OPINI

Mengakhiri Perdebatan Tahun Baru

×

Mengakhiri Perdebatan Tahun Baru

Sebarkan artikel ini

Aji Abdul Aziz M. Ag
Guru MAN Darussalam Ciamis, Jawa Barat.

Gegap gempita penyambutan tahun yang biasanya meriah, kali ini akan berbeda dan tak lagi mewah. Tak ada pesta kembang api yang menyala indah, karena semua harus tetap di rumah, demi menghindari wabah agar tak semakin parah.

Di akhir tahun, saat perayaan diadakan, selalu ada silang pendapat antar umat Islam di Indonesia. Ada yang merasa gembira akan perpindahan tahun dan ikut merayakannya dengan liburan ataupun pengajian.

Namun ada pula yang menganggap pergantian tahun ini sebuah kesia-siaan dan dianggap tidak penting. Bahkan ada pula yang melarang ikut merayakan tahun batu masehi karena dianggap penanggalan masehi itu milik agama lain.

Penyambutan tahun baru secara meriah, di hampir semua negara di dunia, dengan lonceng, kembang api, dan terompet sebagai ornamen utamanya, membuat beberapa kelompok muslim meyakini bahwa perayaan ini berhubungan dengan ajaran agama, sehingga merekapun mengharamkan kembang api dan terompet di tahun baru.

Lonceng sebagai lambang dari agama Nasrani, terompet dari agama Yahudi dan kembang api dari Majusi. Benarkah demikian? Sementara, ketika penyambutan tahun baru Isam, tak ada gegap gempita seperti itu, bahkan antusias umat muslim pun terbilang minim untuk merayakan tahun baru Islam. Atau barang kali memang harusnya seperti itu. Umat Islam merayakan tahun barunya dengan _muhasabah_ diri dan _tafaaul_, berdoa kepada Allah untuk peningkatan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

Penanggalan Solar dan Lunar

Sistem penanggalan sejatinya tidak selalu berhubungan dengan agama tertentu. Justru penanggalan distrukturkan dalam disiplin ilmu astronomi.

Ada perhitungan tanggal dengan matahari (solar) seperti Masehi, bulan (lunar) kombinasi matahari-bulan (luni-solar) seperti tahun baru Saka dan Cina.

Di Indonesia, tercatat terdapat beberapa penanggalan yang umum digunakan oleh masyarakat yaitu penanggalan Masehi, Tahun Hijriah, tahun Saka, Tahun Cina, dan penanggalan Jawa. Uniknya, setiap pergantian tahun untuk keempat penanggalan tersebut ditetapkan sebagai hari libur nasional. Hal ini sebagai bukti bahwa Indonesia memiliki kekayaan dan keberagaman budaya yang senantiasa dijaga oleh negara dan bangsa Indonesia sebagai manifestasi dari Bhineka tunggal Ika.

Penanggalan berdasarkan matahari berjumlah 365 hari atau 366 di tahun kabisat. Sementara penanggalan lunar berjumlah 354 hari sehingga ada selisih 11 hari dari kedua sistem penanggalan ini.
Hal ini, secara apik, tertuang dalam surat al-kahfi Ayat 25 yang artinya: _”Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)._” (Al Kahfi:25)

Ayat ini –melalui kata “ditambah sembilan tahun”– menyebutkan perbedaan antara penanggalan solar dan lunar yaitu dalam 3 abad selisih 9 tahun dengan kalkulasi (300×11) + 75 (untuk kelebihan hari di tahun kabisat) dibagi 354 hari, maka selisihnya adalah 9,5 tahun.

Akhir dari Perdebatan

Ada memang saudara-saudara kita yang merasa risih dengan penanggalan Masehi karena dianggap sebagai pengkultusan kepada Yesus (Nabi Isa AS) karena nama tahunnya (walaupun Yesus lahir sekitar 7 tahun sebelum Masehi), juga nama-nama bulannya yg diambil dari nama-nama dewa dan raja Romawi. Berbeda dengan tahun Hijriah yg nama bulannya diambil dari fenomena-fenomena alam kecuali bulan Muharram dan Dzulhijjah, Shafar yang artinya bulan kuning karena daun-daun menguning sebagai pergantian musim panas ke musim gugur, bulan Rabi’ pertanda bergugurannya daun, Jumad, sejalan dengan kebekuan di musim dingin, Rajab peralihan musim dingin ke musim semi, Sya’ban yang artinya lembah di mana orang-orang banyak pergi untuk bertani, Ramadan, Syawal dan Dzulqa’dah untuk fase musim panas.

Maka wajar jika sebagian muslim merasa tidak nyaman dengan penyematan nama tahun masehi dan bulan-bulannya yang diidentikkan dengan pengkultusan. Tapi bukan berarti harus menolak penanggalan Masehi, karena dasar peninggalannya pun sudah disebutkan di surat Yunus ayat 5 yang artinya: _”Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) Allah tidak menciptakan yg demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-NYA) kepada orang-orang yang mengetahui._” (Yunus:5).

Bangsa Arab awalnya menggunakan sistem penanggalan luni-solar atau gabungan dari sistem rotasi matahari dan bulan yang dimulai dari akhir Agustus/awal September, sehingga ada bulan ke-13 atau dalam ilmu falaq disebut bulan interkalasi.
Baru setelah ada penegasan dari Allah melalui Alqur’an ditetapkan menjadi 12 bulan. Dan tetap memiliki selisih 11 hari. Hal ini berdampak pada pelaksanaan ibadah terutama puasa dan haji yang terus berotasi.

Bagi kita yang tinggal di iklim tropis, tentu tidak akan merasakan perubahan dari gejala alam dan perubahan musim yang terjadi sehingga tidak mengalami masalah untuk berpuasa pada bulan apapun. Tapi bagi umat Islam yang tinggal di negara empat musim, selisih dan rotasi ini akan sangat bisa dirasakan. Inilah salah satu bentuk keadilan dan hikmah yang telah Allah siapkan. Oleh karena itu, Allah SWT menyebutkan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi semuanya bertasbih kepada-Nya. Kita pun meyakini bahwa bulan dan matahari tidak memiliki agama. Mereka berotasi atas perintah Allah dan sebagai bentuk tasbih kepada-Nya. Keduanya berkontribusi dalam penanda pelaksanaan ibadah. Jika bulan menjadi penanda ibadah puasa, maka matahari menjadi penanda waktu shalat.

Maka merasa gembira dan berdoa saat memasuki awal tahun dari penanggalan keduanya, hakikatnya adalah bentuk syukur kita kepada Sang Pencipta.

Apapun nama tahunnya, semoga tahun depan semakin lebih baik dan bumi segera pulih.
Apapun nama bulannya, yang penting gajian dan usaha semakin lancar, keluarga sehat dan bugar, semua cicilanpun terbayar.***