Oleh Ridwan Hasyimi
Tukang obat telah menjadi bukan saja profesi namun fenomena khas yang hadir di tengah masyarakat. Yang sekali pernah menonton tukang obat “pentas” di alun-alun, pasar, pasar malam, dan tempat keramaian lain, hampir pasti melekat di ingatan.
Gaya bicara ngebut, narasi hiperbola, persuasif, properti khas yang “angker”, dan sedikit trik sulap telah melekat sebagai profil umum tukang obat. Mereka biasanya menonjolkan latar etnik tertentu. Lebih tepatnya, menjual nama etnik tertentu yang masyhur sebagai jago pengobatan atau ahli ilmu klenik.
Minggu, 5 September 2021 di Studio Ngaos Art, Kota Tasikmalaya, pengalaman unik itu coba dihadirkan kembali oleh Kahfi Nurul Asror dalam bentuk pertunjukan monolog Tukang Obat. Sebagai gimik dan penegas identitas, dengan bertelanjang dada, tokoh membuka pertunjukan dengan merapal mantra seraya menyalakan dupa lalu menari-nari diiringi musik nuansa salah satu etnik di Kalimantan Selatan.
Dari sini, dapat diterka bahwa tokoh ini berlatar (atau menjual) etnik tertentu. Lampu top light yang fokus hanya pada tokoh membuatnya lebih dramatis. Tak lama tokoh pun mengenakan kostum, siap cuap-cuap sebagai tukang obat.
Demi meyakinkan penonton, ia memamerkan “ilmunya”, menerbangkan kotak berbungkus kain dan kebal senjata tajam. Katanya, ia punya minyak sakti yang bahkan telah ditawar seharga satu milyar, namun tak ia jual. Minyak ini didapatnya dari suku pedalaman yang sangat rahasia, tinggal di goa-goa, tanpa busana, kanibal, dan hidup sejak zaman primitif.
Dari lima orang yang berangkat mencari, hanya dia yang selamat. Keajaiban ini berkat minyak sakti yang berkhasiat untuk keselamatan dan kemakmuran, yaitu minyak timpakul.
Sang tukang obat keukeuh tidak menjual minyak saktinya. Tetapi, jika hadirin juga keukeuh ingin memiliki, bolehlah “ditukar” dengan mengganti ongkos transportasi dari pedalaman ke kota.
Lagi-lagi, demi meyakinkan calon pembeli, ia menunjukan sejumlah foto orang-orang yang telah sukses berkat minyak ini, di antaranya anggota DPR dari tingkat kabupaten sampai pusat, pejabat negara, dan lain sebagainya.
Alurnya relatif mudah ditebak, seperti alur “pertunjukan” tukang obat sungguhan. Namun, karena ini pertunjukan teater, tentu ada bedanya. Secara umum, naskah karya Y.S. Agus Suseno ini dibawakan dengan pendekatan realis dalam arti peristiwa teater diupayakan semirip mungkin dengan peristiwa referensialnya.
Kendati demikian, realitas di atas panggung bukanlah peristiwa jualan obat seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian dipindahkan ke panggung.
Keduanya adalah realitas yang berbeda. Oleh karenanya, Ab Asmarandana sebagai sutradara meracik beberapa bagian berbeda dengan tukang obat aslinya demi sesuai dengan dunia panggung. Misalnya, tempo bicara tidak melulu ngebut sepeti umumnya tukang obat.
Ada dinamika tempo dan irama. Ada juga variasi posisi dan level pemain. Lihat tukang obat! Biasanya dia cuma cuap-cuap sambil duduk tanpa banyak bergerak.
Sayang, aktingnya berlebihan. Bila hendak mendekati tukang obat dengan pendekatan akting realis, pada bagian tertentu, apa yang disajikan Kahfi terlampau karikatural. Kecuali itu, pada bagian lain, sang aktor nampak masih kesulitan menaklukan kata-kata.
Ketika ia menyebut jabatan-jabatan dan situasnya yang dinilainya cocok memakai minyak ini, terasa sekali masih hapalan. Aktor hanya melontarkan kata-kata, belum menaklukan, menghidupkan, apalagi memilikinya.
Pada bagian saat ia menjelaskan mata ikan timpakul seperti mata katak, peragaannya terlalu berlebihan, terlalu sadar bahwa ia sedang pentas dan harus memukau. Padahal akting realis harus bersih dari tendensi semacam itu.
Sepanjang pertunjukan, tokoh berbicara ke arah penonton. Dalam monolog, hal ini sering sekali terjadi. Namun, yang perlu digarisbawahi, mengarah ke penonton belum tentu berbicara kepada/dengan penonton. Kalaupun berbicara dengan penonton, sebagai apa penonton dipersepsikan?
Bila penonton dipersepsikan sebagai penonton pertunjukan sebagaimana nyatanya, maka dialog yang ditujukan buat penonton adalah pengejawantahan teknik alienasi dalam perseptif Brechtian.
Bila penonton dipersepsikan, umpamanya, sebagai orang-orang yang berkerumun menonton “pertunjukan” tukang obat, maka penonton menjadi mendapat peran dalam cerita dan menjadi bagian darinya.
Dalam konteks teater virtual, penonton diwakili oleh kamera. Maka bila hendak berkomunikasi ke arah penonton, aktor akan menghadapkan wajahnya ke kamera. Namun, ini bukan tanpa persoalan.
Objek 15 Menit
Pertunjukan monolog Tukang Obat yang dibawakan Kahfi dan disutradari Ab Asmarandana ini diproduksi, pada mulanya, untuk kepentingan keikutsertaan Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) dalam Lomba Monolog Virtual tingkat Nasional yang diadakan Asosiasi Prodi Pendidikan Sendratasik Indonesia (AP2SENI).
Sebagaimana lomba teater virtual, ada sejumlah syarat teknis yang harus dipenuhi, di antaranya wajib menggunakan satu kamera, wajib statis, wajib sekali pengambilan gambar (one-take shot), haram disunting, dan wajib berdurasi maksimal 15 menit.
Diakui Kahfi, bermain di depan kamera sungguh lain dengan di depan penonton. Tidak ada energi balik yang diberikan ketika aktor menatap ke arah penonton. Tidak ada magis tontonan yang kerap kali memberi aktor seribu kali lipat energi.
Pada satu momen, kamera terasa jahat. Ia hanya mengambil gambar tanpa memberi energi balik. Aktor yang berlaga diperlakukan kamera tak lebih sebagai objek belaka, tak beda dengan meja, kursi, atau kucing. Ia adalah objek gambar. Tidak lebih. Oleh karenanya, peristiwa yang terjadi bukan tontonan.
Mengatasi gersangnyanya teater virtual, Direktur Ngaos Art yang juga tenaga pengajar Prodi Sendratasik UMTAS, Ab Asmarandana, mengundang sejumlah orang untuk menonton “pengambilan gambar”.
Teater, betapa pun gawatnya situasi, harus langsung, seketika, dan jumpa. Betapa pun canggihnya, teater tetaplah purba: ia adalah upacara.
Yang menonton tidak banyak, hanya delapan orang. Itu pun dengan prokes super ketat. Tetapi, karena ditujukan buat lomba dan ditonton via layar, pertunjukan malam itu terasa melelahkan sebab mengejar batas durasi.
Batas durasi 15 menit adalah konvensi daya tahan manusia menonton layar gawai dengan fokus. Apalagi yang ditonton adalah dokumentasi pertunjukan yang flat, hanya satu sudut pandang dan statis, besar kemungkinan membosankan dan cepat bikin mata lelah.
Tidakkah teater virtual, sebagai teater masa darurat, sebaiknya terang-terangan saja kawin dengan sinematografi? Kamera boleh lebih dari satu dan boleh bergerak-gerak mengeksplor berbagai sudut dan teknik pengambilam gambar.
Jika demi menjaga kekhasan teater yang tanpa cut, bukan berarti video tidak boleh disunting. Zaman kini banyak ahli telematika yang bisa tahu apakah satu video merupakan gabungan dari banyak video yang direkam secara terpisah atau direkam dalam satu waktu dengan banyak kamera dari berbagai sudut.
Mengapa lebih memilih membatasi ruang kreativitas seniman ketimbang mengontrak ahli telematika untuk mendiagnosis satu video?
Pandemi memang bikin kaget. Tapi, setelah hampir dua tahun, masa mau kaget terus? Sebegai sebuah keniscayaan, teater virtual musti segera dirumuskan agar patut sebagai “film pertunjukan”.