OPINI

“Aku Percaya”: Memantaskan Perspektif Disabilitas, dari Medis hingga Etika

×

“Aku Percaya”: Memantaskan Perspektif Disabilitas, dari Medis hingga Etika

Sebarkan artikel ini
(c) ANTARA Foto

“Aku Percaya”, dua kata sakral yang jika diucapkan akan menjadi pemantik dan pendobrak dinding diskriminasi, terutama jika dihadapkan pada kondisi masyarakat yang belum inklusif.

Pun, kata “Aku percaya” telah bermetamorfosa menjadi simponi indah nan epik karya Anji yang turut melahirkan energi positif bagi pendengarnya.

Bahkan “Aku Percaya” memiliki makna mendalam, terutama jika dihubungkan dengan cara pandang kita terhadap sesuatu yang ‘minoritas, marjinal, rentan”. Ambil contoh, kelompok disabilitas yang erat dengan perlakuan diskriminatif dan ‘dianaktirikan’ oleh sistem mayoritas yang cenderung tidak ramah terhadap mereka.

Fenomena ini terjadi karena banyak dari masyarakat yang belum memantaskan cara pandang terhadap kelompok disabilitas. Memang tiap individu memiliki selera, ekspresi dan perasaan ketika mendengar atau berinteraksi dengan kelompok disabilitas.

Leslie Francis dan Anita Silver (2016) melihat bahwa cara pandang kita untuk memaknai disabilitas yang eksis terdiri dari empat perspektif. Pertama, perspektif medic dimana disabilitas erat kaitannya dengan sebutan orang sakit, orang cacat dan gangguan fisik, mental dan intelektual.

Kedua, perspektif charity yang berkonotasi pada sesuatu yang patut dikasihani. Lalu, perspektif privilege atau adanya hak khusus bagi penyandang disabilitas. Terakhir, perspektif etika yang maknanya lebih mendalam yakni adanya penghormatan atas hak-hak disabilitas.

Dalam konteks Indonesia, mayoritas cenderung masih melihat kelompok ini sebagai orang sakit, orang cacat dan ‘dikasihani’. Masih pantaskah kita memandang mereka seperti itu dan pernahkah terbersit bahwa penyandang disabilitas adalah manusia unik, istimewa dan luar biasa?

Dalam konteks ini, kata “Aku percaya” ini cukup mewakili ungkapan bahwa penyandang disabilitas termasuk individu yang memiliki privilege dan jiwa juang yang lebih keras dari orang non-disabilitas. Di satu sisi mereka berjuang untuk tetap bangkit dalam menjalani rutinitas sehari-hari, di sisi lain harus tangguh dalam menerobos batas diskriminasi yang masih mengekang kelompok tersebut.

Diskriminasi ini diwujudkan dengan pernyataan dan sikap masyarakat yang melihat penyandang disabilitas tidak mampu dan patut dikasihani (charity-based). Hal inilah yang menjadi akar masalah dimana orang non-disabilitas memandang tidak percaya terhadap privilege yang tersemat pada kelompok disabilitas.

Istilahnya masih banyak yang mengesampingkan dan meremehkan kemampuan mereka. Padahal jika ditelusuri, sejarah sudah membuktikan bahwa penyandang disabilitas adalah individu luar biasa sekaligus mengharumkan bangsa dan negara, sebut saja Gus Dur berhasil menjadi presiden Indonesia.

Lalu, tahun 2019 ini terbukti menjadi tahun yang berharga bagi kelompok disabilitas. Mulai dari kemunculan caleg-caleg disabilitas yang berjumlah 44 orang yang mewarnai demokrasi Indonesia hingga terpilihnya Angkie Yudistia, sosok perempuan disabilitas yang terpilih jadi staff khusus presiden disabilitas pertama di Indonesia.

Bahkan, jika masyarakat mulai memantaskan cara pandang pada disabilitas, pasti akan muncul banyak penyandang disabilitas yang turut menginspirasi dan memotivasi, baik bagi kelompok disabilitas maupun non-disabilitas.

Sudah sepantasnya “Kita Percaya” dan mengubah perspektif terhadap disabilitas yang awalnya melihat secara medis atau charity menjadi perspektif yang mengedepankan HAM dan etika. Dalam artian, selain kita mengakui atas hak-hak disabilitas, juga turut menghargai dan menghormati hak-hak mereka.

Salah satunya dengan tidak menjadikan mereka sebagai objek diskriminasi, justru kita harus memberi kesempatan dan fasilitas yang setara. Terlebih sebentar lagi, Kita akan dihadapkan pada momentum hari disabilitas internasional (HDI) pada 3 Desember 2019 yang mengusung tema “Indonesia Inklusi Disabilitas Unggul”.

Marilah kita turut merayakan dan mulai meningkatkan kesadaran terhadap problematik penyandang disabilitas, dengan memperjuangkan tuntutan perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas.