BUDAYA

Monolog Cinta Di Dunia Abu-Abu

×

Monolog Cinta Di Dunia Abu-Abu

Sebarkan artikel ini

Oleh Fitrahul Barry

Bertanyalah seseorang terhadap dirinya sendiri. Perjalanan panjang kehidupan, bermuara dimana dan pada apa?

Beribu adegan kenangan muncul perlahan, mengusik logika kesadaran yang dibius rasa mapan. Masa kecil, masa remaja, masa berebut kesempatan, masa menjejali pikiran dengan berbagai ucap ilmuan. Terantuk dalam sebuah kumparan. Lapang namun menyempit dalam anggapan.

Dunia dilibas pandemi. Resesi datang menghantui. Depresi ekonomi subur di ulu hati. Beragam ketakutan datang dalam bayang-bayang masa depan. Meski belum nyata, namun nuansanya erat mengcengkeram dada.

Apa yang ditakutkan? Bukankah manusia mahluk paling sempurna? Justru karena “kesempurnaan” itulah manusia diberi rasa takut. Takut terhadap sesuatu yang belum pasti.

Setiap permasalahan yang datang tentu berpasangan solusi. Perkara solusi belum ditemui, itulah guna sabar. Coba bayangkan jika masalah datang bersamaan dengan solusi, tentu musnahlah keduanya. Tak akan ada dialektika penanda hidup.

Mesti ada jarak antara masalah dan solusi. Karena kalau tiada, dimanakah sabar berdiam diri?

Resesi yang dianak-emaskan prediksi, hanyalah gambaran silam yang muncul di kini hari. Sementara hari depan, masih misteri dalam jejalan data dan makna.

Esok akan semakin berat akibat resesi. Justru karena berat munculah orang-orang kuat. Yang menjalani hari dengan simpul senyum dan mata cemerlang. Resesi adalah penjaringan resi-resi yang sanggup memfilter berbagai residu.

Sungguh mudah berbicara langit. Menggantungkan kata-kata pada awan yang melayang. Sementara di atas tanah, mahluk melata kembang kempis tenaga menyeret langkah. Laju hidup melambat dalam titian nafas. Sesak melanda meski diri berselimut oksigen.

Sungguh mudah memandang langit di atas tanah. Bukankah kepala tinggal tengadah? Tanpa harus menanggalkan pijakan kaki pada tanah. Langit itu tinggi karena ada bumi sebagai pembanding. Begitupun sebaliknya, bumi rendah karena langit jadi pembanding. Selalu ada jarak dalam ukuran pandang.

Lantas kau taruh dimana ukuran yang kau percayai? Di hati atau pikiran? Di dalam diri atau di luar diri? Dalam sangkaan atau realita? Ataukah kau tukarkan kenyataan dengan anggapan?

Takdir Tuhan sesuai dengan sangkaan kita terhadap-Nya.***