OPINI

Problematika Kotak Kosong

×

Problematika Kotak Kosong

Sebarkan artikel ini

Oleh Erlan Suwarlan
Dosen FISIP Universitas Galuh

Pasangan calon tunggal mulai terlihat sejak 2015, saat itu hanya 3 daerah (Kabupaten Tasik, Blitar, dan Timor Tengah Utara) yang memiliki calon tunggal dari 269 daerah. Jumlah tersebut tersebut meningkat pada 2017 dengan 9 dari 101 daerah. Lalu tahun 2018 meningkat lagi menjadi 16 dari 170 daerah, saat itu kotak kosong menang di Makassar. Selanjutnya tahun 2020 terdapat 25 paslon tunggal dari 270 daerah.

Saat ini, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sudah merilis pasangan calon tunggal sebanyak 43 daerah. Diantaranya Provinsi Papua Barat, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Barat, Serdang Bedagai, Labuhanbatu Utara. Kemudian Nias Utara, Dharmasraya, Batanghari, Ogan Ilir, Empat Lawang, Bengkulu Utara, Lampung Barat, Lampung Timur, Tulang Bawang Barat. Lalu Bangka, Bangka Selatan, Kota Pangkal Pinang, Bintan, Ciamis, Banyumas, Sukoharjo, Brebes, Trenggalek, Ngawi, Gresik, Kota Pasuruan, Kota Surabaya. Serta Bengkayang, Tanah Bumbu, Balangan, Samarinda, Malinau, Kota Tarakan, Maros, Muna Barat, Pasangkayu, Manokwari, dan Kaimana.

Pengalaman dari Makassar

Dunia politik Indonesia sempat dibuat heboh soal kemenangan kotak kosong pada pemilihan Wali Kota Makassar pada pertengahan tahun 2018. Kemenangan kotak kosong atas pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) di Makassar tersebut menjadi pelajaran untuk semua. Dimana dari hasil rekapitulasi, pasangan Appi-Cicu mendapatkan 264.071 suara dan kotak kosong 300.969 suara.

Kotak kosong dalam Pilkada merupakan opsi yang diberikan kepada pemilih untuk tidak memilih pasangan calon yang ada. Opsi ini seringkali muncul dalam situasi di mana pemilih merasa tidak puas dengan calon yang diajukan. Pemilih mungkin merasa tidak ada satu pun calon yang memiliki visi dan misi yang sesuai dengan harapan mereka atau memiliki rekam jejak yang baik. Jika jumlah pemilih yang memilih kotak kosong cukup signifikan, ini bisa menjadi indikator adanya masalah dalam proses demokrasi.

Fenomena kemenangan kotak kosong di Makassar tersebut dapat dimaknai beberapa hal. Pertama, ekspresi Ketidakpuasan.  Ini merupakan bentuk partisipasi politik yang memungkinkan pemilih menyampaikan pesan kepada penyelenggara pemilu dan partai politik bahwa mereka menginginkan pemimpin yang lebih baik dan berkualitas.

Kedua, tekanan untuk partai politik. Adanya kotak kosong yang bisa dipilih menjadi tekanan bagi partai politik untuk memperbaiki kualitas calon. Hal ini adalah dorongan yang sangat serius kepada partai politik. Selain itu, lagi-lagi bisa dimaknai sebagai kritik yang selalu berulang terhadap partai politik, yakni parpol (selalu) gagal melaksanakan fungsinya.

Ketiga, protes terhadap sistem politik. Dapat dimaknai sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak adil atau tidak demokratis. Kotak kosong menjadi indikator bahwa sistem politik perlu diperbaiki. Ini bisa menjadi tanda bahwa sistem politik yang ada tidak mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat atau bahwa ada masalah dalam proses pencalonan. Beberapa pemilih mungkin juga memilih kotak kosong karena tidak tertarik pada politik atau merasa bahwa suara mereka tidak akan berpengaruh.

Keempat, minimnya efektivitas. Meski dapat menjadi saluran ekspresi, kotak kosong tidak secara langsung menghasilkan perubahan yang signifikan. Pemilih yang memilih kotak kosong tetap tidak memiliki representasi di pemerintahan.

Kelima, berpotensi disalahgunakan. Opsi kotak kosong dapat disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk melakukan sabotase terhadap calon tertentu atau untuk menurunkan tingkat partisipasi pemilih.

Keenam, ketidakjelasan makna. Suara yang masuk ke kotak kosong memiliki makna yang tidak jelas. Apakah ini berarti pemilih benar-benar tidak puas dengan semua calon, atau hanya bentuk protes yang tidak spesifik?

Ketika kosong menang, maka daerahnya akan dipimpin oleh Penjabat hingga pilkada berikutnya. Ini bisa dimaknai tidak memiliki legitimasi yang kuat.

Putusan MK Tidak Dimanfaatkan Parpol

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas penacalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dimana MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10/2016 inskonstitusional bersyarat. Substansinya, lewat putusan tersebut menyatakan bahwa partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mengajukan pasangan calon yang didasarkan pada perolehan suara sah atau gabungan partai politik mulai dari 6,5 hingga 10 persen.

Sejatinya terkait perubahan ambang batas (threshold) syarat pencalonan kepala daerah tersebut harus disambut dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh partai politik di parlemen maupun non-parlemen. Mengingat putusan tersebut sebenarnya membuka peluang untuk mencegah terjadinya kandidat tunggal, sehingga memberikan banyak pilihan lahirnya para calon pemimpin. Akan tetapi, ternyata putusan MK itu tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh partai politik.

Mungkin hal tersebut salah satunya karena rentang waktu antara pembacaan putusan MK dan jadwal pendaftaran kepala daerah cukup sempit. Sehingga mengakibatkan tidak semua partai politik bisa mengkonsolidasikan berbagai potensi dan kekuatannya untuk mengusung calon. Di luar tuduhan soal “kartel” atau persekongkolan partai politik.

Apa yang Harus Dilakukan?

Kotak kosong dalam pilkada bukanlah sekadar pilihan kosong, tetapi merupakan sebuah pernyataan politik yang perlu diperhatikan. Dengan memahami makna di baliknya, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas demokrasi di negara kita.

Kotak kosong dalam Pilkada merupakan fenomena yang kompleks dengan sisi positif dan negatifnya. Di satu sisi, dapat menjadi alat untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, di sisi lain juga dapat menjadi sumber ketidakpastian dan disalahgunakan untuk tujuan yang tidak demokratis.

Kotak kosong bukanlah solusi jangka panjang. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi, diperlukan reformasi yang lebih mendasar dalam sistem politik. Partisipasi aktif dalam proses politik jauh lebih efektif daripada hanya sekadar mencoblos kotak kosong. Pemilih perlu terlibat dalam berbagai kegiatan politik, seperti kampanye, pengawasan pemilu, dan advokasi kebijakan publik.

Untuk mengatasi permasalahan kotak kosong ini, tentu sangat diperlukan berbagai upaya yang melibatkan banyak pihak, misalnya: bagi partai politik, perlu lebih serius melaksanakan keseluruhan fungsinya. Bagi Pemerintah, perlu menciptakan iklim politik yang kondusif dan memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil dengan regulasi yang lebih baik. Bagi media massa, perlu memberikan ruang yang lebih luas untuk diskusi publik dan pendidikan politik. Bagi masyarakat, perlu lebih aktif berpartisipasi dalam proses politik dan memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas.***