KAPOL.ID – Tap MPRS No 33 Tahun 1967 didesak sejumlah elemen masyarakat untuk dicabut.
“Itu, agar nama baik presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, bisa pulih dan tak menimbulkan kontroversi di kemudian hari,” kata Ketua DPW Barikade ‘98 Jawa Barat Budi Hermansyah dalam acara Nilai dan Teladan Bung Karno yang diselenggarakan Panitia Bersama dalam rangka bulan Bung Karno, di Greko Creative Hub, Kota Bandung, Minggu (26/6/2022).
Menurut dia, ada keinginan dari pihaknya agar Tap MPRS No 33 Tahun 1967 untuk dicabut.
“Mengingat Bung Karno telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2012 lalu. Artinya dengan menjadi Pahlawan Nasional, beliau tidak memiliki cacat politik dan juga cacat sejarah,” ujar Budi.
Dengan belum dicabutnya Tap MPRS tersebut, dikatakan Budi, gelar Pahlawan Nasional yang disematkan pada Bung Karno menjadi sebuah ironi.
Pasalnya, tiap tahun selalu ada peringatan hari lahir Bung Karno, hari lahir Pancasila, bulan Bung Karno, juga wafatnya Bung Karno, namun masih ada catatan sejarah minor yang melingkupi sosok proklamator tersebut.
“Bagi kami ini tak masuk akal, apalagi kami memandang Tap MPRS ini merupakan produk politik bukan produk hukum. Apalagi hingga hari ini tak ada fakta hukum yang menyatakan Bung Karno memiliki cacat atau kesalahan dalam peristiwa 1966,” papar Budi.
Saat disinggung ada yang menilai tidak dicabutnya Tap MPRS 33/1967 tak memengaruhi status Pahlawan Nasional Bung Karno, Budi menyatakan, hal ini menjadi suatu yang ambigu.
Hal ini lantaran penetapan status Pahlawan Nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, sementara Tap MPRS berada dibawahnya.
“Ini menjadi ambigu, di satu sisi Pahlawan Nasional, sisi lainnya ada Tap MPRS yang merupakan aturan dibawah Undang-Undang Dasar 1945. Karena keputusan pemerintah menetapkan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional dasarnya adalah Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 adalah konsideran hukum tertinggi di Indonesia, sedangkan Tap MPRS berada dibawahnya,” jelas Budi.
Maka itu, acara yang digelar Barikade 98, Majelis Adat Sunda, GP Ansor Jabar dan Pemuda Demokrat Indonesia, bertujuan untuk mendorong pihak yang berkepentingan agar mengoreksi Tap MPRS tersebut. Hal ini agar tidak ada lagi kontroversi yang menjerat sosok Proklamator Indonesia di masa mendatang.
“Kami tidak mengetahui secara pasti kenapa Tap MPRS ini belum dicabut, mungkin ada persoalan politik. Tapi kami berharap siapapun yang terpilih pada Pemilu 2024 memiliki keinginan untuk mengoreksi Tap MPRS tersebut,” kata Budi.
Senada dengan Budi, Sekretaris Jenderal Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Abdy Yuhana mendorong hal yang sama.
Pasalnya, dengan Tap MPRS yang belum dicabut itu, status Pahlawan Nasional yang disematkan kepada Bung Karno dipandang belum terlalu utuh.
“Dalam Tap MPRS No 33 Tahun 1967 itu disebutkan jika Bung Karno diindikasikan terlibat secara tidak langsung menguntungkan PKI, juga telah melindungi tokoh-tokoh PKI. Padahal dari fakta sejarah, hal itu tidak benar. Maka itu, kami berharap agar Tap MPRS itu dicabut demi kepentingan bangsa Indonesia kedepan, juga sinergi dengan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan pada Bung Karno,” tegas Abdy. ***