BUDAYA

Sahur on the Road: Alat Musik Tradisional Ditabuh, Bangunkan Warga Jatinangor

×

Sahur on the Road: Alat Musik Tradisional Ditabuh, Bangunkan Warga Jatinangor

Sebarkan artikel ini
Sahur on the Road, warga menabuh alat musik tradisional membangunkan warga untuk sahur

KAPOL.ID – Ratusan warga berkumpul di jalan segi tiga Jatinangor, tepatnya pertigaan Warungkalde, Dusun Warungkalde Desa Cikeruh Jatinangor, Sumedang pada hari Minggu, 16/4/2023 dini hari.

Sekitar 150 orang berkumpul di titik yang telah ditentukan sebelumnya, warga tersebut terdiri dari gabungan tiga Rukun Warga (RW) yakni RW 03, RW 04 dan RW 05.

Mereka berkumpul bukan untuk melakukan aksi unjuk rasa, melainkan sedang melaksanakan sahur on the road.

Yakni, membangunkan warga untuk sahur dengan membawa alat musik.

Diantaranya berupa dogdog (reak), kendang, bedug, goong dan alat lainnya (musik kuda renggong).

Sebelumnya, warga dari setiap RW berangkat dari wilayahnya masing-masing.

Kemudian menuju ke jalan segitiga Warungkalde sesuai dengan yang sudah direncanakan.

Saat bertemu di pertigaan Warungkalde, setiap grup memainkan musiknya secara berbarengan.

Sehingga suasananya menjadi riuh dengan penuh kegembiraan.

Banyak juga warga setempat yang berbaur sampai memberikan uang saweran kepada mereka di sepanjang jalan.

Muhammad Dwi Febrianto yang akrab disapa Bedod salah satu anggota Tarka RW 05 mengatakan, kegiatan tersebut dilaksanakan oleh warga setempat, khususnya para pemuda Taruna Karya (Tarka).

“Ini sudah menjadi tradisi turun temurun/budaya di wilayah tersebut, dan menjadi suatu wadah untuk melestarikan seni budaya khususnya kesenian yang ada di wilayah Jatinangor Sumedang yaitu seni reak/kuda renggong,” ucapnya.

Masih kata Bedod, acara bisa berjalan dengan lancar dan aman karena kekompakan para warga setempat khususnya para pemuda (tarka).

“Alhamdulillah acaranya lancar dan aman sehingga tidak menimbulkan sesuatu apapun yang tidak diinginkan,” katanya.

Hal senada diungkapkan Muhammad Fajar Wibisono salah satu Tarka RW 04, menurutnya tradisi seperti itu harus terus dijaga secara turun temurun.

Sehingga, kata dia, sampai kemudian nanti tidak tergerus jaman.

“Ini bukan kegiatan yang menyimpang, tetapi salah satu cara melestrikan budaya yang ada di sekitar kita,” katanya.

Masih menurut Ajay, sapaan akrabnya, ia rela dandan seperti emak-emak memakai daster dan kerudung serta berkaca mata hitam hanya untuk meramaikan dan membuat suasana lebih beda.

“Mari kita isi Ramadhan ini dengan hal-hal yang bermakna, sehingga bisa bermanfaat untuk semua orang khususnya yang ada di sekitar kita,” pungkasnya. (Wawan Setiawan)***