Oleh Dr. Maulana Janah, MA
Staf pengajar Sosiologi IAI Cipasung
Doktor dalam bidang Antropologi dan Sosiologi Agama
Pemilihan kepala daerah langsung yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 di Kabupaten Tasikmalaya memiliki makna penting dalam perjalanan demokrasi ditingkat lokal.
Makna penting demokrasi lokal itu berkaitan dengan seberapa besar kesadaran masyarakat dalam demokrasi tersebut untuk ikut berpartisipasi memberikan hak pilihnya di tengah bayang-bayang krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi yang serba sulit dan serba dibatasi. Sosialisasi yang menjadi dasar dari normalnya kehidupan seseorang pada saat ini banyak dibatasi seolah-olah mereka terkekang dan terkerangkeng dalam penjara dunia tanpa jeruji.
Pola hidup harus beradaptasi dengan kebiasan baru karena ketakutan akan bahaya menularnya virus corona. Kondisi ini juga diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak jelas dalam penanganannya, terkesan menyederhanakan masalah yang pada akhirnya semakin mempersulit kondisi masyarakat saat ini.
Penanganan covid 19 yang tidak jelas tersebut mengakibatkan kondisi ekonomi masyarakat semakin sulit hal ini dibuktikan dengan tingkat daya beli masyarakat yang menurun drastis.
Bahkan, dibeberapa perusahaan tertentu jam kerja dikurangi yang berakibat pada upah kerja pegawai tidak sesuai standard. Disisi lain, banyaknya pengangguran menunjukan betapa sulitnya lapangan pekerjaan pada masa sekarang ini.
Pemilihan kepala daerah memiliki makna penting dalam melahirkan pemimpin berkualitas yang memiliki orientasi untuk melahirkan tujuan demokrasi yaitu kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Orientasi ini penting karena selama ini demokrasi lokal hanya dipahami sebagai ajang hajatan daerah semata yang tidak berdampak terhadap perbaikan kehidupan masyarakat. Kemakmuran dan kesejahteraan sebenarnya ending dari semua perdebatan tentang demokrasi.
Jika hal ini tidak bisa diwujudkan maka demokrasi hanya sebatas rutinitas yang menjenuhkan. Oleh karena itu, para pelaku dalam demokrasi seperti partai politik, para calon, penyelenggara, dan masyarakat perlu menyadari tentang tujuan dari demokrasi tersebut.
Catatan penting dalam perjalanan pilkada Kabupaten Tasikmalaya dimulai sejak tahun 2006, tahun 2011, dan tahun 2015. Selama rentang waktu 15 tahun tersebut, pasca pelaksanaan pilkada semestinya semua stake holder, terutama calon atau kandidat bupati harus semakin dewasa dan matang dalam mewujudkan tujuan demokrasi yaitu pembangunan yang pro rakyat dan pro kemakmuran.
Melihat kondisi yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa catatan penting dalam melihat pilkada di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun ini.
Pertama, kondisi beban ekonomi masyarakat yang semakin sulit akan banyak mempengaruhi cara pandang dan sikap mereka dalam melihat dan menakar para calon bupati yang ada sekarang ini. Pada posisi ini masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk mengukur siapa calon yang berkualitas dan memiliki visi pro rakyat dan pro kemakmuran.
Bahkan bisa jadi masyarakat semakin pragmatis dalam melihat calon pemimpinnya sehingga segala sesuatunya akan diukur oleh seberapa besar para calon bupati memberikan keuntungan materi kepada mereka. Realitas ini akan semakin memperkuat slogan “siapa yang memberi dialah yang akan dipilih”.
Kedua, suka tidak suka pada saat ini seluruh masyarakat dihadapkan pada kondisi yang tidak normal akibat Covid 19. Dengan kondisi yang tidak normal ini, maka tantangan dalam merealisasikan pilkada yang berkualitas dan berintegritas menjadi semakin jauh dari kenyataan namun bukan berarti mustahil, perlu kerja keras dari penyelengara (KPU) dan masyarakat.
Tanda-tanda pilkada yang tidak berkualitas bisa dilihat dalam proses yang selama ini berjalan, apakah sesuai dengan jadwal mulai dari proses pentahapan sampai pada proses pelaksanaan atau memang sebaliknya.
Tampaknya, akibat Covid 19 ini hal-hal teknis akan banyak ditemukan dilapangan seperti persoalan data pemilih tetap (DPT), tempat pemungutan suara (TPS) yang harus sesuai dengan protokol kesehatan atau penambahan dan pengurangan TPS yang berakibat pada anggaran pilkada.
Ketiga, para calon bupati masih disibukan oleh politik pencitraan dalam bentuk politik identitas keagamaan dan golongan sebagai akibat dari pembelahan dan residu Pilpres pada tahun 2019, mereka lupa bahwa pola seperti ini tidak produktif bahkan cenderung memicu konflik dan memecah belah sesama anak bangsa.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya mereka keluar dari pola pencitraan politik identitas dan menggesernya ke dalam pola politik adu gagasan tentang arah pembangunan Kabupaten Tasikmalaya.
Dalam konteks ini, satu pertanyaan penting bagi para calon dalam pilkada yang akan datang ini adalah apakah mereka mau mewujudkan tujuan demokrasi yaitu terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat atau hanya sebatas memperjualbelikan identitas agama untuk kepentingan pribadi dan golongannya agar dilabeli agamis tidak agamis?
Dalam tulisan ringkas ini, penulis hanya ingin mengingatkan bahwa selama ini demokrasi hanya dipahami sebatas melaksanakan amanat perundang-undangan tetapi tidak mampu atau mungkin lupa bahwa ada tugas demokrasi yang sangat mulia yaitu mewujudkan kemakmuran.
Akhir dari semua pernak pernik demokrasi adalah rakyat harus diberikan jaminan kemakmuran itu. Selama ini, antara demokrasi dan kemakmuran terjadi gap yang cukup jauh.
Sebab kenyataannya demokrasi banyak menelan anggaran yang bermilyaran tetapi mengapa di daerah terpencil atau dipelosok tertentu masih banyak sekolah-sekolah yang jelek, kesejehteraan guru yang minim, akses transfortasi yang sulit, serta hal-hal lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang masih bermasalah.
Oleh karena itu, demokrasi seharusnya mampu ‘memanusiakan manusia’ dan ‘memartabatkan manusia’ dengan membangun kesejahteraan dan kemakmuran untuk semua golongan, ras, etnik dan agama agar gap antara demokrasi dan kemamuran bisa ditekan tidak terlalu jauh. Semoga.