Sistem kepartaian di Indonesia telah mengalami perubahan yang subtansial pasca era reformasi. Sebelum tahun 1998, Indonesia menerapkan sistem dwipartai dengan sistem ini maka hanya ada dua partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), akan tetapi di tambah Golongan Karya sehingga menjadi total tiga partai, partai-partai tersebut merupakan hasil dari restrukturisasi partai sehingga terbentuk ketiga partai tersebut. PPP merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis dan agama nonIslam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar adalah partai politik bentukan pemerintah Orde Baru (Gunanto Djoni, 2020).
Sistem ini menjadi bumerang pada politik Indonesia, karena sistem ini membatasi partisipasi politik masyarakat dan mangurangi keberagaman suara dalam proses pengambilan keputusan. Partai Golkar, sebagai partai yang berkuasa, tentu saja memiliki kontrol yang signifikan atas lembaga legislatif dan eksekutif. Sementara itu, partai PDI dan PPP berfungsi sebagai partai oposisi dengan peran yang terbatas dalam pengambilan keputusan.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah mengimplentasikan sistem dwipartai sebagai metode untuk mengontrol dan mengatur politik di Indonesia. Golkar sebagai pendukung pemerintahan, sedangkan PDI dan PPP berusaha untuk mewakili suara masyarakat yang beragam dan berbeda-beda. Meskipun terdapat tiga partai yang aktif waktu itu, dominasi Golkar mengakibatkan ruang bagi PDI dan PPP menjadi sangat terbatas. Sisitem ini diterapkan untuk menciptakan stabilitas politik dan mengurangi konflik, namun dalam praktiknya, sistem ini justru menghambat demokrasi dan partisipasi politik masyarakat.
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami sebuah krisis politik dan ekonomi yang berlangsung lama. Krisis ini dipicu oleh krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, ditambah dengan ketidak puasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru yang dicirikan oleh praktik korupsi dan otoritarianisme. Sehingga terjadilah aksi demonstrasi dan ujuk rasa yang dilakuakan oleh mahasiswa dan masyarakat sivil dari berbagai golongan memaksa Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memberikan kebebasan politik serta pembentukan partai-partai baru. Pemerintah pasca Soeharto yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid memberlakukan kebijakan yang mendukung pembentukan partai baru dan memberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Undang-Undang Partai Politik yang baru disusun untuk memberikan landasan hukum bagi partai-partai untuk menjalankan operasionalnya dan sebagai awal bergantinya sistem ke multipartai.
Dalam dua dekade terakhir lebih, Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan dalam sistem kepartaiannya. Munculnya beragam partai politik baru telah menciptakan lanskap politik yang dinamis. Partai-partai seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demoktrat telah mulai bermunculan, mencerminkan beragam aspirasi masyarakat. Namun, perubahan ini juga membawa tantangan baru terkait stabilitas politik dan pembentukan koalisi pemerintahan.
Sistem multipartai adalah sistem yang mengusung banyak partai politik di suatu negara dengan paltform berdasarkan visi dan misi dengan keberagaman budaya, ras, suku, dan agama. Dalam sistem multipartai , Sekelompok partai politik akan berkompetisi agar bisa mendapatkan kekuasaan dan semuanya mempunyai kesempatan untuk membentuk pemerintahan. Dalam pelaksanaannya sistem multipartai di atur dalam uu no. 7 tahun 2017 pasal 1 ayat 29 tentang partai politik peserta pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu dan anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam UUD 1945 pasal 6A ayat (2) menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem multipartai karena yang berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Sejak Presiden Soeharto berkuasa pada tahun 1967, partai politik dianggap sebagai penyebab ketidakstabilan politik di Indonesia pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Untuk menciptakan stabilitas, dilakukan penyederhanaan partai politik. Pada pemilu pertama era Orde Baru tahun 1971, terdapat sepuluh partai terdaftar, termasuk Golkar yang berkuasa. Pada tahun 1974, Soeharto merestrukturisasi partai, menghasilkan hanya tiga partai: Golongan Karya (GOLKAR) sebagai partai pemerintah, Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI) dari penggabungan partai sosialis dan demokratis, serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari partai berbasis Islam.
Reformasi yang diwarnai dengan jatuhnya Soeharto dan pengangkatan Wakil Presiden BJ.Habibie sebagai Presiden pada tahun 1998, membawa perubahan yang mendasar terhadap sitem kepartaian di Indonesia. Sejak dimulainya reformasi di era pemerintahan Habibie, tidak ada batasan pada jumlah partai politik dan mereka bebas dalam menentukan asas partaimasing-masing. Kebebasan untuk mendirikan partai ini di atur dalam UU No. 2 tahun1999 tentang partai politik. Perubahan ini juga menandai awal dari tumbuhnya kembali multipartai di Indonesia.
Perkembangan sitem multipartai pada masa reformasi ini menunjukkan dinamika yang sangat cepat, dengan jumlah partai politik yang meningkat pesat meskipun tidak stabil. Sejak diterapkannya kebebasan mendirikan partai politik, dari pemilu 1999 hingga pemilu 2004 terdapat lebih dari 237 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Menjelang pemilu 1999, sebanyak 1148 partai politik telah terdaftar sebagai Badan Hukum di Departemen Kehakiman dan HAM, di mana 48 partai politik diantaranya memenuhi syarat untuk ikut serta dalam pemilu 1999. Sementara itu , pada pemilu 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 partai politik saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electoral Threshold) sesuai UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR.
Pergantian sistem kepartaian ini tentunya menjadi angin segar bagi kondisi politik Indonesia, karena memberikan peluang untuk membangun partai baru sehingga dapat menyapaikan aspirasi masyarakat dari berbagai corak. Dan sistem multiparai diharapkan bisa mengubah lanskap politik di Indonesia menjadi lebih baik lagi, partisipasi masyarakat meningkat, serta demokrasi berjalan dengan semestinya tanpa di kuasai oleh segelintir orang.
Tim penulis: Chandra Futra, Nathasya Indria, Dinda Agustiani, Dea Amelia Ristiani, Yazidin Zidane