OPINI

Sistem Carry Over dan Dilema DPR

×

Sistem Carry Over dan Dilema DPR

Sebarkan artikel ini

Oleh Astri Kusmarianti, S.I.P
Magister Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

Proses perancangan perundang-undangan seringkali menjadi arena tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, DPR, dan masyarakat. Perancangan ini dijalankan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) oleh DPR. Namun efektifitasnya seringkali dipertanyakan karena mengalami stagnasi dalam pembahasan RUU, yaitu tinggi nya jumlah RUU yang tidak selesai pada satu periode legislatif. Hal ini menarik perhatian publik terhadap proses pembuatan RUU yang terkadang kurang transparan dan minim partisipasi dari masyarakat.

Sejak tahun 2014, sistem carry over mulai diterapkan di Indonesia sebagai mekanisme untuk melanjutkan pembahasan RUU yang belum selesai, tanpa memulai proses legislasi dari awal. Kemudian pada tahun 2019 pengaturan carry over diperjelas secara tegas dalam UU Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 71A. Dan jumlah RUU yang dilanjutkan dari periode ke periode selanjutnya mengalami kenaikan secara signifikan. Pada periode 2024, sebanyak 176 RUU ditetapkan sebagai Prolegnas 2025-2029 dimana terdapat tujuh rancangan tersebut berstatus carry over dari periode sebelumnya, dan sebanyak 41 ditetapkan sebagai RUU Proglenas Prioritas 2025.

Legitimasi Politik

Pergantian periode di legislatif juga mempengaruhi kepentingan politik karena pengaruh dari komposisi politik DPR yang baru. Legitimasi politik menjadi dilema utama bagi DPR dalam menjalankan sistem carry over. Atau RUU terusan dari periode sebelumnya yang belum selesai di mana ada kemungkinan bahwa RUU terusan tidak mencerminkan aspirasi pemilih terbaru. Hal ini dapat mengurangi legitimasi politik dari anggota DPR dan memberikan ketidakpuasan kepada pemilih yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Terutama jika ada kebijakan partai politik yang berkuasa. Misalnya ada penekanan bahwa RUU terusan yang sudah hampir selesai tidak perlu ada evaluasi. Sementara perubahan situasi politik terhadap kebutuhan masayarakat bersifat dinamis.

Sistem carry over memberikan dampak yang signifikan pada legitimasi politik DPR dimana carry over mendukung kesinambungan legislasi dan efektifitas penyelesaian RUU. Tetapi juga dapat memberikan perspektif yang negatif karena dianggap tidak mencerminkan mandat DPR dari partai politik. Dengan demikian, sebagai anggota DPR dalam proses legislasi melalui sistem carry over tidak sedikit melemahkan atau kehilangan legitimasi politiknya.

Dalam praktiknya, proses legislasi dalam sistem carry over mengundang sebagian kelompok yang memiliki kepentingan politik untuk memanfaatkan proses legislasi sebagai tujuan mendorong RUU terusan yang kontroversial atau yang tidak populer tanpa harus melalui evaluasi oleh anggota DPR yang baru. Praktik seperti ini dapat dikatakan sebagai manipulasi terhadap agenda legislasi, pengabaian terhadap partisipasi publik dan percepatan pembahasan RUU tanpa adanya transparansi dari DPR. Tidak menutup kemungkinan RUU terusan tersebut dapat melahirkan praktik politisasi dalam proses legislasi. Dan akhirnya memberikan ketidakpercayaan publik kepada DPR.

Kenyataannya sistem carry over sebagai kemudahan untuk mempercepat suatu RUU disahkan. Namun juga bisa mengurangi kualitas substansi dalam RUU tersebut. Evaluasi dan verifikasi ulang sangat penting untuk memastikan bahwa RUU yang akan disahkan sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai terkini. Sehingga dapat menghasilkan peraturan yang inklusif dan berkeadilan.
Bertambahnya beban kerja DPR dari periode sebelumnya dapat mempengaruhi efektifitas dan kualitas legislatif dalam menghasilkan peraturan perundang-undangan. Hal ini membuat DPR akan terjebak dalam proses legislasi yang sangat padat. Sehingga dalam pengambilan keputusan akan tergesa-gesa dan kurang teliti. Serta memberikan keterbatasan kepada publik untuk ikutserta berperan aktif akan merusak legitimasi DPR sebagai representasi dari kepentingan rakyat.

Kompleksitas RUU

Beberapa RUU yang masuk dalam sistem carry over memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Pertama, RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau RUU Pilkada yang membutuhkan masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, kementerian, dan masyarakat. Secara histori RUU Pilkada pernah memicu gejolak aksi massa dimana proses pembuatanya yang singkat, cepat dan dianggap tidak melibatkan partisipasi publik. Hingga menggugah seantero Indonesia menggelar demonstrasi sebagai penolakan terhadap RUU Pilkada tersebut. Mirisnya RUU Pilkada ini tidak masuk dalam RUU prioritas Prolegnas tahun 2025. Kedua, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang mangkrak selama 20 tahun dan sampai sekarang belum disahkan. Mengingat urgensi dari RUU PPRT adalah untuk kepentingan orang banyak, tetapi proses legislasi nya lambat dan DPR belum merepresentasikan kepentingan kaum pekerja rumah tangga. Hal ini memberikan pertanyaan bahwa DPR sebenarnya concern atau tidak dalam mengakomodir kepentingan pekerja rumah tangga.

Langkah Strategis

Stagnasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dari periode ke periode legislatif sudah menjadi rahasia publik. Tetapi merupakan cambuk untuk DPR dalam melaksanakan tugas, pokok, dan fungsi nya sebagai representasi dari rakyat. Dengan memaknai bagaimana skema sistem carry over atau RUU terusan dijalankan oleh DPR, kita dapat mengambil langkah strategis untuk mengurangi perspektif buruk dari publik kepada DPR sehingga legitimasi politik DPR tidak hilang.

Sistem carry over bukanlah solusi jangka panjang yang ideal. Penjadwalan agenda dalam penyusunan RUU prioritas pada Prolegnas dengan kontinuitas secara realistis. Serta pengelolaan waktu yang lebih efisien akan menggambarkan konsistensi dan komitmen DPR dalam keseriusan menyelesaikan RUU prioritas.

Memperkuat monitoring oleh semua pihak, termasuk kementerian, partai politik, organisasi masyarakat, akademisi dan lainnya terhadap proses pembentukan RUU. Agar setiap kebijakan yang dihasilkan dapat mewakili kepentingan rakyat sehingga kebijakan yang dihasilkannya memberikan dampak yang baik dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Berikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk terlibat aktif sebagai upaya peningkatan partisipasi publik dan meminimalisir kontroversi di masyarakat.***