KAPOL.ID – Pengembangan destinasi wisata adalah penguatan tradisi budaya di lingkungan sekitar. Jangan sampai kehadiran tempat wisata, malah melunturkan atau menghilangkan kebiasaan masyarakat yang sejak dulu ada.
“Yang menjadi persoalan wisata adalah budaya. Kalau budayanya kuat, wisatawan dengan sendirinya akan berdatangan. Misalnya, dengan menjadikan tempat wisata sebagai pusat perkumpulan warga, mulai dari tempat bermain anak-anak hingga dijadikan tempat berkumpulnya orang tua,” kata Ashmansyah Timutiah, dalam acara UUBAR dan Silaturahmi Budaya dengan masyarakat pengelola wisata Bukit Culanotod Indah, Margaluyu, Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya.
Dia menuturkan, walapun terkesan berat dilakukan semua itu akan terjadi ketika ada kesepakatan diantara warga. Semua ikut terlibat, satu sama lain saling berperan sesuai dengan potensi yang dimiliki.
“Kalau sudah ada kesepakatan, dengan sendirinya akan menjadi kebiasaan dan berkembang menjadi kebudayaan. Ekonomi itu jadi akibat dari setianya kita dalam menjaga kebudayaan,” terang pendiri Komunitas Cermin Tasikmalaya itu.
Saat ini, kata dia, pengembangan wisata hanya berfokus pada perbaikan kawasan untuk mempercantik keadaan. Bernafsu untuk jadi ladang perekonomian. Dan tidak dibarengi dengan penguatan budaya, bahkan terkesan diabaikan.
“Semua itu tidak abadi, akan termakan waktu. Wisatawan yang berkunjung akan mudah bosan. Berbeda ketika menumbuhkembangkan kebudayaan, akan terus diminati dan tidak termakan waktu,” tegasnya.
Dia meyakini, tempat wisata akan mati ketika budaya dikhianati. Dan faktanya, tempat-tempat wisata yang abadi itu karena pengelola wisatanya menjaga tradisi budaya masyarakat setempat.
“Jangan sampai kita hanya melacurkan alam atau lebih kejamnya memfasilitasi orang-orang untuk memperkosa alam. Pengelola hanya jadi mucikari yang memfasilitasi. Dan meraup uang dari kegiatan yang terjadi,” tandasnya. (Milah)***