ORKES Melayu Sinar Remaja. Tak jauh dari Pasar Lama Tasikmalaya. Tahun 1950-an, di kawasan Cieunteung ada sebuah rumah penuh dengan tumpukan sandal jepit. Setiap hari, tampak beberapa orang perajin sibuk membuat sandal berlabel “Waskon” di sana.
Saat itu persaingan tak seketat sekarang. Industri sandal rumahan itu mampu menghasilkan berkodi-kodi setiap minggunya. Walaupun tidak begitu besar, sebaran sandal Waskon cukup bagus. Bahkan, sempat berkembang dan mengeluarkan produk sandal lain berlabel Iwa.
Sandal Waskon dan Iwa bentuknya merakyat. Karena memang dibuat dengan teknologi yang sangat sederhana. Namun kesederhanaan kadang-kadang mengejutkan. Siapa nyana di antara tumpukan sandalitu lahir Orkes Melayu yang masih melenggang selama empat generasi.
Sandal Waskon
LABEL sandal itu adalah nama pemilik rumah, Waskon Waskendar almarhum. Sedangkan label sandal yang satu lagi dari nama putra sulungnya, Iwa Somantri. Sandal khas buatan Tasik umumnya nikukur, menyebut si empunya modal. Sekarang pun masih begitu.
Baca juga: Pertama Pentas, Asal Bisa Makan
Ada suasana segar di ‘pabrik’ sandal Waskon ketika itu. Di sela-sela kesibukan, Waskon dan para perajinnya kerapkali tatabeuhan dengan menggunakan alat musik sederhana. Mengusir kepenatan dengan bernyanyi.
Kebiasaan itu hampir setiap hari dilakukan. Malah saking asyiknya bermusik, pekerjaan kadang-kadang terlupakan. Musik adalah sihir. Waskon pun menikmatinya. Namun untung saja ada juga perajin yang tak begitu fasih bermain musik. Jadi tak sampai melumpuhkan aktivitas membuat sandal.
Awalnya iseng
AWALNYA memang iseng. Namun diam-diam alunan musik Melayu di rumah Waskon seperti tak tertahan lagi. Rupanya darah seni mengalir pula dari ayah Waskon, Bah Rusli, yang piawai membeset rebab di sebuah Lingkung Seni Sunda.
Terbersit dalam benak Waskon untuk membentuk grup dangdut. Karena perangkat musik — walaupun masih sederhana — dianggapnya sudah memadai. Nama “Sinar Remaja” belum muncul saat itu. Pertamakali Waskon menamai grupnya “Sinar Harapan”.
“Mungkin karena saat itu harapan Bapak sedang bergelora,” kata Si Sulung Iwa Somantri, saat ditemui Priangan di Cieunteung, Rabu (23/10). Si Bungsu, Lilis Waskendar pun ikut menemani perbincangan sore itu.
Iwa tampak santai, mengenakan t-shirt dan bercelana pendek. Rambutnya dipangkas cepak seperti tentara. Padahal, saat membuka album foto yang disodorkan Lilis. Penampilan Iwa tak seperti itu. Rambutnya gondrong bercelana cut bray. Ia hanya tersenyum melihat foto-foto itu. Kenangan lama seolah hadir kembali di hadapannya.
Sepicing matanya seolah menyimpan perjalanan panjang yang melelahkan. Ia merogoh sebungkus rokok dari saku celana. Mengambil satu batang. Lantas setengah melempar, bungkus rokok yang masih penuh itu ia simpan di atas meja. Sekilas bola matanya mengikuti asap rokok isapan pertama.
Kenangan itu semakin tajam. Seperti gambar berlembar-lembar. Iwa mulai menuturkan perjalanan grup dangdut yang pernah berjaya pada era 1980 sampai 1990-an itu. “Ada kisah yang menyenangkan, lucu, dan juga menyedihkan,” katanya. Penasaran?
[Bersambung]