Oleh Inu Bukhari
Praktisi Media Massa KAPOL.ID
Dalam sebulan terakhir, isu pilkada di Kota Tasikmalaya terus menghangat. Mulai dari perang baligo dalam jumlah besar hingga manuver merebut partai menghiasi pemberitaan media massa.
Bisa dikatakan wajar, karena gelaran pesta demokrasi memilih kepala daerah tinggal menghitung bulan. Tepatnya pada 27 November 2024 mendatang. Hiruk pikuk mulai gong usai KPU telah menetapkan rekapitulasi suara pileg pada 20 Maret 2024.
Di Kota Tasikmalaya sendiri, beberapa nama santer dibicarakan bakal manggung. Dari kalangan politisi Yanto Oce, Viman Alfarizi, Muslim, Azies Rismaya Mahpud. Kemudian Yadi Mulyadi, Dede Muharam, hingga wali kota sebelumnya, H. Muhammad Yusuf.
Sementara ada dari kalangan birokrat digadang-gadang bakal maju, yakni Ivan Dicksan. Jalur independen, baru sayup-sayup terdengar kumpul-kumpul KTP sebagai syarat daftar ke KPU.
Terlepas dari semua minat itu, siapapun boleh bercita-cita memimpin Pemerintah Kota Tasikmalaya. Selama demi kebaikan masyarakat, bukan hanya benefit bagi kalangan elit bahkan semata-mata mengincar kue proyek.
Namun yang menggelitik akhir-akhir ini, semua nama tersebut punya cita-cita tinggi sebagai wali kota. Tak ada yang bercita-cita sebagai wakil wali kota. Padahal, nantinya itu dua-duanya harus ada.
Ada pepatah memang, cita-cita harus setinggi langit. Namun jangan lupa, kita semua ini hidup di darat. Jangan sampai lupa daratan pula. Politik selayaknya penuh intrik, tapi jangan cuma berisik. Kalau akhirnya harus terpaksa hanya bisa finis sebagai calon wakil.
Akhir-akhir ini, seakan-akan semua akan mendapat tiket menjadi calon wali kota. Walaupun tak sadar diri, banyak kriteria yang harus dipenuhi, kapabilitas, jangan lupa isi tas.
Isi tas
Tentunya partai pun tak mau gegabah mempersiapkan calon yang bakal diusung ataupun didukung. Kalau cuma isi tas, tapi popularitas dan elektabilitas gurem, masa iya. Apalagi dengan kapabilitas pas-pasan.
Yang pasti saat ini, siapapun calonnya itu harus memiliki popularitas dan elektabilitas teratas. Toh kemungkinan besar partai akan meminang, syukur-syukur bantu isi tas untuk pemenangan. Ini kisah nyata loh.
Kalau popularitas dan elektabilitas gurem, ingin jadi calon wali kota, duh. Isi tas mungkin berpengaruh, minimal jadi Wakil Wali Kota, Z2-lah istilah kerennya. Itu juga bergantung nasib dan garis tangan.
Pengamatan penulis, fenomena tersebut sangat umum dengan kondisi calon saat ini. Bahkan berbagai pembicaraan warung kopi sekalipun binggung ketika membicarakan siapa wakilnya.
Jika A wali kotanya, wakilnya siapa ya. Begitupula calon B, C. Pertanyaan tersebut kerap muncul, apa mungkin tidak ada calon wakil. Gak gitu juga kali.
Politik memang penuh bargaining dan intrik. Tapi jangan lupa, realistis biar eksis. ***