OPINI

Cak Imin, Politik Oligarki dan Desakan MLB PKB

×

Cak Imin, Politik Oligarki dan Desakan MLB PKB

Sebarkan artikel ini

Oleh Usman Kusmana
Mantan Wakil Ketua DPC PKB Kab Tasikmalaya
Pernah Mengikuti Pendidikan TOT dan TOI DPP PKB
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Unpas Bandung 2020

Sebagai Partai yang dilahirkan oleh Jamiyyah NU, Maka kita dapat melihat bahwa mayoritas elit pengurus PKB baik di DPP, DPW dan DPC hingga DPAC merupakan figur yang telah melalui proses panjang jenjang kaderisasi di tubuh Keluarga Besar Jamiyyah NU.

Ada yang dari IPNU, IPPNU, PMII, KOPRI, GP Anshor, Fatayat, Muslimat dan banom NU lainnya. Boleh dibilang PKB merupakan partai yang menjadi salah satu wadah distribusi kader NU dalam bidang politik yang paling dominan. Faktanya memang hari ini potensi kader NU sedemikian berlimpah.

Proses kaderisasi di lingkungan Jamiyyah NU semenjak era kepemimpinan Alm Gus Dur di PBNU memang cukup berhasil. Kaum Muda NU dengan berbagai latar belakang menyebar baik di akademik, politik hingga menjadi pengusaha. Tapi di politik kelihatannya lebih menonjol.

Fenomena para aktifis dan kader NU yang masuk dunia politik terutama di PKB di semua tingkatan memang terlihat nyata dan jelas. Namun demikian, setelah banyak senior aktifis NU yang terjun di PKB ini telah menempati jabatan-jabatan politik baik di struktural partai, legislatif maupun di eksekutif kini mulai menunjukan tanda-tanda kehilangan sifat dan spirit keaktivisannya.

Mereka kebanyakan menunjukan tanda-tanda bergerombol dalam satu geng oligarki nepotis yang saling menopang dan menguatkan selama itu menyangkut kepentingan politik personalnya. Penciptaan gerbong itu bisa berlatar aktifis pergerakan kampus yang sama, atau wilayah yang sama. Mereka saling menjaga dan memagari.

Dikenal misalnya dengan Geng PMII UGM/Yogjakarta, Gerbong Malang, Gerbong PMII Bandung dll. Itu untuk sekedar menunjukan kutub kekuatan yang saat ini berkuasa di PKB. Yaitu gerbong Ketum Cak Imin, gerbong sekjen Cak Udin dan gerbong Mas Huda DPW Jabar.

Terkonsolidasinya gerbong-gerbong tersebut seringkali menggusur (menghabisi) kutub kekuatan lainnya meskipun sesama jenis kelamin aktifis pergerakan, tapi karena beda daerah atau karena kepentingan strategis pragmatisnya tidak ketemu akhirnya lewat juga. Dihabisi hingga gerbong kader yang mengikutinya. Sebagus dan se berprestasi apapun sosok kader tersebut di PKB.

Pun fenomena itu terjadi di tingkat DPW. DPW Provinsi Jawa Barat sebagai contoh. Kepemimpinan Oligarki Syaiful Huda sebagai Ketua DPW sangat kentara. Baik di lingkaran pengurus DPW maupun kendali terhadap DPC-DPC menggunakan skema PMII Bandung Raya banget. Bergerombol seperti paguyuban atau seperti ngurus komisariat saja.

Dalam pemaknaan yang lain, dengan situasi dan kondisi seperti ini maka berbondong-bondongnya aktifis NU masuk ke PKB maka ketika sudah di dalam dan menjadi bagian dari kutub kekuasaan maka kita menemukan fenomena hilangnya semangat dan spirit serta jiwa aktifisnya. Tak ada daya kritis, semua membebek.

Tak peduli Apakah dia dulunya pernah menjadi Ketua Banom NU sekalipun semisal Ketua PC IPNU, PC PMII maupun PC GP Ansor. Apalagi sudah menjadi anggota DPRD, semua kekritisannya dalam membaca situasi internal akan terlihat tumpul setumpul tumpulnya. Mereka ketakutan dengan dosis yang begitu besar. Sehingga, bagaimana mau mengkritisi pemerintahan demi kepentingan rakyat, mengkritisi internal saja tak berani.

Sebagai contoh yang lain, Saya melakukan sesuatu yang berbeda, pada pilkada kabupaten Tasikmalaya 2020 kemarin, saya totalitas memperjuangkan Ketua DPC PKB Kab Tasikmalaya Haris Sanjaya agar maju di Pilkada. Berjuang di partai sendiri agar mendapatkan rekomendasi partai.

Pertimbangannya karena beliau kader terbaik partai, 20 tahun berjuang membesarkan partai, 2 periode jadi sekretaris dan 2 periode jadi Ketua DPC PKB. Lalu 3 periode jadi anggota DPRD dan periode ketiga menjadi wakil ketua DPRD. Berhasil meningkatkan dan mempertahan suara dan kursi PKB dari 5 kursi menjadi 8 kursi pada pileg 2014 dan 2019. Diurus hingga last minute di Desk Pilkada DPP PKB. Segala upaya, cara dan daya tak tembus juga. Melawan politik subjektif dan dendam Syaiful Huda pasca Muswil PKB Jabar sebelumnya. Padahal sudah jelas paket pasangannya, peluang kemenangan hingga rekomendasi sesepuh ulama dan pengurus PCNU merujuk ke sosok Haris Sanjaya.

Akan tetapi, Rekom PKB akhirnya di berikan pada orang yang tak pernah berjuang dan mengurus PKB. Semata karena persambungan sebagai KW Pendamping Desa. Dan Ujung-ujungnya saya adalah satu-satunya kader yang di coret dari pengurus (Wakil Ketua ) DPC PKB Kab. Tasikmalaya ketika dilakukan PLT Pengurus PKB demi pendaftaran ke KPUD.

Isi parpol yang sejatinya membangun nilai-nilai demokratisasi, transparansi, kesetaraan dan keadilan ditambah dengan spirit reformasi, kini berubaha menjadi otoritarianisme, oligarki dan nepotisme bahkan pragmatis materialistis.

Pengisian struktur sekehendak hati, tak peduli dia bau kencur dan tak paham politik, tak berlatar kader, yang penting nepotisme dan oligarki nya nyambung dengan petinggi partai di tingkat DPW atau DPP. Penentuan SK dan rekomendasi Pilkada yang penting juga memenuhi prinsip nepotisme, oligahtky ditambah juga dugaan sisi Pragmatisme Material.

Penentuan mahar SK dan rekomendasi bagi cagub/cawagub, cabup/cawabup ibarat pasar lelang yang nilainya sedemikian fantastis. Meskipun ujung-ujungnya tetap ada pola dan peran subjektifitas elit di dalamnya. Bahkan kabar yang beredar dalam muswil dan muscab serentak kemarin juga di duga berlaku format pragmatis tersebut. Sungguh miris. Sehingga sangatlah wajar apabila banyak kader yanh mengungkapkan kekecewaannya dan mulai berani membunyikannya ke publik melalui media. Karena tren saat ini segalanya ada dalam genggaman jemari tangan.

Melihat segala hiruk pikuk dan dinamika tata kelola organisasi di DPP PKB, Kita seperti menemukan hilangmya kritisisme aktifis, hilangnya nilai-nilai sebagaimana dijiwai sang pendiri PKB alm Gus Dur, nilai mabda siyasi PKB, serta spirit Politik Aswaja An Nahdliyah.

Ada 2 dari 9 mabda Siyasi PKB dibawah ini menunjukan bahwa, pada poin 1, PKB mendasarlan diri pada cita-cita proklamari Kemerdekaan bangsa Indonesia. Cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur sejahtera lahir dan batin, bermartabat dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain didunia, serta mampu mewujudkan suatu pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia menuju tercapainya kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, keadilan sosial dan menjamin terpenuhinya hak asasi manusia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Pada pon 2 nya bunyi mabda siyasi mengungkapkan, Bahwa Bagi Partai Kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (as-shidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-amanah wa al-wafa-u bi al-ahdli), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘adalah), tolong menolong dalam kebajikan (al-ta’awun) serta konsisten menjalankan ketentuan yang telah disepakati bersama (al-istiqomah) musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-syuro) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya dan persamaan kedudukan setiap warga negara didepan hukum (al-musawa) adalah prinsip dasar yang harus ditegakkan.

Nah, prinsip Istiqomah dalam perjuangan nilai-nilai politik NU, adil memperlakukan kader dalam segala situasi. Prinsip musyawarah (Syuro) kelihatannya sudah banyak bergeser dan hilang dari PKB saat ini. Padahal salah satu kelebihan PKB makanaya didirikan adalah adanya lembaga Dewan Syuro itu yang merupakan representasi suara dan maqom kiai sebagai benteng utama PKB dalam mengawal perjuangan Aswaja melalui jalur politik. Itulah sejatimya warisan Alm Gus Dur selaku pendiri PKB dalam kapasitasnya sebagau Ketum PBNU kala itu.

Apabila kini PKB bergejolak, muncul gerakan kekecewaan kader yang meluas di daerah yang menggaungkan MLB dan meminta pergantian rezim Kepemimpinan Cak Imin dan barisan oligarkinya di DPW. Maka sejatinya itu hanya bentuk kesadaran kader di bawah saja yang meskipun datangnya terlambat tapi tetap memiliki urgensi dan kaitan historis dengan kelahiran dan perjalanan PKB dulu, kini dan kedepan. Salah satunya juga menyangkut eksistensi Gus Dur dan dzurriyahnya di PKB.

Blessing in disguised nya adalah momentum itu selalu datang pada waktumya yang tepat. Momentum evaluasi terhadap kepemimpinan politik Cak Imin di PKB muncul karena langkah politik Cak imin sendiri dan geng nya di DPP dan DPW yang seolah disorientasi dan menunjukan ketakutan dengan target-target politiknya sendiri.

Sehingga kemudian Cak Imin menciptakan dan membuat kebijakan serta aturan sendiri yang melingkari kekuasaannya, tak peduli jikapun harus membabat kaki-kaki kader organiknya di bawah. Yang penting barisan DPW dan DPC adalah orang-orang yang akan bisa mengamankan kekuasaannya di PKB dan menunjang targetnya mengejar RI-1 atau RI-2.

Ketua DPW banyak diisi oleh orang DPP. Ketua DPC juga ditunjuk begitu saja oleh DPP. Muscab yang judulnya musyawarah cabang tak ada musyawarahnya. Anomali Demokrasi dari partai yang lahir di era Reformasi.

Tapi nasi sudah jadi bubur, snow ball desakan MLB PKB semakin membesar dan meluas. Hingga sedikit banyak menggerus opini PKB dan Cak Imin hari ini. Persoalan nanti MLB itu jadi atau tidak, mau tetap di pimpin sama Cak Imin atau Mahpud MD, atau Yenny Wahid, atau Gus Yaqut itu hanyalah keniscayaan sejarah.

Meskipun Menag yang juga Ketum GP Ansor Gus Yaqut yang sebelumnya ramai di media senagai salah seorang tokoh yang dibidik bersama Mbak Yeni Wahid oleh para kader kubu MLB sebagai pengganti Cak Imin sudah bertemu dengan di DPP PKB dan menyatakan PKB solid dunia akherat. Tapi ada ungkapan lain juga dari Gus Men ini bahwa membaca politik jangan hitam putih.

Nah, menyaksikan semua dinamika ini, kita tentu berharap bahwa sebagai partai berbasis Nahdliyin, PKB bisa mencerminkan politik NU yang diajarkan para kiai NU dan pendiri PKB. Meminimalisir fenomena oligarki dan nepotismenya.

Dan Yang terpenting semoga semua dinamika kader di bawah ini baik dan sehat bagi PKB, sehat bagi kehidupan demokrasi, dan bermanfaat bagi warga NU, Masyarakat, Bangsa dan Negara. Wallahu A’lam. ***