KAPOL.ID – ERC (Educational Research and Consulting) kembali menggelar diskusi terbuka pada hari Rabu, 14/12/2022 di cafe Kobar, Jakarta Timur. Diskusi kali ini mengangkat tema “Konsisten Berkarya dan Pentingnya Kampanye Digital” yang berkolaborasi dengan komunitas Grow Bareng, Cut The Threat, Gedung C, dan Cafe Kobar.
Dayad, selaku moderator mengatakan bahwa peperangan antar narasi di jagat sosial media hari ini, nyatanya dimenangkan oleh kelompok ‘receh’ yang nyaris nihil akan pesan apalagi makna, namun berhasil mempengaruhi hampir seluruh manusia Indonesia. Sementara narasi-narasi progresif tertimbun dan jarang kelihatan di permukaan. “Hal ini tentunya akan berakibat pada kebudayaan dan peradaban Indonesia di masa depan” tambahnya.
Secara historis, terdapat perbedaan antara manusia di masa ini dan masa lalu kaitannya dengan konsumsi informasi. Menurut Kang Ai, pada awal-awal berkembangnya teknologi, informasi disajikan melalui media yang sifatnya terbatas. Sehingga masyarakat hanya mendengarkan atau membaca informasi yang telah terjadwalkan. Sementara sekarang, masyarakat secara mandiri dapat mengkonsumsi informasi apapun yang dikehendakinya. “Melimpahnya kolam-kolam informasi saat ini menjadi simbol bahwa masyarakat memiliki segmentasi kecenderungan yang beragam” ucap inisiator kelas multikultural itu.
Hal tersebut dikuatkan oleh Tommy Wibowo, founder Cut The Treat, yang mengajak untuk tidak terlalu khawatir akan fenomena viralitas saat ini. Sebab menurutnya, setiap sesuatu mempunyai marketnya masing-masing. “Tidak semua orang suka dengan yang lagi viral sekarang” imbuhnya.
Selain itu, Rifqi Argya, seorang mahasiswa DKV Paramadina mengusulkan untuk menggiatkan penciptaan karya yang selanjutnya dapat dikampanyekan secara massif ke masyarakat. “Salah satu upaya untuk menggerakkan para pemilik ide progresif lainnya dan sekaligus sebagai gerakan penyeimbang narasi-narasi receh tadi” ucap mahasiswa yang juga tergabung dalam komunitas Gedung_C ini.
Senada dengan hal tersebut, Faisal Reza, owner Grow Bareng, mengatakan untuk tidak melupakan aspek apresiasi setiap tindakan orang yang hendak atau telah berkarya. Menurut pengalamannya, apresiasi dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi pada diri seseorang dan kehendak kuat untuk berkarya yang lebih banyak lagi.
Pemantik terakhir disampaikan oleh Vania, seorang mahasiswi sekaligus senimas lukis yang menyampaikan bahwa karya-karyanya merupakan hasil curahan hatinya. Keresahan akan perlakuan oknum yang mengecualikan dirinya dan kelompoknya dalam kehidupan sosial pada akhirnya menjadi salah satu penyemangat untuk ia menyampaikan pesan-pesan melalui karya.
Diskusi berjalan dengan hangat. Beberapa peserta yang saling berbagi resah satu sama lain menjadikan forum diskusi ini sebagai titik temu keresahan dan semangat perbaikan bersama untuk kedepannya. Persoalan menandingi narasi-narasi ‘receh’ di awal pada akhirnya memerlukan narasi-narasi penyeimbang yang bersifat progresif demi kemajuan peradaban Indonesia. Narasi itu berbentuk kekaryaan yang diproduksi secara kreatif dan dikampanyekan secara massif pada dunia digital.
“Sejatinya, eksistensi manusia tidak hanya dilihat secara fisik berupa tubuh saja, melainkan juga dengan apa yang ia sudah buat (karya). Jika dunia sudah melayani kita dengan berbagai kemudahannya, maka apa yang bisa kita hidangkan untuk melayani dunia?” pesan Ai Nurhidayat untuk peserta diskusi.