Oleh Nizar Machyuzaar*
Literasi Kewargaan | Literasi menjadi istilah yang menyasar semua bidang kehidupan. Istilah ini seiring berjalan pada denyut kehidupan yang terdukung kecanggihan teknologi informasi atau Revolusi 4.0.
Ada enam literasi dasar yang selalu disosialisasikan, yakni literasi membaca dan menulis, literasi menghitung (numerasi), literasi sains, literasi finansial, literasi digital, serta literasi kewargaan dan budaya.
Keenam literasi dasar tersebut saling menguatkan satu dengan lainnya. Saat kita meningkatkan literasi kewargaan dan budaya, kelima literasi dasar lainya menjadi aspek prapemahaman dan prapengetahuan yang mendukung tingkat literasi kewargaan dan budaya.
Apalagi, literasi kewargaan menempatkan hak dan kewajiban seseorang sebagai warganegara (citizen) dan warganet (netizen) dalam konteks ragam budaya lokal, nasional, dan internasional.
Pendidikan Politik | Pendidikan dapat ditempatkan sebagai ranah proses menjadi manusia per individu dan atau kelompok. Politik lebih dipahami sebagai konsensus dan konvensi untuk menyediakan ruang bagi individu dan kelompok menjadi manusia.
Dengan demikian, konsensus dan konvensi dalam proses-proses politik memiliki valuasi hakiki untuk mengatur hajat hidup bersama ke arah kesejahteraan yang adil dan beradab, melampaui tendensi dan orientasi kekuasaan pemerintahan semata.
Dalam kerangka berpikir seperti ini pendidikan politik merupakan hak dasar yang mesti dipenuhi oleh pemangku berkepentingan. Dalam kerangka berpikir seperti ini pula literasi kewargaan dan budaya mendapatkan relevansinya.
Pendidikan, termasuk pendidikan politik, menjadi domain fungsional pemerintah dan elemen masyarakat untuk bahu-membahu meningkatkan literasi ini. Sebagai contoh, hajat pemilihan legislatif, kepala daerah, dan presiden dapat dijadikan momen bersama semua pihak yang berkepentingan untuk menyukseskannya.
Keenam literasi tersebut dapat meningkatkan penyelenggarahan pemilihan yang berkualitas, yakni jujur, adil, amanah, dan beradab.
Silang Budaya | Sebuah benda dapat bernilai fungsi atau justru berfungsi nilai. Kita ambil contoh sederhana koteka ‘benda pelindung alat vital laki-laki’.
Bagi masyarakat yang membuatnya, koteka bernilai fungsi karena tantangan alam dan budaya mengharuskan memakainya. Sementara itu, bagi masyarakat bukan suku di Papua Barat, koteka berfungsi nilai, seperti ekonomi, estetis, bahkan magis.
Hal demikian pun terjadi pada hajat pemilihan. Bagi sebagian orang, pemilihan bernilai fungsi sebagai prosedur berdemokrasi dalam berbangsa dan bernegara. Namun, bagi sebagian yang lain, boleh jadi pesta demokrasi ini berfungsi nilai.
Mungkin, terlalu naif saya gambarkan secara gamblang bahwa pemilu bernilai ekonomi, estetis, bahkan magis.
Bahkan, bagi sebagian kecil masyarakat adat di Papua Barat; masyarakat adat Baduy Dalam di Banten; atau masyarakat adat Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya, pembangunan yang terlaksana oleh pemerintah selama ini, dengan konsensus dan konvensi pemilihan anggota legislatif dan pemimpin eksekutif di daerah dan nasional, dapat dianggap berfungsi nilai magis.
Maksudnya, bagi mereka, pemilihan adalah pemolaan atas perilaku baru yang tak menyentuh hajat hidup mendasar mereka manakala hutan tempat mereka beraktivitas tergerus pembangunan.
Tradisi Tutur | Mungkin, kita dapat menegasikan masyarakat adat dalam ilustrasi tersebut dengan masyarakat yang sudah mengenal pendidikan formal modern.
Gambaran konkretnya dapat ditemukan pada masyarakat perkotaan. Kita membayangkan bahwa kemelekaksaraan masyarakat perkotaan menjadi ukuran keberhasilan pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Apalagi, mobilitas masyarakat perkotaan terdukung oleh pemanfaatan teknologi informasi. Namun, salah satu warisan budaya yang menaut likat dengan masyarakat modern perkotaan adalah tradisi tutur sebagai media pewarisan budaya.
Jauh sebelum teks digital akrab dengan literasi masyarakat perkotaan, tepatnya di tahun 1984, A. Teeuw, seorang ahli sastra, mendapatkan fakta bahwa tradisi tulis cetak yang berkembang di Indonesia masih didominasi kelisanan. Yang dimaksud kelisanan di sini adalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang cenderung emotif daripada reflektif.
Bahasa dalam percakapan sehari-hari diproduksi dalam keberaksaraan. Padahal, Teeuw menganggap bahwa tradisi tulis cetak dapat meningkatkan budaya berpikir reflektif (berjarak dengan objek yang dibicarakan) sehingga tingkat kemelekaksaraannya semakin mumpuni.
Replikasi dan Kodifikasi | Sejak tahun 1970-an (penemuan makrochip dalam komputer), berlanjut ke tahun 90-an (penemuan mikrochip dalam komputer pribadi), lebih lagi tahun 2000-an (penemuan laptop, gawai, dan penggabungan transmisi telepon dan transmisi telegram/televisi ke dalam media internet) telah mengubah tradisi tulis cetak menjadi tulis transmisi digital.
Apakah anggapan kelisanan dalam keberaksaraan di tahun 1980-an masih ada? Bukankan dengan daya dukung teknologi informasi arus produksi dan konsumsi informasi digital di internet dapat meningkatkan keberaksaraan atau kemelekaksaraan kita?
Kenyataannya, beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga luar menempatkan indeks literasi masyarakat melek digital kita dalam peringkat bawah. Bahkan, di Asia Tenggara, negara kita termasuk negara yang perilaku warganetnya yang paling tidak beradab.
Penyebaran konten rasis, pornografi, berita bohong, dan ujaran kebencian marak naik di internet seiring dengan kategori viral yang menjadi kejaran konten kreator. Fenomena perilaku warganet ini boleh jadi merupakan cerminan tradisi tutur yang masih kuat dalam kemelekdigitalan kita.
Artinya, replikasi tradisi tutur masih kuat dalam konten-konten. Hal ini semakin diperparah dengan perikalu warganet yang menyebarkan kembali konten-konten tersebut tanpa mengecek kebenaran data dan faktanya.
Kodifikasi massif konten telah memerangkap masyarakat kita, setidaknya masyarakat yang melek internet, ke dalam pengetahuan yang tidak berimbang –untuk tidak mengatakan salah.
Tiki Taka | Sampai di sini, saya teringat sebuah gaya permainan bola yang pernah dipopulerkan oleh kesebelasan Barcelona di tahun 2000-an.
Gaya tik-tak satu dua sentuhan bola dalam format segitiga atau segi empat dapat dilakukan oleh pihak berkepentingan dalam meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Tidak mudah memainkan gaya tiki taka karena menuntut kerelaan ego antarpihak berkepentingan untuk saling berbagi peran dan fungsi.
Sebab, kita tak melulu dituntut menjadi tokoh utama dalam berbagai peran. Ada kalanya kita menjadi pemain pendukung dalam peran berikutnya.
Kolaborasi diperlukan antarpihak mengingat masyarakat kita yang multikultur. Pendekatan ke masyarakat adat, perkotaan, bahkan sampai menyasar segmentasi umur mesti dilakukan dengan timbangan dan imbangan nilai fungsi dan fungsi nilai dari hakikat pemilihan yang bermakna relatif bagi peserta pendidikan politik.
Bahkan pun, kesadaran memilih untuk tidak memilih dapat dipandang bernilai fungsi, semisal kritik atas penyelenggaraan pemilihan dan lebih luasnya penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Suatu saat nanti, saya mengandaikan konsensus dan konvensi yang ajeg dan baku dapat menyertai pemilihan lintas periode. Dengan itu, pemilihan dapat dimaknai mencapai keseimbangan dan sejajar dengan kedewasaan berdemokrasi para pemilih atau masyarakat secara luas.
*Nizar Machyuzaar, Ketua Mata Pelajar Indonesia, pembelajar tekstologi dan stilistika