KANAL

Problematika Penjabat Kepala Daerah

×

Problematika Penjabat Kepala Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh Erlan Suwarlan
Dosen FISIP Universitas Galuh

Dalam masa transisi demokrasi yang sekurang-kurangnya ditandai dengan dua hal, yakni: “Serba Mungkin” dan “Serba Tidak Pasti” masih terus terjadi di negara kita saat ini. Salah satu “ketidakpastian” yakni berubah-rubahnya regulasi/sistem yang berkaitan dengan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 mendatang.

Pada konteks Pemilihan Kepala Daerah yang sedianya akan dilaksanakan pada Bulan Nopember 2024, saat ini terdapat 271 Kepala Daerah yang habis masa jabatannya. Jumlah tersebut pada tahun 2022 meliputi: 7 Provinsi, 7 Kabupaten, dan 18 Kota. Sementara untuk tahun 2023 terdiri dari: 17 Provinsi, 118 Kabupaten, dan 38 Kota.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 201 Ayat (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”. Pola pengisian penjabat tersebut sebagai akibat dari pemberlakuan pemilihan kepala daerah serentak. Apakah pola ini by design atau by accident?

Uji Materi

Sejumlah uji materi terhadap pengangkatan Penjabat Kepala Daerah yang tertuang dalam UU 10/2016 telah banyak diajukan. Misalnya yang populer terdapat empat putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi tersebut, pertama Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-IX/2021 yang diajukan oleh Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak yang menilai bahwa Pasal 201 Ayat (7) dan Ayat (8) bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (5) UUD NRI 1945.

Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Moch Sidik, Dewi Nadya Maharani, Suzie Alancy Firman, Rahmatulloh, dan Mohammad Syaful Jihad yang menilai bahwa Pasal 201 Ayat (10) dan (11) tidak sesuai dengan prinsip dan nilai negara Indoensia yang demokratis.

Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara, yakni: Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi yang menilai bahwa Pasal 201 Ayat (7) bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945.

Atas ketiga putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan Pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas. Meski dalam praktiknya Menteri Dalam Negeri cenderung mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan Presiden pun terkesan membiarkan.

Selanjutnya yang keempat, Putusan Nomor 37/PUU-XX/2022 yang diajukan A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G Raubaba, dan Prillia Yustiati Uruwaya. Para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (9) beserta Penjelasannya dan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil sehingga permohonan tersebut harus dinyatakan kabur.

Berdasarkan putusan-putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa substansi norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 justru untuk memberikan kepastian hukum dalam hal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Maka, dalam masa peralihan, salah satu substansi dalam putusan-putusan tersebut menegaskan perihal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah.

Pada bagian lain Ombudsman Republik Indonesia pun pernah merilis Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan terkait pengaduan mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah yang menyebutkan adanya maladministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.

Problem Rekrutmen

Penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah menjadi pilihan utama pemerintah pusat dalam masa transisi untuk menghindari terjadinya kekosongan kekuasaan di daerah-daerah. Meski kebijakan ini diyakini banyak pihak sebagai kebijakan yang problematik. Dalam perkembangannya, penunjukkan Penjabat Kepala Daerah periode pertama Tahun 2022 tidak luput dari masalah dan menuai kritik dari banyak pihak. Berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbangannya memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan mengenai pengisian penjabat kepala daerah. Kabarnya hingga saat ini peraturan tersebut (Peraturan Menteri Dalam Negeri) masih dalam pembahasan.

Ketiadaan peraturan teknis tersebut dapat ditafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum. Dimana pengangkatan penjabat dilakukan tanpa terlebih dahulu membentuk peraturan teknis sebagaimana diamanatkan putusan MK yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kecurigaan publik terhadap rekrutmen Penjabat Kepala Daerah yang dianggap tidak transparan bukan tanpa alasan. Misalnya pada 4 Juli 2022 pengangkatan Mayor Jenderal Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh. Dimana sebelumnya pada 1 Juli 2022 yang bersangkutan mengundurkan diri dari TNI aktif, namun pada saat yang sama diangkat menjadi Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri.

Pengangkatan tersebut ditengarai menabrak Pasal 109 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan bertentangan pula dengan Pasal 157 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahuan 2020 tentang Manajeman Pegawai Negeri Sipil. Ini baru satu kasus, belum kasus-kasus lainnya.

Di lain sisi, pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dirasakan tidak signifikan terutama soal transparansi dan akuntabilitas prosesnya, serta terbatasnya ruang partisipasi masyarakat. Karena nama-nama yang muncul cenderung muncul last minute.

Harapan yang Terbatas

Sebagaimana amanal Pasal 132A Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah dan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara bernomor K.26-30/V/.100-2/99 tentang Penjelasan Atas Kewenangan Penjabat Kepala daerah di Bidang Kepegawaian tertanggal 19 Oktober 2015 ditentukan bahwa: 1) Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang: a) melakukan mutasi pegawai; b) membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c) membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d) membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Dengan demikian kewenangan Penjabat relatif terbatas. Hal utamanya adalah diharapkan/diharuskan mampu menciptakan dan memelihara iklim politik yang sehat di daerah, membangun suasana kamtibmas yang kondusif, mampu mengantisipasi dan meredam setiap potensi konflik yang mungkin timbul.

Selain itu, penjabat kepala daerah harus bisa menunjukkan sikap netral, baik dalam kebijakan, tindakan, dan perkataan langsung atau tidak langsung. Tidak ikut “cawe-cawe” dalam seluruh proses pilkada dalam bentuk apa pun. Ia dituntut mampu mengawal proses demokrasi di daerahnya dengan baik dan benar tanpa reserve. Dan itu adalah “pakem” dalam sikap politik yang paling santun dan elegan bagi seorang penjabat kepala daerah.

Pembangunan tetap harus mengacu pada RPJMD yang sudah ada pada masa jabatan kepala daerah sebelumnya. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari seorang penjabat kepala daerah, kecuali melanjutkan yang sudah ada. Selain kewenangannya yang terbatas juga besarnya kontrol dari pemerintah pusat. Dimana hal tersebut dapat berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Ancaman Demokrasi

Prinsip demokrasi adalah pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat, bukan penunjukkan. Kalau penunjukkan itu dianggap baik, apapun yang menjadi alasannya. Maka logika sederhananya tidak perlu ada pemilihan. Penunjukan Penjabat berpotensi merupakan ancaman bagi demokrasi itu sendiri.

Selanjutnya beberapa masalah yang bisa diinventarisir dengan adanya penunjukkan penjabat kepala daerah, misalnya: Pertama, begitu banyak dan luasnya daerah yang memerlukan penjabat, hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap rendahnya pelayanan publik. Kedua, masa jabatan yang panjang. Biasanya hanya selama enam bulan, sekarang bisa lebih dari dua tahun.

Ketiga, Dasar hukum yang tidak terkodifikasi dengan baik sehingga sulit bagi publik untuk memahami prosedurnya. Keempat, pengangkatan cenderung dilakukan tertutup. Kelima, diangkatnya personil TNI/Polri/BIN secara mendadak. Keenam, Menjustifikasi bahwa mekanisme pengangkatan sebagai keberhasilan praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketujuh, resiko terjadinya kecurangan pemilu sangat mungkin lebih masif dari pemilu 2019. Kalau presiden saja sempat mengatakan akan “cawe-cawe”, maka 271 penjabat berpotensi akan ikut “cawe-cawe” juga. Terlepas istilah tersebut dianggap multitafsir. ***