KAPOL.ID—Sebelum jadi kawasan wisata, daerah Batu Mahpar adalah tanah dengan tumbuhan liar. Di kedua sisi hamparan batu yang merupakan bekuan lava berusia ribuan tahun itu, tumbuh berbagai jenis pepohonan juga ilalang.
Lebih jauh lagi dari itu, Batu Mahpar yang secara administratif menginduk ke Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari; merupakan pemukiman. Paling tidak sampai dekade 1960-an.
Keterangan ini disampaikan oleh Dede Tatang (60). Ia warga asli Desa Sukamulih, Kecamatan Sariwangi. Batu Mahpar sendiri berada di perbatasan antara Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, dengan kampung halaman Dede.
“Batu Mahpar ini, lokasi kawasan wisatanya ada di Kecamatan Leuwisari, tetapi yang punya akses jalannya Kecamatan Sariwangi,” ujar Dede.
Kedua kecamatan tersebut, pada mulanya satu kecamatan: Leuwisari. Baru sekitar 16 tahun yang lalu terjadi pemekaran menjadi dua kecamatan.
Menurut pira yang ikut melakukan penggalian tahan hingga ditemukan arca pula, daerah yang kini menjadi kawasan wisata Batu Mahpar adalah perkampungan. Nama kampungnya, Cipiit.
“Kampung itu bubar waktu zaman pagar betis (pada masa gerakan sparatis DI/TII, red). Ya, sekitar tahun 1962-an. Saya dengar ceritanya dari orangtua, begitu,” lanjut Dede.
Bahkan, Dede mengaku melihat sendiri bagaimana bekas-bekas pondasi rumah-rumah zaman dulu ditemukan pada waktu penggalian saat proses pembangunan kolam renang Batu Mahpar.
Jika dilakukan pengukuran, kedalaman kolam renang tidak begitu jauh berbeda dengan kedalaman ditemukannya arca-arca di Batu Mahpar. Lokasinya tidak begitu berjauhan, kolam renang di sebalah utara, sementara lokasi temuan arca di sebelah selatan. Kontur tanahnya memang menanjak.
Di sebelah baratnya, terdapat sungai, yang dasarnya adalah hamparan batu. Konon, batu ini adalah lava yang membeku, sekitar ribuan tahun lalu. Kata Dede, Sungai ini bernama Cimerah. Pahatan telapak (jejak) kaki pada Batu Mahpar.
Di atas permukaan batu ada beberapa pahatan berbentuk telapak (jejak) kaki. KAPOL.ID setidaknya menemukan dua jejak kaki. Di tempat lain, di dekat curug, bahkan katanya ada pahatan tulisan Sunda. Tetapi kini tidak bisa ditinjau, karena ada pembatas dan tanda peringatan bahaya.
“Dulu, sungai ini berair. Pokoknya subur. Di ujungnya ada curug. Namanya curuk Mandawah. Tingginya 87 meter. Tapi sekarang udah tidak setinggi itu, karena mungkin dasarnya terus naik kasaeur,” terangnya lebih jauh.
Di samping itu, Dede belum pernah mendengar kalau di antara warga Cipiit ada pengrajin kesenian, misalnya saja seni memahat. Peringatan tanda bahaya, supaya pengunjung Batu Mahpar tidak coba-coba meninjau wilayah curug.