OPINI

Antara Celah Hukum dan Kekosongan Politik: Membaca Ulang Jabatan Wakil Kepala Daerah

×

Antara Celah Hukum dan Kekosongan Politik: Membaca Ulang Jabatan Wakil Kepala Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh Muhammad Sobari
Mahasiswa FISIP Universitas Galuh

Kekosongan jabatan Wakil Bupati Ciamis dalam beberapa waktu terakhir mengundang banyak pertanyaan. Mengapa jabatan itu dibiarkan kosong begitu lama? Adakah aturan yang dilanggar? Atau justru sistem hukum kita memang memungkinkan kekosongan itu terjadi?

Fenomena kekosongan jabatan wakil bupati di beberapa daerah merupakan isu yang tidak sekadar administratif. Melainkan mencerminkan problem struktural dalam sistem pemerintahan daerah. Meskipun secara yuridis tidak terdapat kewajiban eksplisit untuk segera mengisi posisi tersebut, kekosongan yang berlangsung dalam waktu lama menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas, akuntabilitas, dan legitimasi pemerintahan. Dalam konteks demokrasi yang sehat, keberfungsian seluruh elemen pemerintahan merupakan prasyarat mutlak bagi berjalannya pelayanan publik yang responsif dan berkeadilan.

Secara normatif, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 memang memberikan ruang prosedural untuk pengisian jabatan wakil kepala daerah. Namun, absennya batas waktu dan sanksi dalam regulasi tersebut justru membuka peluang bagi terjadinya kekosongan yang berkepanjangan. Ketentuan hukum yang bersifat prosedural tanpa muatan imperatif sering kali dimanfaatkan oleh aktor politik untuk menghindari tanggung jawab, sehingga menghasilkan stagnasi politik yang dilegalkan oleh sistem.

Kekosongan ini tidak hanya berdampak pada stabilitas pemerintahan daerah, tetapi juga mengganggu prinsip-prinsip good governance yang mensyaratkan partisipasi, efektivitas, dan kejelasan arah kebijakan publik. Ketika wakil kepala daerah tidak ada, terjadi kekosongan dalam fungsi representasi, koordinasi, dan pengambilan keputusan, khususnya dalam situasi ketika kepala daerah berhalangan. Hal ini membuktikan bahwa tata kelola pemerintahan tidak dapat sepenuhnya disandarkan pada satu figur, melainkan harus ditopang oleh sistem kepemimpinan yang kolektif dan fungsional.

Lebih jauh, kekosongan jabatan tersebut juga mencerminkan adanya defisit tanggung jawab politik dari partai pengusung maupun lembaga legislatif daerah. Ketika partai politik tidak segera mengusulkan calon pengganti dan DPRD bersikap pasif, maka demokrasi lokal kehilangan daya hidupnya. Demokrasi sejati menuntut keberanian untuk bertindak dalam kepentingan publik, bukan sekadar menjalankan prosedur secara mekanis. Oleh karena itu, sudah saatnya publik mempertanyakan: apakah kekosongan ini sekadar kelalaian teknis, ataukah gejala dari lemahnya komitmen terhadap etika demokrasi?

Dimensi Yuridis

Keberadaan dan pengisian jabatan wakil kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya pada Pasal 176 yang memuat mekanisme pengisian kekosongan jabatan. Pasal ini menjelaskan bahwa pengisian dilakukan berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk kemudian diproses lebih lanjut.

Namun, ketentuan tersebut tidak menyebutkan batas waktu atau sanksi apabila usulan tidak disampaikan. Ketidakjelasan ini menciptakan ruang interpretasi yang longgar dan membuka kemungkinan terjadinya kekosongan jabatan dalam waktu yang tidak terbatas.

Celah regulatif ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Terutama Pasal 24 yang menjabarkan prosedur pengisian jabatan wakil kepala daerah. Meskipun prosedur administratifnya cukup jelas, namun peraturan ini pun tidak memuat norma yang bersifat imperatif.

Dalam sistem hukum, ketiadaan norma bersifat peremptory (mengikat secara mutlak) menjadikan suatu kewajiban hukum kehilangan daya paksa. Sehingga pelaksanaan pengisian jabatan sangat bergantung pada kehendak politik para pihak terkait.

Ketiadaan norma hukum yang memaksa ini menunjukkan lemahnya legal enforcement dalam isu pengisian jabatan wakil kepala daerah. Dalam teori hukum modern, hukum tidak hanya dipahami sebagai sekumpulan aturan yang tertulis. Tetapi juga harus memiliki daya kerja (efficacy) untuk menciptakan keteraturan. Jika suatu aturan hanya bersifat prosedural tanpa mekanisme kontrol dan sanksi, maka ia tidak efektif sebagai instrumen perubahan sosial maupun penyelenggaraan pemerintahan.

Kekosongan jabatan yang dibiarkan berlarut-larut adalah konsekuensi logis dari ketidaktegasan hukum dalam mendorong aktor politik untuk bertindak.

Dengan demikian, dimensi yuridis dari persoalan ini mengindikasikan perlunya reformulasi norma hukum agar lebih preskriptif dan mengikat. Regulasi yang memuat tenggat waktu, kejelasan tahapan. Serta konsekuensi administratif bagi partai politik maupun DPRD yang abai adalah bentuk penguatan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Tanpa pembaruan regulasi yang komprehensif, kekosongan jabatan kepala atau wakil kepala daerah akan terus menjadi “ruang abu-abu” dalam sistem pemerintahan yang seharusnya transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan publik.

Secara hukum, memang tidak ada satu ketentuan yang secara eksplisit dan imperatif menyatakan bahwa jabatan wakil kepala daerah wajib diisi. Misalnya, dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hanya diatur mekanisme jika terjadi kekosongan (Pasal 176), bukan keharusan mengisi. Begitu pula dalam PP No. 12 Tahun 2018 Pasal 24, disebutkan bahwa pengisian dilakukan melalui usulan partai pengusung kepada DPRD. Namun tidak ditentukan tenggat waktu dan sanksi jika hal itu tidak dilakukan.

Namun di sinilah letak problematikanya. Tidak wajib secara normatif, tetapi menjadi krusial secara substantif. Dalam teori good governance yang dikembangkan oleh UNDP (1997), tata kelola pemerintahan tidak cukup hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan hukum formal (rule of law). Juga harus mempertimbangkan efektivitas, responsivitas, dan partisipasi.

Implikasi

Kekosongan jabatan wakil kepala daerah memiliki dampak serius terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Dalam kerangka good governance yang dikembangkan oleh UNDP (1997), pemerintahan yang baik tidak hanya mengacu pada kepatuhan terhadap prosedur hukum. Tetapi juga menekankan pentingnya efektivitas, partisipasi, akuntabilitas, dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat. Ketika salah satu unsur kepemimpinan daerah kosong dalam waktu lama, maka prinsip efektivitas dan keberlanjutan pelayanan publik turut terganggu. Hal ini bukan sekadar masalah administratif, tetapi juga menyangkut kapasitas institusional dalam menjalankan fungsi pemerintahan secara optimal.

Dalam praktiknya, kekosongan jabatan wakil kepala daerah dapat menyebabkan stagnasi dalam pengambilan keputusan strategis. Fungsi-fungsi penting seperti koordinasi lintas sektor, pelimpahan tugas saat kepala daerah berhalangan. Hingga representasi pemerintah dalam forum resmi menjadi terganggu. Ketidakhadiran figur wakil bupati misalnya, dapat mengakibatkan tertundanya pelaksanaan agenda-agenda penting daerah. Seperti rapat koordinasi dengan legislatif, kunjungan kerja, maupun kegiatan pelayanan masyarakat. Situasi ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja birokrasi, yang dalam jangka panjang berdampak pada legitimasi pemerintahan itu sendiri.

Lebih lanjut, ketidakseimbangan struktur pemerintahan akibat kekosongan ini juga berimplikasi pada beban kerja dan tekanan administratif terhadap kepala daerah. Dalam sistem pemerintahan daerah yang ideal, pembagian peran antara bupati dan wakil bupati merupakan bentuk efisiensi manajerial. Tujuannya mempercepat pencapaian program dan kebijakan publik. Ketika beban kerja tidak dibagi secara proporsional, efektivitas pelaksanaan program pembangunan bisa menurun. Tidak hanya itu, pengawasan internal terhadap perangkat daerah juga berpotensi melemah karena tidak adanya pembagi peran kepemimpinan dalam eksekutif.

Dari perspektif kelembagaan, kekosongan jabatan wakil kepala daerah menciptakan disfungsi struktural yang menghambat pelaksanaan prinsip checks and balances secara internal. Jabatan wakil kepala daerah sejatinya bukan hanya pelengkap, tetapi aktor kunci dalam menjaga kesinambungan kepemimpinan dan daya respons pemerintah daerah terhadap dinamika publik. Oleh karena itu, pengisian posisi ini tidak semestinya dibiarkan tergantung pada preferensi politik jangka pendek, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga keberlangsungan sistem pemerintahan yang sehat dan profesional.

Wakil kepala daerah bukan hanya simbol struktural, tetapi aktor penting dalam memastikan kesinambungan kepemimpinan dan keberlanjutan pelayanan publik. Fungsi delegasi kekuasaan, pembagian tugas, serta keterlibatan dalam pengambilan keputusan menjadi terbatas jika jabatan ini dibiarkan kosong. Apalagi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa rapat-rapat strategis di DPRD pernah tertunda karena Bupati berhalangan hadir, dan tidak ada sosok wakil yang bisa menggantikan.

Perspektif Institusional

Dalam kerangka teori institusional yang dikemukakan oleh March dan Olsen (1989), keberadaan lembaga dan jabatan formal dalam pemerintahan tidak hanya berfungsi sebagai sarana administratif, tetapi juga sebagai simbol legitimasi dan stabilitas politik. Jabatan wakil kepala daerah merupakan bagian dari struktur kelembagaan yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan, kesinambungan pemerintahan. Serta jaminan terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Ketika jabatan ini dibiarkan kosong tanpa batas waktu yang jelas, maka yang terganggu bukan hanya fungsi teknis pemerintahan, tetapi juga keutuhan simbolik dari sistem kelembagaan itu sendiri.

Ketidakterisian struktur kepemimpinan daerah akan memperlemah kapasitas institusi dalam merespons dinamika sosial dan politik secara cepat dan adaptif. Fungsi-fungsi kelembagaan tidak dapat sepenuhnya berjalan apabila tidak diisi oleh personel yang sah secara hukum dan politik. Dalam konteks daerah, wakil kepala daerah tidak hanya menjadi pembantu kepala daerah, tetapi juga mitra strategis dalam pelaksanaan visi dan misi pembangunan daerah. Kekosongan posisi tersebut membuat institusi pemerintahan daerah tidak berada dalam posisi siap siaga yang optimal, terutama dalam menghadapi krisis atau kebutuhan pengambilan keputusan yang mendesak.

Lebih dari itu, keberadaan jabatan wakil kepala daerah juga berperan dalam menjaga dinamika internal birokrasi. Dengan adanya dua figur pimpinan dalam eksekutif daerah, proses supervisi terhadap perangkat daerah, serta pembinaan koordinasi antarsektor dapat dilakukan secara lebih menyeluruh. Ketidakhadiran wakil kepala daerah menyebabkan konsentrasi kekuasaan terpusat pada satu individu (kepala daerah), yang dalam beberapa situasi dapat menimbulkan ketidakseimbangan kontrol serta membatasi ruang dialog internal di lingkungan pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi institusional yang menjunjung kolaborasi dan saling mengawasi dalam pelaksanaan tugas pemerintahan.

Oleh karena itu, perspektif institusional menekankan bahwa pengisian jabatan wakil kepala daerah harus dipahami sebagai bagian dari kebutuhan menjaga institutional integrity. Kekosongan jabatan bukan sekadar masalah teknis atau kekosongan administratif, tetapi merupakan ancaman terhadap kapasitas adaptif dan legitimasi lembaga publik. Dalam konteks ini, reformulasi kebijakan dan konsolidasi aktor politik menjadi penting untuk memastikan bahwa setiap elemen dalam struktur pemerintahan berfungsi sebagaimana mestinya, demi menjaga stabilitas pemerintahan dan kepercayaan publik yang berkelanjutan.

Etika Demokrasi

Kekosongan jabatan wakil kepala daerah selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, merupakan gejala melemahnya komitmen politik terhadap keberlangsungan pemerintahan yang sehat. Dalam sistem demokrasi lokal, aktor utama seperti partai politik pengusung dan DPRD seharusnya memiliki tanggung jawab langsung dalam menyelesaikan persoalan struktural semacam ini.

Ketika tidak ada upaya aktif untuk mengusulkan dan memproses pengisian jabatan, maka yang muncul adalah pembiaran sistemik yang bertentangan dengan semangat demokrasi partisipatif. Demokrasi yang baik tidak hanya ditentukan oleh proses elektoral lima tahunan, tetapi juga oleh kemampuan aktor politik dalam menjalankan amanat rakyat secara berkelanjutan.

Tanggung jawab politik bukan sekadar peran formal yang terikat oleh mekanisme hukum, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab moral dalam menjaga keberfungsian pemerintahan. Ketika partai pengusung menghindar dari kewajiban mengusulkan calon wakil kepala daerah dengan berbagai alasan politik atau strategi elektoral, mereka sesungguhnya mengabaikan mandat publik yang diberikan melalui pemilu. Demikian pula, ketika DPRD sebagai lembaga representasi rakyat tidak menunjukkan itikad untuk mendorong percepatan pengisian jabatan, mereka gagal menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan atas jalannya roda pemerintahan daerah.

Dalam perspektif etika demokrasi, setiap kekuasaan publik harus dijalankan berdasarkan prinsip keadilan, tanggung jawab, dan keterbukaan. Etika ini menjadi fondasi yang membedakan demokrasi prosedural dengan demokrasi substantif. Kekosongan jabatan yang dipertahankan dalam jangka waktu panjang, tanpa ada upaya penyelesaian yang jelas, merupakan bentuk ketidakadilan terhadap warga yang berhak mendapatkan pemerintahan yang utuh dan efektif. Dengan kata lain, ketidakaktifan dalam mengisi jabatan wakil kepala daerah merupakan pelanggaran terhadap tanggung jawab etis sebagai pemangku kekuasaan publik.

Oleh karena itu, sudah saatnya aktor-aktor politik lokal meninggalkan sikap pragmatis dan lebih mengedepankan etika demokrasi dalam pengambilan keputusan. Pengisian jabatan wakil kepala daerah tidak boleh lagi diperlakukan sebagai kepentingan transaksional antarelite, tetapi sebagai kebutuhan sistemik dalam memastikan stabilitas pemerintahan dan kelangsungan pelayanan publik. Dalam konteks ini, publik juga memiliki peran penting sebagai kekuatan pengawas demokrasi: memberikan tekanan sosial dan politik agar kekuasaan dijalankan secara bertanggung jawab, transparan, dan berpihak pada kepentingan umum.

Kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang dibiarkan tanpa kepastian bukan hanya menunjukkan celah hukum atau ketidakefisienan sistem, melainkan menjadi gambaran jelas bahwa politik kita belum sepenuhnya berpijak pada nilai tanggung jawab. Dalam masyarakat demokratis, jabatan publik bukan sekadar posisi administratif, tetapi merupakan mandat rakyat yang harus dijalankan secara penuh. Ketika satu elemen dalam struktur pemerintahan dibiarkan kosong terlalu lama, maka sesungguhnya ada ruang kosong dalam pelayanan, pengawasan, dan keberpihakan terhadap masyarakat itu sendiri.

Sebagai warga negara, kita tidak bisa terus-menerus pasif di hadapan politik yang diam. Masyarakat harus mulai memahami bahwa demokrasi bukan hanya urusan memilih lima tahun sekali, tetapi juga mengawasi dan menagih kinerja para wakilnya setiap hari. Ketika partai politik tidak menjalankan perannya, ketika DPRD tidak mengambil inisiatif, maka tekanan moral dari masyarakat sipil menjadi sangat penting. Kesadaran kolektif ini harus tumbuh, bahwa kekuasaan yang tidak dijalankan dengan tanggung jawab adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Politik yang sehat bukan hanya milik elit, tetapi hak dan tanggung jawab seluruh warga negara. Kekosongan jabatan bukan sekadar urusan segelintir pejabat, tetapi urusan kita semua sebagai bagian dari sistem yang hidup dan bekerja untuk rakyat. Nilai-nilai seperti transparansi, akuntabilitas, dan keadilan hanya akan hadir jika publik terus bersuara, menolak pembiaran, dan menuntut pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara.

Maka, membiarkan jabatan publik kosong sama halnya dengan membiarkan negara berjalan pincang.
Kini saatnya masyarakat tidak hanya menjadi penonton demokrasi, tetapi bagian aktif dari perbaikannya. Dengan menyadari bahwa setiap kekosongan jabatan menyisakan kekosongan pelayanan, kita didorong untuk bertindak: bertanya, menuntut, dan mengawal. Sebab di tengah politik yang diam dan hukum yang lentur, suara rakyat yang sadar dan terorganisir adalah harapan terakhir untuk menjaga martabat demokrasi kita.***