PESANTREN

Ketua MUI Garut, KH. Sirojul Munir: Menikahnya Wanita yang Sedang Hamil Adalah Sah

×

Ketua MUI Garut, KH. Sirojul Munir: Menikahnya Wanita yang Sedang Hamil Adalah Sah

Sebarkan artikel ini
Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Garut, KH. Sirojul Munir

KAPOL.ID – Menikahnya wanita yang sedang hamil dan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah sah, selama pernikahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Garut, KH. Sirojul Munir, sesuai fatwa MUI Kabupaten Garut nomor: 01 tahun 2025, tentang menikahnya wanita yang sedang hamil, dan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan tersebut.

Fatwa tersebut, lanjut Munir, dikeluarkan MUI bukan tanpa alasan. Tapi, setelah melakukan berbagai pertimbangan.

“Yang pertama, bahwa sering terjadi menikahkan wanita yang sedang hamil, apakah kepada laki-laki yang menghamilinya atau kepada laki-laki yang bukan menghamilinya,” ucap dia.

“Pertimbangan keduanya, kami banyak menerima permohonan dari masyarakat untuk menerbitkan keterangan atau fatwa tentang pernikahan yang dimaksud alasan pertama, termasuk dampak hukumnya,” tegas Munir, didampingi Sekretaris Umum H. Muhamad Yusup Sapari, S.Pd., M.M.Pd, di kantor MUI Kabupaten Garut, Jl. Pramuka, kemarin.

Itu alasannya, lanjut Munir, mengingat beberapa keterangan dari Al-Qur’an, diantaranya QS.Al-Furqan, QS.Al-Isra:32, Al-Baqoroh:235 dan yang lainnya. Al-Hadits: HR. Muslim2645; Bukhari 1912, 3964, 6252; HR. Abu Dawud 1843 dan yang lainnya, termasuk Qaol para ulama serta kaidah-kaidah usul fiqih dan Fikih.

Maka, MUI Kabupaten Garut melalui komisi fatwa yang diketuai KH. Opa Mutpa, BA dan Sekretarisnya KH. Ahmad Najib Komarudin, M.PD.I, pada 11 Sya’ban 1446 H bertepatan dengan 10 Februari 2025 M berhasil menerbitkan Fatwa ini.

Tidak hanya itu, tuturnya, fatwa ini juga diterbitkan setelah memperhatikan kompilasi hukum Islam buku 1 hukum perkawinan; Fatwa MUI no.11 tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya.

Dalam fiqih Islam lanjut Munir, para ulama memang berbeda pendapat mengenai hukum menikahnya wanita yang hamil akibat zina.

Sebagian ulama terutama dari mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali yang memperbolehkan berpendapat, bahwa seorang pria yang berzina dengan seorang wanita hamil dapat menikahinya saat dia masih hamil, dengan syarat tidak ada syubhat bahwa pernikahan dimaksud untuk menghalalkan zina.

Namun, tambah Munir, suami tidak boleh berhubungan intim sampai wanita tersebut melahirkan.

“Keduanya dari pendapat yang memperbolehkan, para ulama sepakat, bahwa wanita yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh pria yang menghamilinya atau pria lain yang tidak menzinahinya,” tegasnya.

Sementara itu dari Mazhab Maliki yang melarang katanya, berpendapat tidak boleh menikahi wanita yang hamil karena zina, baik pria yang menzinahinya maupun orang lain, sampai wanita itu melahirkan.

“Alasannya, karena mereka mendasar pada konsep iddah bahwa kehamilah dianggap sebagai masa tunggu (iddah) yang harus dihormati,” ungkapnya.

Sementara itu, lanjut Munir, sejumlah ulama kontemporer atau modern menegaskan, bahwa pernikahan seperti ini diperbolehkan sebagai bentuk tanggung jawab pria yang menzinahi wanita tersebut, selama prosesnya mengikuti syariat.

Berdasarkan dari beberapa pendapat tersebut tambah Munir, Maka Komisi Fatwa MUI Kabupaten Garut memutuskan dan menetapkan, bahwa menikahnya wanita yang sedang hamil dan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah sah.

Adapun ketentuan hukum lainnya, tambah Munir, jika anak hasil zina lahir setelah enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada pria yang menikahi wanita tersebut.

Namun, jika anak lahir sebelum enam bulan, anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.

Begitu pun katanya, tanggung jawab laki-laki yang menikahi wanita hamil karena zina maka ia bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatan anak tersebut, meskipun anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya jika lahir sebelum enam bulan.

“Adapun nanti, mengenai ayah bilogisnya ingin memberikan sebagian harta yang dimilikinya kepada anak biologisnya kelak setelah meninggal, maka harus membuat wasiat wajibah secara tertulis dan ditandatangani di atas meterai,” pungkasnya. (Anang KN)***