OPINI

Aktivisme Digital dan Demokrasi

×

Aktivisme Digital dan Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh Alifa Zahra Eka Putri
Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Galuh

Aktivisme digital sering disebut juga Slacktivism, telah menjadi fenomena sosial-politik di era teknologi saat ini. Menurut Hap Halupka, slacktivism adalah aksi online yang mudah ditiru dan dibagikan. Tidak memerlukan komitmen dan spesialisasi dan melibatkan sistem politik yang sudah ada. Meskipun terdengar sederhana, bentuk aktivisme ini memiliki daya sebar luas yang bahkan bisa menjadikan perubahan sosial maupun politik.

Bentuk aktivisme ini mencerminkan pergeseran budaya aktivisme dari yang dulunya berbasis fisik menjadi berbasis digital dan viral. Pada Januari 2025, diperkirakan ada sekitar 212 juta orang di Indonesia yang menggunakan internet, atau sekitar 74,6% dari total populasi. Peningkatan ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya mencapai 8,7%, dengan tambahan 17 juta pengguna.

Maka tidak heran jika di Indonesia banyak orang yang tergerak untuk melakukan slacktivism. Bahkan sekedar memposting sebuah poster sebagai simbol dari kepedulian mereka. Slacktivism ini cenderung sangat mudah dilakukan karena tanpa fisik dan lebih cepat menyebar.

Mobilisasi yang cepat

Sempitnya ruang untuk “bersuara” masih menjadi hambatan utama masyarakat saat ini. Dengan slacktivism ini bisa memberi ruang bagi mereka yang tak terwakili di media arus utama. Mereka bisa menyuarakan pengalaman, ketidakadilan, atau aspirasi tanpa perlu melalui institusi formal. Slacktivism menciptakan ruang demokrasi baru, dimana masyarakat bisa memberikan opini, kritik dan saran tanpa harus menghadiri sebuah rapat. Dan bahkan bisa dilakukan secara anonim. Hal ini tentu menjadi kesempatan untuk masyarakat di tengah situasi yang membatasi untuk “bersuara”.

Cepatnya penyebaran informasi di media sosial dapat menciptakan tekanan besar bagi lembaga negara, politisi. Atau korporasi negara untuk segera memberikan respons. Kekhawatiran akan “bad publicity” atau tekanan opini publik membuat mereka tidak bisa mengabaikan slacktivism ini. Namun, penting juga untuk memahami bahwa efektivitas slacktivism tergantung sudah sejauh mana isu yang diangkat menjadi sorotan dan partisipasi publik.

Slacktivism juga memerlukan kesadaran kritis agar tidak berhenti pada simbolik semata. Dibutuhkan kesinambungan antara aksi digital dan upaya nyata untuk menghasilkan dampak yang berkelanjutan.

Slacktivism di Indonesia

Dalam buku Routladge Handbook of Internet Politics dikatakan bahwa media sosial telah berevolusi menjadi media yang mendasari sistem komunikasi politik masyarakat (Chadwick & Howard, 2009). Pernyataan tersebut menjadi sangat relevan dengan kondisi politik di Indonesia saat ini.

Dalam pemilu 2024 istilah “politik digital” sudah mulai mendapat atensi dari masyarakat Indonesia. Terutama di kalangan Gen Z yang tumbuh bersama dengan teknologi dan media sosial. Platform media sosial seperti TikTok, Twitter (X) dan Instagram sudah banyak digunakan oleh masyarakat, jurnalis hingga influencer politik. Sebagai alat dan media untuk melakukan pesta demokrasi pada pemilu kemarin.

Maraknya aksi demonstrasi pasca pemilu juga turut mendorong masyarakat untuk melakukan slacktivism. Guna menyuarakan kritik bagi mereka yang tidak bisa turun langsung ke jalan. Bahkan dalam beberapa kasus, perhatian publik dan tekanan digital berhasil membuat media meliput isu-isu yang sebelumnya diabaikan. Tapi demikian, slacktivism di Indonesia tetap menghadapi tantangan, seperti polarisasi opini dan penyebaran hoaks.

Kekuatan slacktivism

Lalu apakah slacktivism bisa berdampak nyata? Pertanyaan itu kerap muncul karena tidak sedikit orang yang juga meremehkan aksi slacktivism. Karena sekedar memposting poster atau mendatangani petisi online tidak cukup untuk menciptakan perubahan yang nyata. Pandangan ini kurang tepat jika dilihat dari konteks dan dampak jangka panjang dari slacktivism. Faktanya satu unggahan yang diunggah secara konsisten bisa menggerakan opini publik bahkan mengubah kebijakan negara.

Kita pasti pernah mendengar kalimat “harus viral dulu baru bisa ditindak atau no viral no justice”. Ungkapan tersebut mencerminkan kenyataan bahwa perhatian publik dan tekanan digital menjadi faktor yang efektif mendorong pihak berwenang. Untuk segera bertindak dan ungkapan tersebut juga menjadi salah satu alasan yang mendorong banyak orang untuk melakukan slacktivism.

Slacktivism bisa menjadi alat perlindungan dan advokasi. Terutama bagi kelompok yang rentan atau tidak memiliki akses ke jalur hukum atau media. Dalam aksi demonstrasi, dokumentasi dan penyebaran informasi bisa melindungi mereka dari aksi kriminalisasi.

Meskipun benar aksi slacktivism ini tidak selalu berujung pada perubahan secara instan, tapi slacktivism menjadi titik awal kesadaran. Dan menjadi gerbang untuk keterlibatan yang lebih aktif bahkan aksi nyata di lapangan.

Dampak nyata

Meskipun sering dipandang sebelah mata, slacktivism kerap menunjukkan kemampuannya dalam menciptakan perubahan nyata di masyarakat. Salah satu contoh kongkret di tahun 2021 ratusan ribu tweet unggahan dan diskusi publik muncul dari tagar #PercumaLaporPolisi. Munculnya tagar ini ditujukan untuk menyoroti ketidakseriusan polisi dalam menangani kasus kekerasan seksual yang sedang marak terjadi pada waktu itu.

Hal ini menjadi tekanan yang kuat bagi Polri dan menyadarkan tentang perlunya reformasi pada penanganan kasus kekerasan seksual. Dalam kasus ini diakhiri dengan pengesahan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) tepatnya UU No. 12 tahun 2022.

Di level internasional salah satu contoh yang paling masif yaitu kasus kematian George Floyd oleh polisi yang memicu amarah dan protes besar di Amerika Serikat. Viralnya sebuah video dan disusul oleh puluhan juta unggahan dengan tagar #BlackLivesMatter. Gerakan ini tidak hanya melahirkan demonstrasi di berbagai kota di Amerika Serikat. Tetapi menjadi pendorong untuk mereformasi kebijakan kepolisian di beberapa negara bagian AS. Dan mulai banyak perusahaan global yang menyuarakan antirasisme termasuk ke Indonesia.

Risiko polarisasi

Salah satu dampak nyata dari slacktivism adalah polarisasi. Algoritma yang cenderung menampilkan konten yang sesuai pandangan kita mengakibatkan munculnya keyakinan dengan kebenaran versi kita sendiri dan tidak terdoktrin pandangan lain. Masyarakat hanya menerima informasi yang menguatkan pendapat mereka sendiri. Dan cenderung menganggap pendapat lain sebagai sebuah ancaman.

Masyarakat menjadi cenderung terbagi dalam kelompok “A vs B” yang mempersulit kesatuan pandangan.
Di tengah kondisi ini, slacktivism bisa mempercepat terjadinya polarisasi, perdebatan yang seharusnya menjadi ruang berdiskusi. Ssering kali berubah menjadi saling serang dan perundungan digital. Kekuatan tentunya bukan tanpa kelemahan dan tantangan. Resepsi melalui UU ITE, serangan balik terhadap aktivis hingga kritik terhadap penguasa sering kali dibalas dengan laporan hukum.

Hal itu menunjukkan bahwa ruang digital pun tidak sepenuhnya bebas dan bahkan bisa menjadi boomerang. Hal ini menuntut adanya kewaspadaan digital yang lebih tinggi di masyarakat. Slacktivism perlu didukung dengan kesadaran akan batas-batas hukum dan etika digital.

Pemerintah seharusnya bisa mengakui bahwa slacktivism itu sebagai bentuk partisipasi publik. Banyak hasil yang lahir dari kegelisahan nyata masyarakat dan bisa menjadi masukan untuk kebijakan publik. Saat muncul suatu tagar atau postingan yang besar, respons yang transparan juga bisa meredakan amarah publik dan mencegah timbulnya aksi (jalanan) yang lebih besar.

Pemerintah juga harus memberikan lindungan kepada masyarakat yang menyampaikan kritik dan aspirasi. Dari doxing, serangan siber atau laporan palsu. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan bahwa regulasi tidak digunakan sebagai alat represif, melainkan menjamin kebebasan berpendapat.

Di tengah kompleksnya politik saat ini, slacktivism bukanlah solusi tunggal. Tapi alat dan media yang bisa kita manfaatkan dalam memperjuangkan demokrasi. Slacktivism membuka ruang, memecah kebisuan dan memberikan keberanian kepada mereka yang selama ini bungkam.***