OPINI

Pekerja Perempuan Rentan Menjadi Objek Eksploitasi dan Kekerasan

×

Pekerja Perempuan Rentan Menjadi Objek Eksploitasi dan Kekerasan

Sebarkan artikel ini

Oleh Ipa Zumrotul Falihah
Aktivis Perempuan/Direktur Taman Jingga

Setiap tanggal 1 Mei setiap tahunnya dunia merayakan Hari Buruh Internasional, yang lebih dikenal dengan May Day. May Day menjadi momen penting untuk menghargai kontribusi para pekerja dalam membangun masyarakat dan ekonomi. Bukan hanya tentang perjuangan kaum buruh secara umum, tetapi juga momen untuk menyoroti peran perempuan dalam dunia kerja.

Perempuan telah lama menjadi bagian integral dari angkatan kerja, namun masih banyak diskriminasi dan ketidakadilan yang mereka hadapi. Pekerja perempuan atau lebih tepatnya buruh perempuan telah berkontribusi untuk dunia kerja dan pembangunan di negeri ini. Namun hak-haknya masih banyak yang terabaikan. Sering kali harus menanggung beban ganda, yaitu sebagai pekerja dan sebagai ibu rumah tangga.

Kondisi ini membuat mereka bekerja lebih keras untuk membagi waktu dan konsentrasi. Rata-rata jam kerja yang panjang dan upah kerja yang rendah. Pekerja perempuan masih banyak yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan di tempat kerja. Mulai dari ketimpangan upah kerja, pelecehan seksual, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Pun sulitnya kesempatan untuk promosi jabatan.

Kesempatan untuk berkembang dan berkarier masih banyak kendala bagi pekerja perempuan, ini terjadi karena kentalnya dunia patriarki. Perempuan dianggap kurang tenaga, kurang cekatan dan dipandang lemah. Sehingga untuk posisi strategis, kesempatan pekerja laki-laki lebih besar daripada untuk pekerja perempuan. Jenjang karier perempuan di dunia kerja tidak seleluasa banyak streotipe dan ketidaksetaraan yang diterima oleh mereka.

Selain itu ada pula kondisi dimana pekerja perempuan dibebankan kerja di luar tanggung jawabnya hanya karena dia seorang perempuan. Pekerja perempuan dianggap menjadi magnet untuk bisa bernegosiasi dan diberikan kerja tambahan. Seperti dalam menarik kilen atau menarik minat, menjadi marketing yang diluar job desknya. Kecuali memang betul adalah posisinya sebagai marketing sesuai kontrak kerja. Tidak masalah, tetapi apabila di luar kesepakatan kerja tentu ini adalah bentuk diskriminasi.

Ada lagi yang lebih miris ketika ada catatan khusus bagi pekerja perempuan. Misalnya harus berpenampilan menarik, good looking sehingga secara fisik menarik perhatian. Tentu hal ini adalah bentuk eksploitasi terselubung apabila sengaja menjadi umpan marketing bagi sebuah perusahaan.

Selanjutnya kondisi buruh perempuan saat ini sudah sangat pelik. Awal tahun ini marak diberitakan terjadinya pemutusan hubungan kerja di daerah-daerah industri yang lama dan baru. Korban PHK akibat efisiensi yang dilegitimasi oleh negara melalui undang-undang cipta kerja. Dan peraturan turunannya hampir 80% lebih dialami oleh buruh-buruh perempuan.

Selain PHK yang meningkat, upah UMP/UMK yang diperuntukan untuk status lajang menjadi bagian dari beban besar yang dipikul oleh pekerja perempuan. Tentu berdampak pada daya beli yang pas-pasan sehingga jauh dari kata hidup layak.

Refleksi

Hari buruh ini sebuah hari besar untuk merefleksikan situasi kondisi tentang keadaan para buruh. Termasuk pekerja perempuan untuk adanya perbaikan. Negara bertanggung jawab memberikan hak-hak dasar kepada rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Seperti kesejahteraan, penghidupan yang layak, politik, kemerdekaan berserikat/berkumpul, berekspresi, kesehatan dan lainnya.

Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah regulasi yang bertujuan melindungi buruh perempuan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Misalnya, mengatur hak cuti haid, cuti hamil, dan perlindungan bagi buruh perempuan yang bekerja pada malam hari.

Selain itu, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Juga menekankan pentingnya perlindungan khusus bagi pekerja perempuan, termasuk penyediaan fasilitas kesehatan dan lingkungan kerja yang aman.

Undang-Undang Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan hak pekerja perempuan. Meskipun hak cuti haid dan cuti melahirkan diakui negara yang menjadi payung hukum bagi pekerja perempuan. Namun implementasi di lapangan masih menghadapi kendala dan belum sepenuhnya terealisasi.

Ruang laktasi di tempat kerja merupakan hak pekerja perempuan yang sedang menyusui, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Perusahaan wajib menyediakan ruang laktasi yang memenuhi standar tertentu. Agar pekerja perempuan dapat menyusui atau memerah ASI selama jam kerja dengan nyaman dan aman.

Keamanan dan keselamatan kerja menjadi perhatian kita bersama karena kasus pelecehan seksual pada pekerja perempuan masih tinggi. Begitu juga ketidakpastian status pekerja perempuan di sektor informal karena mayoritas pekerja perempuan belum mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan yang memadai. Salah satu pekerja perempuan sektor informal yang saat ini masih belum terlindungi hak-haknya. Adalah pekerja rumah tangga PRT atau yang lebih dikenal dengan asisten rumah tangga (ART).

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) telah mandek pembahasan dan pengesahannya di DPR RI selama hampir dua dekade. RUU ini bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar PRT dan mengatur hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja. Meski telah ada desakan kuat dari berbagai pihak, RUU PPRT belum juga disahkan menjadi Undang-Undang. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata bagi para pekerja rumah tangga yang rata-rata adalah perempuan.

Mensahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT adalah PR mendesak bagi pemerintah karena nanti setelah disahkan akan melindungi hak-hak pekerja rumah tangga. Dan menjadi payung hukum bagi para pekerja rumah tangga dalam menuntut keadilan.

Perdagangan orang

Selain masalah pekerja perempuan diatas, ada lagi masalah serius yaitu Human Tracffiking atau Perdagangan orang. Kebanyakan korban adalah perempuan. Perdagangan orang adalah sebuah kejahatan serius yang terjadi di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Perempuan sering kali menjadi sasaran utamanya. Mereka dijanjikan pekerjaan yang menjanjikan di dalam negeri juga di luar negeri. Pada kenyataannya mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi dan kekerasan. Dampak paling nyata dari perdagangan orang adalah hilangnya martabat dan hak asasi manusia perempuan. Mereka sering kali dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi. Tanpa upah yang layak, dan rentan terhadap berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan.

Dalam perayaan May Day, penting bagi kita untuk merenungkan bagaimana kita dapat melindungi para pekerja perempuan dari eksploitasi dan perdagangan orang. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan upaya penegakan hukum untuk menghentikan praktik perdagangan orang. Lebih dari sekadar kebijakan, perlindungan hukum yang kuat dan penegakan yang tegas diperlukan untuk menangani penyebab utama perdagangan orang.

Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan dan akses yang lebih baik bagi para korban. Ini termasuk layanan rehabilitasi, bantuan hukum, tempat perlindungan, dan dukungan psikososial. Hal ini penting untuk memastikan bahwa para korban mendapatkan perlakuan yang layak. Dan mendapat dukungan yang mereka butuhkan untuk memulai kembali hidup mereka yang menjadi korban perdagangan orang. Sebagai masyarakat kita juga memiliki peran penting dalam melawan perdagangan orang. Kita dapat menjadi lebih peduli dan peka terhadap isu ini dengan mengedukasi melakukan pencegahan bersama. Untuk melindungi hak-hak perempuan dan menghentikan perdagangan orang.

Momentum may day menjadi pengingat bahwa perlindungan bagi pekerja perempuan harus menjadi prioritas. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan inklusif. Sosialisasi tentang hak-hak pekerja perempuan, peningkatan pengawasan terhadap implementasi regulasi. Dan penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai adalah langkah-langkah konkret yang harus segera dilakukan.

May Day bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang refleksi dan tindakan. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik awal untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja perempuan. Sehingga mereka dapat bekerja dengan tenang dengan bermartabat tanpa rasa takut akan eksploitasi dan kekerasan.

Dengan kerja keras bersama, kita dapat menciptakan dunia di mana setiap pekerja dihargai dan dilindungi, karena pekerja perempuan juga berkontribusi dalam pembangunan.***