pandangan mereka tentang kehidupan individu.” Setiap orang memiliki pendapat berbeda mengenai setiap masalah, oleh karena itu pelaksanaan shūrā, atau pemilihan oleh mayoritas, sangat penting dalam pembentukan undang-undang baru yang akan berhasil dan efektif.

Perdebatan tentang Islam dan negara telah memberikan arah bahwa hal tersebut muncul dalam ruang negara yang menganut sistem demokrasi. Seperti halnya Indonesia, demokrasi telah menjadi sistem dalam perpolitikan Indonesia. Dalam perkembangan demokrasi di negara yang berpenduduk muslim seperti Indonesia, mengalami banyak kemajuan dalam titik tertentu tetapi dalam titik lain memiliki kekurangan.

Umpanya, Indonesia sebagai negara yang menerapkan demokrasi mengalami problem internal di negaranya seperti lemah dalam pembangunan dan konsolidasi demokrasi pada tingkat struktur pemerintahan sehingga demokrasi mengakibatkan dan cenderung hanya sebatas prosedural. Pada tataran kultur masyarakat pun cenderung mengalami pergeseran yang cukup mencolok, misalnya dominasi kekuatan modal seringkali mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kepemilihan suatu tokoh dalam pemilu.

Realitas ini banyak terjadi pada negara seperti Indonesia. Walaupun pada titik lain Indonesia banyak mengalami kemajuan setelah sistem demokrasi diterapkan.Misalnya tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan setiap warga (civil libertis), Kebeban Pers, tumbuhnya masyarakat sipil (civil society) dan penghargaan atas perbedaan (pluralitas). Demokrai di Indonesia sejak reformasi tahun 1998 telah berusia hampir 18 tahun. Dengan tiga kali pemilu langsung, serta ratusan pemilukada ditingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten.

Kenyataan demokrasi di Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, perlu ada penataan.
Pandangan lain terkait realitas demokrasi di Indonesia bahwa dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan dan rintangan, misalnya munculnya aliran dan kelompok yang menentang demokrasi. Baik dilakukan oleh kelompok Islam maupun yang lainnya.

Pro kontra terkait dengan demokrasi ini tidak terlepas dari nuansa demokrasi yang memberikan kebebasan terhadap individu, kelompok atau golongan untuk menyuarakan aspirasinya. Hal yang wajar ketika demokrasi semakin terbuka, maka masyarakat akan meresponnya dengan cara yang berbeda-beda.

Di dalam buku Prof Bahtiar telah dijelaskan tentang politik akomodasi negara yang telah memberikan sejumlah tuntutan politik sehingga munculah keberpihakan negara dalam mengakomodir kepentingan Islam Politik. Realitasnya arah tentang islam dan Negara yang dituangkan dalam buku Prof. Bahtiar Efendi, jika melihat praktiknya sampai saat ini, banyak kepentingan Islam politik yang telah diakomodir oleh negara secara legal formal. ***