KAPOL.ID – Empat penulis memandang, memotret, dan mendokumentasikan peristiwa dalam bungarampai “Tasikmalaya dalam Sepenggal Masa”.
Para Doktor dari empat kampus di Tasikmalaya itu — Asep Chahyanto, Dedi Sufyadi, Erlan Suwarlan, dan Maulana Jannah — merumuskan pandangannya dalam buku kompilasi setebal 400 halaman. Memuat 56 artikel terpilih yang diterbitkan di Surat Kabar Priangan dari tahun 2006 sampai 2016.
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Tasikmalaya bekerjasama dengan Kelompok Penulis dan Pembaca Surat Kabar Priangan (KP2SP) menggelar bedah buku itu di Graha Muliapermana, kampus STIA Tasikmalaya, Sabtu (11/1/2020).
Menghadirkan empat narasumber untuk memantik diskusi. Dari akademisi, Dr. Adi Kurnia, dan Dr. Asep Salahudin, MA, Budayawan Acep Zamzam Noor, dan pegiat literasi, Duddy RS. Dipandu seniman, Ashmansyah Timutiah.
Adi Kurnia mengapresiasi buku itu sebagai ruang kreativitas. Walau pun benang merah atau keterkaitan antara satu artikel dengan artikel lainnya masih samar. Tapi tradisi menulis sangat penting untuk kampus.
Menurut Acep Zamzam Noor buku ini mencerminkan Tasikmalaya yang paradoks. “Saya menolak klaim Tasikmalaya Kota Santri. Tasik bukan Kota Santri. Tapi Kota Dangdut,” katanya.
Buku ini sangat penting untuk refleksi. Merumuskan dan merawat identitas kota. Setiap perubahan yang terekam bisa dijadikan bahan pelajaran untuk masa depan.
“Saya berharap keempat dosen yang menulis dalam buku ini terus berkarya. Merespon perkembangan Tasikmalaya mutakhir. Jangan berhenti sampai di sini,” katanya.
Asep Salahudin memandang buku itu bisa mengungkap Tasikmalaya penuh dengan anomali. Dibayangkan bisa menjadi perhatian publik dan para pemegang kebijakan.
“Opini mendayung antara subjektivitas dan objektivitas. Di tangan empat penulis ini Tasikmalaya tidak semata geografis, tetapi menjadi, Tasik yang kultural, Tasik yang religius,” ujar Dr. Asep Salahudin.
Kehilangan ideologis, kehilangan orientasi dan merumuskannya kembali pada sepenggal masa pascareformasi menurutnya bisa ditelisik dari opini yang terhimpun dalam buku bunga rampai yang diterbitkan Yayasan Mata Pelajar Indonesia (YMPI) itu.