JAKARTA, (KAPOL).- Pelistrikan Papua merupakan pekerjaan rumah besar yang dihadapi PT. PLN (Persero) Direktorat Bisnis Regional Maluku dan Papua, dalam menyokong cita-cita Indonesia terang secara berkeadilan.
Sesuai data yang dipaparkan Direktur Bina Program Kelistrikan Kementrian ESDM, Jisman S, untuk mencapai Rasio Desa Berlistrik (RDB) 100 persen di Provinsi Papua dan Papua Barat pada 2020 nanti, masih ada 414 desa dengan lebih kurang 78.000 rumah yang harus dilistriki.
Wilayah Kerja PLN di Papua dan Papua Barat mencakup luar 546.633 km2 yang mencakup 3.749 pulau. Dari ribuan pulau itu hanya 140 pulau yang berpenghuni, dan PLN sudah melistriki 128 di antaranya dengan pembangunan transmisi sepanjang 218 kms yang dilayani gardu.
128 pulau itu dilayani dengan 108 Sistem Kelistrikan, di mana 18 di antaranya merupakan Sistem Kelistrikan Besar (>2MW) dan 90 sisanya masuk Sistem Kelistrikan Kecil dengan kapasitas kurang dari 2 MW.
Total daya mampu dari 108 sistem kelistrikan itu mencapai 358.97MW, dengan beban puncak 285.45 MW. Dibandingkan dengan Jakarta yang mencapai 20 ribu MW, angka ini tentu sangat kecil.
Tantangan penugasan PLN di Indonesia Timur, khususnya Papua untuk menuju RDB 100 persen adalah keterbatasan infratruktur karena sulitnya medan geografis, kerapatan hunian yang rendah, serta kompetensi sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan.
Beratnya medan jelajah di Papua dialami langsung oleh Farah Aida Ilmiatul Kulsum, Mahasiswa Ilmu Budaya dari Universitas Gajah Mada, yang tahun lalu ikut dalam tim surveyor program inisiatif strategis “Ekspedisi Papua Terang 2018”.
Tim Farah yang terdiri dari 3 mahasiswa plus tim PLN mendapatkan wilayah survey di pedalaman Mimika, Timika.
Untuk menuju lokasi tersebut, mereka harus menempuh perjalanan laut dengan kapal kecil selama 9 jam, menembus ombak besar yang sewaktu-waktu bisa membalikkan kapal.
Survey yang dilakukan Farah meliputi penghitungan jumlah penduduk yang harus dilayani, pengukuran luas lahan dan bidang tanah sebagai lokasi penempatan instalasi listrik, serta kondisi medan jelajah.
Hasil survey tersebut menjadi dasar penentuan jenis sistem pembangkit listrik yang akan diterapkan.
Daerah Timika karena lokasinya di muara dan merupakan wilayah berawa-rawa, yang tidak memungkinkan dibangun instalasi permanen dari semen, tim survey merekomendasikan penggunaan panel surya sebagai pembangkit listrik skala lokal.
Executive Vice President Operasi Regional Maluku Papua (OR-MP), Indradi Setiawan mengatakan, jika Ekspedisi Papua Terang merupakan langkah awal PLN dalam membangun sistem kelistrikan Papua. Data dari hasil survey tersebut sekarang sudah mulai dieksekusi melalui program lanjutan “1000 Renewable Energi untuk Papua.”
Melalui survey tersebut, PLN mendapatkan data berapa desa yang harus dilistriki, berapa jumlah penduduknya, bagaimana tingkat ekonominya, dan sumber energi apa yang potensial.
Hasil survey tim EPT menjadi pembuka peta tentang berapa kapasitas listrik yang diperlukan untuk Papua, serta program dan jenis pembangkit apa yang cocok untuk masing-masing lokasi.
“Dari sana pula PLN bisa menghitung keperluan SDM yang akan mengelola, serta bagaimana menyiapkan pembangunan dan materialnya,” terang Indradi.
Menurut Indradi, untuk wilayah Papua yang jumlah penduduknya tidak besar, dengan kerapatan hunian rendah karena terpencar di berbagai pelosok, memang tidak mungkin dibangun infrastruktur kelistrikan berskala besar.
Pembangunan kelistrikan diharapkan bisa berjalan paralel dengan pengembangan infrastruktur seperti jalan raya, pengembangan pusat-pusat produksi, ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta budaya yang semakin maju, modern, dan mandiri.
Ini dalam rangka mendukung dan memperkuat kemajuan masyarakat yang adil dan makmur dalam bingkai NKRI.
“Memang secara umum, kondisinya perlu ditingkatkan. Masalahnya pertumbuhan masing-masing distrik itu tidak sama. Kami harus berhitung cermat,” jelas dia. (Kapol)***