“Bapak adalah buku hidupku,” ungkap Wanti Susilawati. Berbeda dengan Ginaya Keisya, “Menulislah meskipun berantakan karena pada kesempatan lain dapat ditulis ulang,” ucap pelajar SMAN 1 Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. “Semua yang tersedia di pesantren adalah bahan bacaan,” Widia Nurjayanti, pelajar SMAN 5 Kota Tasikmalaya, menambahkan. Mereka berbagi praktik baik gerakan literasi dalam menumbuhkan minat baca pelajar.
Ketiganya merupakan narasumber dalam rangkaian Festival Literasi Sekolah III, Jakarta, 25 – 29 Juli 2019. Diskusi seputar Klub Baca, Buku Berkualitas, dan Dukungan Sekolah tersebut dimoderatori Ariful Amir, Sekjen PP FTBM Indonesia. Penyelenggara Festival Literasi Sekolah Kemdikbud RI, memberi kesempatan kepada mereka untuk berbagi di Gedung Insan Plaza Berprestasi, Kemdikbud RI, Jakarta.
Ketiga perempuan tersebut merupakan pegiat literasi yang tercatat sebagai penggerak di antara lembaga pendidikan dan komunitas. Mereka adalah generasi baru dalam kancah gerakan literasi di Tasikmalaya.
Apakah sekolah memberi ruang kepada para pelajar yang ingin berkembang? Seperti Ginaya Keisya (Konde Sartika/Titik Nol) dan Widia Nurjayanti (Mata Rumpaka) yang berinisitif mengasah diri melalui komunitas bacanya. Selain mereka, ada pula Wanti Susilawati (Penggerak Percisa) yang berusaha bangkit untuk menggali diri, anak-anak sekolah, dan menyatukan semangat pegiat di Tasikmalaya.
Penyelenggara Festival Literasi Sekolah Kemdikbud RI, memberi kesempatan kepada mereka untuk berbagi di Gedung Insan Plaza Berprestasi, Kemdikbud RI, Jakarta. Mereka tidak tiba-tiba diundang. Dalam rentang tiga bulan sebelum pelaksanaan, mereka telah berada dalam pantauan penyelenggara.
Kesempatan menjadi narasumber tingkat nasional bukan titik akhir dari gerakan literasi untuk mereka sendiri. Kehadiran mereka memang penting untuk memberi warna diskusi. Selain mengisi materi, mereka pun saling belajar dengan para pegiat literasi nasional.