Menyikapi Hari Jadi Kota Tasikmalaya bulan Oktober dengan mengambil tema besar Tasik resik, bersih, hijau nyaman dengan kord dasar lingkungan, kedengarannya paradoks ketika realita sangat bertolak belakang. Akhirnya jargon yang dikemukakan salah satu petinggi Kota Tasikmalaya Sekda Bapak Ivan Dicksan di salah satu media online jauh panggang dari api.
Sementara persoalan di lapangan kesan pembiaran begitu terasa. Mari kita lihat PKL cihideung, sebelah mana nyamannya, bersihnya, resiknya yang ada masalah yang mengerucut, justru penataannya semrawut. Padahal Cihideung salah satu ikon kota Tasikmalaya. Dibuktikan ketika orang (masyarakat Tasikmalaya) kalau berkunjung ke kota, Cihideung salah satu nama yang wajib di kunjungi. “Kalau ke kota belum ke cihideung perasaaan belum ke kota” (red). Di samping jalan KH Zaenal Musthofa. yang selama ini stagnan akan perbaikan supra struktur.
Event tahunan TOF (Tasik Oktober Festival) terkesan dipaksakan sebagai sebuah event yang merepresentarikan Kota Tasikmalaya di masyarakatnya dan atau sebagai magnet untuk sebuah destinasi pariwisata. Sejatinya TOF harus punya daya magis selain objek wisata, juga ajang bargaining untuk calon investor dari mulai persoalan ekonomi, budaya, tentu di dalamnya kearipan lokal dengan segala keunikannya. Harus di akui Kota Tasikmalaya tidak mempunyai destinasi pariwisata, kalupun ada sangatlah tidak layak disebut destinasi pariwisata, Situ Gede misalnya dan masih banyak lagi.
Keniscayaan peran pemerintah dalam hal ini Walikota harus menjadi menjadi mesin penggerak. Sebab hakekatnya pemerintah merupakan perpanjangan tangan atau informan tentang perkembangan kota. Sejatinya pemerintah menjadi Bapak angkat untuk kelompok-kelompok budaya (seni) yang berkembang di masyarakatnya.
Sejalan dengan keterangan di atas, maka mendapat simpulan sementara, bahwa macetnya nilai komunikasi terletak pada persoalan keterbukaan, sementara munculnya ketidakterbukaan akibat pemahaman makmaknai sebuah peristiwa TOF sebatas bisnis semata tidak menyentuh kepada “nilai”. Disini letaknya soal! Padahal pengertian dasar peristiwa budaya (TOF) adalah sebuah proses memanusiakan ide-ide dan gagasan ke dalam sebuah peristiwa budaya. Dalam arti luas, sebuah peristiwa budaya memahami masyarakatnya tentang wilayahnya sendiri, dan tentang memperkenalkan kekuatan budaya masyarakatnya di mata dunia.
Cara pandang inilah pada saat sekarang mulai tergadai dan tergerus dengan kepentingan pribadi dan golongan lebih tepatnya kepentingan balas budi atau kepentingan kroni-kroni. Adalah hitungan untung rugi secara angka. Sehingga kehilangan makna komunikasi seutuhnya. Mendidik, memahami, Mengajak bersikap kritis, inovatif dan kreatif menjadi mati suri. Pola berpikir dan pola tindak sistematik, berpikir global tentang nilai-nilai kebudayan dan membangun sinergitas serta pendekatan untuk menyelamatkan kebudayaan terkebiri kepentingan politis dan untung rugi tadi.
Masyarakat “mungkin” berharap banyak kepada pemerintah, dan keharusan mengajak kepada semua element yang ada di masyarakat tidak terkecuali agamawan aktivis, mahasiswa, politisi, broker (calo) sekalipun. Mari bergandeng tangan membangun peristiwa budaya, karena terbukti majunya suatu bangsa atau wilayah bisa dilihat dari perkembangan budayannya. Sehingga ruang dialogis ini menggiring untuk menumbuhkan rasa saling memiliki. Maka jelas yang bertanggung jawab keberlangsungan budaya bukanlah masyarakat semata tapi “Kita”.
Jika ada kekeliruan akan terjadi split reverence (acuan terbelah). Hasil yang muncul akan berakibat bergesernya budaya (tata nilai) bukan pengkristalan budaya. Semoga cacatan kecil ini menjadi acuan untuk bahan renungan “Kita”, dan menjadi stimulus untuk duduk bersama membicarakan tentang hakikat sebuah peristiwa budaya. ***