KANAL

Di Tahun Politik, AMSI Jabar Dorong Anggotanya Kanal Cek Fakta

×

Di Tahun Politik, AMSI Jabar Dorong Anggotanya Kanal Cek Fakta

Sebarkan artikel ini
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Barat (Jabar) mendorong anggotanya untuk menciptakan kanal khusus untuk Cek fakta.

KAPOL.ID — Di tahun politik 2024 informasi digital berkembang pesat, disinformasi telah menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan bagi masyarakat modern.

Menindaklanjuti hal tersebut Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Barat (Jabar) mendorong anggotanya untuk menciptakan kanal khusus untuk Cek fakta.

Sekretaris AMSI Jabar Subagja Hamara mengatakan, penyebaran informasi palsu atau salah secara sengaja melalui media sosial dan platform digital lainnya semakin masif, untuk itu dirinya mendorong anggotanya untuk menciptakan kanal Cek Fakta.

“Secara bisnis memang saat ini belum ada value, tetapi ketika media konsisten nilai itu akan datang dengan sendirinya seiring dengan media dipercaya dan terpercaya di masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, informasi bohong menyebabkan dampak yang merusak, baik pada tingkat individu maupun masyarakat secara keseluruhan.

Disinformasi tidak hanya dapat mengancam demokrasi dan keamanan, tetapi juga dapat merusak reputasi organisasi, menyebabkan ketidakpercayaan pada lembaga publik, dan mengganggu proses pengambilan keputusan.

“Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat modern ini, kolaborasi lintas sektor dan usaha bersama dari pemerintah, sektor swasta, lembaga media, dan masyarakat sipil menjadi krusial dalam melawan disinformasi dan memastikan kebenaran informasi yang lebih terjamin,” jelasnya.

“Nantinya kanal ini akan memfasilitasi informasi temuan dari kolaborator untuk mempublikasi secara masif, sehingga informasi hoax tidak terus menyebar di kalangan masyarakat,” terangnya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, persebaran disinformasi yang masif dan cepat melalui internet telah mengubah paradigma penyampaian informasi dan komunikasi di masyarakat.

Tren ini menciptakan ekosistem informasi yang kompleks, di mana informasi yang salah atau menyesatkan seringkali dapat dengan mudah menyebar.

Disinformasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti berita palsu, rumor, propaganda, dan manipulasi citra. Selain itu, perilaku algoritma di platform media sosial dapat memperkuat fenomena “filter bubble,” yang dapat membatasi akses pengguna ke perspektif dan informasi yang beragam, sehingga memperparah perpecahan dan ketidaksepahaman.

“Untuk melawan disinformasi membutuhkan kerjasama antara para ahli teknologi, akademisi, jurnalis, dan pengambil keputusan untuk mengembangkan pendekatan kolaboratif yang holistik dan efektif,” terangnya.

Sementara itu, Adi Marsela, pemateri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Prebunking sebagai vaksin.

Prebunking disini menjadi strategi untuk mempersiapkan dan melindungi orang dari informasi palsu atau hoaks sebelum mereka terpapar.

Harapannya, ketika orang menghadapi hoax atau berita bohong, mereka sudah punya pengetahuan yang membuat mereka lebih skeptis dan kritis.

Sementara debunking adalah proses mengungkap atau membantah klaim, rumor, atau informasi yang salah atau menyesatkan dengan menggunakan bukti dan fakta.

Dalam konteks penyebaran hoaks atau berita palsu, debunking sangat penting untuk memastikan bahwa informasi yang beredar adalah akurat dan tidak menyebabkan kebingungan atau kerugian.

Johanes Heru Margianto, Managing Editor Kompas.com yang menjadi pemateri kedua menjelaskan, ada pola manipulasi opini publik yang dapat diidentifikasi, diantaranya percakapan medsos, konten profesional menggunakan politik identitas, penggunaan “giveaway” untuk menarik perhatian, maraknya akun palsu, anonim, robot, influencer hingga durasi kampanye.

Pola ini wajib diwaspadai, mengingat Hasil Pemantauan Hoaks pada Semester I 2024 oleh Mafindo menunjukkan, sepanjang tahapan Pemilu 2024 hoaks tetap menjadi alat penting dalam memanipulasi opini publik. Contohnya pada bulan Januari 2024, 33,3% dari hoaks yang tersebar berfokus pada dukungan terhadap capres-cawapres dan reaksi terhadap debat.

“Pentingnya kolaborasi dalam upaya melawan disinformasi juga tercermin dalam tantangan yang dihadapi oleh upaya individu dan organisasi. Tanpa kerjasama dan koordinasi yang baik, potensi upaya mereka untuk menghadapi skala, kecepatan, dan ketepatan penyebaran disinformasi sangat terbatas.” terangnya.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan upaya pencegahan, deteksi, dan penanggulangan disinformasi dengan kerjasama yang erat antara pihak-pihak terkait. **