Oleh Yosep Isodorus Wasa
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
“Idealisme jang menciptakan suatu pemerintahan jang adil akan melaksanakan demokrasi jang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakjat jang sebesar-besarnya”
Kutipan ini ditegaskan Mohammad Hatta dalam bukunya berjudul “Demokrasi Kita”. Dalam buku tersebut, Hatta menulis dengan jeli bagaimana demokrasi yang ideal dan sejati. Serentak sadar bahwa di Indonesia idealisme demokrasi tersebut masih jauh panggang dari api.
Di tengah kompleksitas politik modern, seringkali mendengar istilah shadow state. Sebuah konsep yang mengacu pada kekuasaan yang tidak terlihat namun berpengaruh dalam menjalankan sebuah negara. Konsep shadow state atau pemerintahan bayangan merujuk pada kekuasaan informal yang memengaruhi jalannya negara, meskipun tidak memiliki legitimasi formal. Menurut William Reno (1995), shadow state muncul akibat melemahnya institusi formal. Sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan elit pemerintah menghadapi kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang dominan di luar struktur resmi.
Shadow state bukanlah struktur resmi, melainkan jaringan informal yang bekerja melalui patronase, nepotisme, korupsi, dan politik uang. Mereka lebih loyal pada kepentingan elite tertentu dibandingkan kepentingan rakyat, sehingga merusak prinsip demokrasi seperti transparansi, akuntabilitas, dan pemerintahan yang bersih.
Fenomena ini terutama terlihat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Khususnya dalam era desentralisasi, di mana kekuasaan lokal sering dikuasai oleh patronase yang kuat. Akibatnya, kebijakan dan pengelolaan pemerintahan cenderung lebih dikendalikan oleh kekuatan informal daripada otoritas formal.
Lingkaran politik
Shadow state didefinisikan sebagai struktur kekuasaan yang beroperasi di luar pemerintahan sah, memanipulasi kebijakan tanpa terlihat oleh masyarakat. Aktor-aktor di baliknya, seperti oligarki dan birokrat, memanfaatkan kelemahan institusional, korupsi, dan kurangnya transparansi, menciptakan ruang bagi keberadaannya.
Salah satu contoh shadow state yaitu keterlibatan oligarki dalam penyusunan Undang-undang Omnibus Law, sesuai penelusuran Mongabay (11/10/2020) dalam diskusi “Peta Bisnis di Parlemen, Potret Oligarki di Indonesia”. Menurut penelitian Marepus Corner, kelompok peneliti muda dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, sekitar 55% dari total 575 anggota DPR berasal dari kalangan pebisnis. Diantaranya 116 afiliasi anggota DPR pebisnis terkait jejaring oligarki. Kondisi ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan dalam proses pembuatan undang-undang sekaligus memperkuat dominasi oligarki politik yang mengutamakan kepentingan pengusaha, (https://www.mongabay.co.id/2020/10/11/peneliti-lipi-beberkan-konflik-kepentingan-koalisi-soroti-aktor-di-balik-omnibus-law/ , diakses 02 Desember 2024).
Menurut Vedi R. Hadis dan Richard Robinson dalam Reorganising Power in Indonesia (2004), oligarki di Indonesia tetap kuat meski setelah reformasi, dengan kekuasaan informal yang mendominasi institusi formal. Elit politik dan ekonomi ini mempertahankan kontrol atas jaringan kekuasaan dan sumber daya penting, memastikan tatanan kekuasaan tidak berubah. Reformasi yang diharapkan membawa perubahan justru gagal menggeser dominasi mereka.
Demokrasi di Indonesia menghadapi kendala besar karena reformasi tidak mampu mengurangi pengaruh elit politik dan ekonomi. Dominasi mereka atas demokrasi Indonesia dimulai dengan keterlibatan sejumlah oligarki dalam peran di balik layar saat keruntuhan Soeharto. Dan mereka hampir tidak menghadapi hambatan berarti selama masa transisi politik (Winters, 2013). Kelompok oligarki tetap mempertahankan kontrol atas kekuasaan dan sumber daya. Sehingga perubahan yang diharapkan tidak mengubah tatanan kekuasaan yang menguntungkan mereka. Akibatnya, demokrasi di Indonesia masih kesulitan menciptakan pemerintahan yang inklusif, transparan, dan bebas dari dominasi kepentingan sempit.
Pemilihan Kepala Daerah
Pilkada seringkali menjadi ajang bangkitnya atau munculnya ke permukaan shadow state dalam rangka memanfaatkan sumber daya informal. Politik uang dan kampanye hitam digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Sehingga pemimpin terpilih adalah bagian dari jaringan shadow state. Politik uang melibatkan distribusi langsung kepada pemilih dan membentuk aliansi antara politisi dan pengusaha berbasis keuntungan material. Jaringan klientelisme menyediakan sumber daya atau akses ekonomi sebagai imbalan atas loyalitas.
Pertanyaannya adalah apakah kita membiarkan demokrasi terus dikendalikan oleh bayangan “elit” atau merebut kembali ruang politik untuk kepentingan rakyat? Indonesia Corruption Wacth menulusuri sebanyak 33 dari 37 Provinsi yang menyelenggarakan Pemilihan kepala daerah terindikasi kuat pasangan memiliki calon yang terafiliasi dengan dinasti politik. ICW juga mencatat kaitan kuat keberadaan dinasti politik dan praktik korupsi. ICW menemukan sebanyak 26,6 % atau 155 dari 582 individu mencalonlan diri sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah terindikasi terafiliasi dinasti politik.
Selain itu, fenomena kotak kosong di 37 daerah pada Pilkada 2024 menunjukkan lemahnya kompetisi demokratis. Sebagian besar kandidat yang melawan kotak kosong berasal dari dinasti politik, yang mencerminkan kontrol kekuasaan oleh kelompok tertentu tanpa memberi pilihan nyata bagi masyarakat (https://www.icw.or.id/id/jelang-pemungutan-suara-pilkada-2024-hampir-seluruh-provinsi-di-indonesia-terafiliasi-dinasti, diakses 02 Desember 2024).
Dinasti politik menciptakan jaringan kekuasaan melalui pengaruh keluarga, patronase, dan jejaring politik, yang melemahkan demokrasi dengan menghilangkan pesaing, seperti terlihat pada fenomena kotak kosong. Hal ini sering terkait dengan praktik korupsi sebagai bagian dari mekanisme shadow state untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan mengontrol sumber daya negara.
Korupsi
Menurut data Transparancy International, Indonesia masih menghadapi tingkat korupsi tinggi dengan skor CPI 2023 sebesar 34 (peringkat 115 dari 180 negara). Korupsi terstruktur melalui jaringan kekuasaan informal melibatkan politisi, birokrat, pengusaha, dan tokoh masyarakat. Beroperasi di luar jalur formal untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Keberadaan shadow state melemahkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, sekaligus memperkuat ketimpangan kekuasaan yang menguntungkan elit.
Selanjutnya, Edward Aspinal dan War Berenschot dalam bukunya yang berjudul Democracy for Sale: Election, clientilsm and the State in Indonesia (2019) mengkaji bagaimana politik uang dan klientisme menjadi ciri utama demokrasi di Indonesia. Jaringan informal yang dikelola oleh elit menjadi kekuatan di balik layar yang mempengaruhi hasil pemilu dan kebijakan publik. Shadow state bekerja melalu politik uang dan patronase. Selaras dengan itu, studi ini menunjukan bahwa politisi di Indonesia sering dibiayai oleh elit yang kemudian memperoleh keuntungan melalui proyek pemerintah atau pengaturan kebijakan.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah pilar penting dalam demokrasi lokal yang bertujuan memberikan ruang partisipasi rakyat untuk menentukan pemimpin mereka. Namun, di balik proses formal yang terlihat transparan, dinamika shadow state—atau jaringan kekuasaan informal—sering kali menjadi aktor utama yang memengaruhi hasil Pilkada.
Untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, penerapan demokrasi partisipatif melibatkan masyarakat langsung dalam pengambilan keputusan, seperti musyawarah dan penyusunan anggaran berbasis partisipasi.
Demokrasi deliberatif memastikan keputusan diambil melalui dialog yang rasional dan inklusif. Sementara demokrasi ekonomi mengutamakan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dalam pengambilan keputusan ekonomi. Tujuannya untuk menciptakan distribusi kekayaan yang lebih adil, meningkatkan kesejahteraan bersama, dan mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi. Desentralisasi harus disertai transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pelayanan publik untuk mencegah korupsi serta meningkatkan akuntabilitas.
Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan partisipasi. Seperti melalui e-voting atau platform konsultasi publik, sekaligus mempermudah pengawasan kebijakan. Pendidikan politik penting untuk melawan politik uang dan dominasi oligarki dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan tanggung jawab politiknya. Idealisme tentang pemerintahan adil menjadi dasar demokrasi sehat yang menjamin kesejahteraan rakyat seperti kata Bung Hatta. Keputusan ada di tangan kita apakah kita membiarkan demokrasi dalam bayangan “elit” atau merebut kembali ruang politik untuk kepentingan rakyat. *