Oleh: Jejep Falahul Alam (Ketua LTN NU Kabupaten Majalengka)
Kematian kembali mengetuk pintu kesadaran hati saya. Kali ini bukan datang dari kejauhan, melainkan dari tetangga sendiri. Sebuah duka yang terasa lebih dekat, lebih personal. Sebagai Ketua Rukun Tetangga (RT), saya hampir selalu hadir setiap kali ada warga yang meninggal dunia.
Tapi kali ini berbeda. Bukan sekadar tugas sosial, melainkan perenungan mendalam atas hakikat hidup itu sendiri.Yang menggugah hati saya bukan tentang kepergian warga, bahwa kepulangan ke tempat asal seorang hamba itu itu tidak membawakekayaan, jabatan, bahkan segala bentuk penghargaan dunia, tak pernah mampu menunda, apalagi menolak yang bernama ajal.
Pada akhirnya kematian pun berhasil memupus ilusi manusia. Rumah megah, jabatan mentereng, dan rekening berisi tak sanggup dibawa melewati batas nisan. Sebesar apapun kuasa dan pengaruh yang kita miliki, pada akhirnya hanya selembar kain kafan yang akan menyelimuti tubuh kita. Rumah yang akan kita tempati hanyalah sebidang tanah, tak lebih dari panjang badan.
Begitu banyak dari kita, termasuk saya sendiri, yang terjebak dalam pusaran rutinitas mencari dunia. Kita lupa bahwa semuanya hanya titipan. Ketika kematian datang, semua akan kembali pada asalnya. Kita hanya pergi dengan amal dan jejak kehidupan yang pernah kita perbuat.
Kematian Tak Mengenal Waktu
Pelajaran dari warga yang meninggal dunia kemarin. Almarhum sebelumnya sempat mengalami sakit serius, muntah darah dalam jumlah banyak. Namun kala itu, maut belum datang menjemput. Ia sembuh, lalu kembali menjalani hidup sebagaimana biasa. Tapi hidup, seperti juga ajal, tak bisa ditebak. Beberapa bulan kemudian, sakit itu kembali. Dan dalam kesendirian, tanpa suara, ia berpulang untuk selama lamanya.
Inilah pelajaran yang kerap kita abaikan. Bahwa kematian tak mengenal usia, kondisi, atau status. Ia bisa datang kapan saja, pada siapa saja. Tak ada notifikasi. Tak ada isyarat pasti. Sehat atau sakit, muda atau tua, semuanya memiliki giliran. Hanya waktu yang merahasiakannya.
Ketika jenazah dimandikan, dikafani, dishalatkan dan diantar menuju pemakaman untuk dikubur, saya menyaksikan betapa pentingnya hidup dalam kebersamaan. Masyarakat datang membantu, bertaziyah, tanpa pamrih. Dalam duka yang mendalam, cahaya kebersamaan itu menyala paling terang.
Inilah hakikat hidup bermasyarakat. Bahwa kita hidup tak bisa sendiri, dan mati pun tak bisa sendiri. Sehebat apapun kita semasa hidup, jika tak pernah bersosialisasi, tak akan ada yang peduli saat kita mati. Beruntung almarhum adalah pribadi yang dekat dengan masyarakat. Ia dimakamkan bukan hanya dengan doa, tapi dengan cinta.
Kehidupan Berputar dan Hidup Kembali
Setelah kematian, kehidupan dunia akan berjalan sebagaimana biasa. Kesedihan keluarga akan mereda, jabatan akan diwarisi, rumah akan dihuni, dan dunia akan melanjutkan denyutnya. Karena sejatinya, dunia ini tidak pernah bergantung pada satu nyawa.
Di titik ini, kita belajar bahwa hidup bukan tentang menahan waktu, tapi tentang mengisinya dengan hal-hal yang bermakna. Dunia tidak membutuhkan keabadian kita, tapi meninggalkan warisan kebaikan adalah cara untuk tetap hidup dalam kenangan.
Tidak semua orang yang mati menjadi lupa. Ada manusia-manusia pilihan yang justru makin dikenal setelah jasadnya membeku dalam tanah. Nabi Muhammad SAW, para sahabat, para wali, dan para ulama—semuanya telah tiada, tetapi namanya menjadi cahaya yang tak padam sampai kiamat, bahkan saat dibangkitkan kembali. Para hamba Allah yang mulia itu itu dikenang karena iman, ilmu, dan kemanfaatannya.
Lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita hidup hanya untuk dikenal saat masih ada, lalu dilupakan setelah tiada? Atau kita ingin nama kita tetap hidup dalam doa-doa keluarga dan masyarakat yang pernah merasakan kebaikan dari kita?
Jika ingin dikenang dan tetap ada meski raga terkubur tanah, maka hiduplah dengan memberi manfaat. Tak perlu menjadi orang besar. Cukup menjadi pribadi yang bisa membuat orang lain tersenyum, merasa dimengerti, dan didoakan. Jejak-jejak kebaikan akan lebih abadi dari gelar atau prestise. Amal yang ikhlas akan lebih kekal dari harta dan kedudukan yang dimiliki.
Seperti pohon yang berbuah, tetap memberi manfaat, meski telah tertimbun tanah. Mari kita siapkan bekal untuk perjalanan panjang di alam kubur dan akhirat kelak dengan beribadah. Karena pada akhirnya, bukan harta yang menyelamatkan kita, tapi amal serta keimanan dan ketaqwaan kita kehadirat Allah SWT. Aamiin.***