OPINI

Masa Depan Raja Ampat, Antara Konservasi atau Eksploitasi

×

Masa Depan Raja Ampat, Antara Konservasi atau Eksploitasi

Sebarkan artikel ini

Oleh Alifa Zahra Eka Putri
Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Galuh

Surga dunia dengan segala gugusan pulau, air sebening kaca dan terumbu karang paling kaya di dunia. Raja Ampat, kini bentang alam surgawi itu terancam berubah menjadi kawasan industri tambang nikel.

Meskipun sebagian besar wilayah Raja Ampat dilindungi secara hukum namun beberapa perusahaan tambang ilegal maupun legal mulai mengekspansi wilayah Papua Barat. Bahkan, beberapa perusahaan mengklaim mengantongi izin resmi kini mulai masuk ke wilayah-wilayah yang berada di bawah otoritas masyarakat. Banyak keputusan yang diambil tanpa keterlibatan masyarakat adat di dalamnya.

Hal ini menunjukan bahwa Raja Ampat sedang berada dalam persimpangan yang sangat menentukan. Di satu sisi konservasi menjanjikan masa depan lestari dan berkelanjutan untuk masyarakat lokal. Di sisi lain langkah eksploitasi yang menjanjikan keuntungan ekonomi jangka pendek namun dengan resiko kerusakan permanen.

Berdasarkan data kementrian ESDM, setidaknya ada 5 titik pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat yang telah mengantongi izin. Diantaranya berada di pulau kecil seperti Gag dan Kawe. Pernyataan tersebut banyak menimbulkan pertanyaan: bagaimana izin-izin itu bisa terbit?

Secara legal, sebagian besar perusahaan telah memenuhi dokumen AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), dan IUP eksplorasi, secara administratif mereka sah. Namun hal ini belum tentu etis, pulau-pulau tempat tambang beroperasi merupakan bagian dari kawasan konservasi laut global. Dan tidak sedikit pula yang masuk kategori pulau kecil.

Menurut UU No. 1 Tahun 2014, kegiatan tambang seharusnya tidak dilakukan di pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Keputusan ini bukan dibuat tanpa alasan, karena pulau kecil memiliki daya dukung lingkungan yang terbatas dan kerusakannya bisa berdampak menyeluruh. Apalagi di wilayah ini dihuni oleh masyarakat adat yang sehari-harinya bergantung pada kehidupan ekosistem laut dan hutan. Dengan demikian, perdebatan tentang legalitas izin tidak bisa berhenti pada persoalan dokumen tapi harus diperluas menjadi soal keadilan ekologis.

Transisi hijau

Pemerintah berdalih bahwa nikel penting untuk transisi energi, bahan baku baterai mobil listrik. Namun argumen tersebut menjadi paradoks: bagaimana sebuah “transisi hijau” dimulai dengan kerusakan lingkungan yang masif? Transisi energi bukan hanya soal mengganti bahan bakar fosil dengan baterai listrik. Tetapi juga tentang merubah cara kita memperlakukan bumi dan sumber alamnya. Jika dalam prosesnya terdapat pola eksploitasi, maka sesungguhnya yang kita lakukan bukanlah masa depan hijau melainkan hanya kelanjutan dari model ekonomi yang lama.

Pendekatan pemerintah terhadap transisi energi seringkali mengabaikan prinsip keadilan sosial dan ekologis. Kurangnya transparansi membuat masyarakat lokal jarang dilibatkan dalam proses perencanaan dan juga pengambilan keputusan. Mereka berada di posisi yang sangat rentan terhadap dampak ekploitasi lingkungan seperti kehilangan mata pencaharian bahkan kehilangan indentitas.

Kondisi ini menciptakan sebuah paradoks besar, pemerintah berbicara tentang masa depan yang berkelanjutan namun dibangun dengan cara-cara yang sama sekali tidak bersifat berkelanjutan. Jika transisi energi tidak membawa perubahan paradigma, maka transisi “hijau” hanya akan menjadi hiasan politik semata.

Fakta

Fakta menujukkan bahwa izin tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui ESDM, berada di beberapa pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, Batang Pele dan Manuran. Secara teknis memang pulau-pulau ini tidak masuk ke dalam zona konservasi inti. Namun secara administratif dan ekologis, pulau-pulau ini tetap menjadi bagian dari ekosistem Raja Ampat yang saling terhubung. Wilayah inti konservasi Raja Ampat mencakup kawasan-kawasan dengan status Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Cagar Alam, atau Taman Laut yang dilindungi dan dilarang untuk eksploitasi SDA ekstraktif seperti pertambangan.

Pulau-pulau seperti Gag dan Kawe memang tidak termasuk zona koservasi inti. Tetapi pulau-pulau tersebut memiliki kawasan hutan lindung dan berada di jantung ekosistem Raja Ampat. Apalagi disana dihuni oleh masyarakat adat yang bergantung langsung pada laut dan hutan. Mengapa hal ini menjadi masalah? Meskipun pertambangan tidak dilakukan di zona konservasi inti, tetapi aktivitas di sekitarnya tetap sangat berisiko, limbah tambang dan alih fungsi lahan bisa menyebar ke kawasan inti.

Raja Ampat bukan ekosistem yang bisa terbagi begitu saja antara “zona aman” dan “zona tambang”. Lautnya satu, arusnya terhubung dan biota nya bergerak bebas melintasi batas administratif. Aktivitas tambang bahkan jika dilakukan di luar kawasan inti bisa tetap membawa resiko yang serius.

Gelombang penolakan

Desakan kepada pemerintah untuk menghentikan secara permanen segala bentuk pertambangan di wilayah Raja Ampat semakin memanas dan tidak bisa lagi dianggap sebagai suara minoritas. Desakan ini tidak hanya berasal dari kelompok aktivis lingkungan namun juga dari masyarakat adat bahkan masyarakat Indonesia.

Mencuatnya tagar #SaveRajaAmpat yang ramai di media sosial menunjukan bahwa begitu banyaknya desakan dari masyarakat yang menjadi simbol perlawanan kolektif. Berbagai pihak menilai pertambangan tidak dilakukan di kawasan konservasi inti. Tetapi tetap sangat berisiko merusak ekosistem Raja Ampat secara keseluruhan. Hal ini diperburuk oleh minimnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum lingkungan.

Banyak pihak mendesak pemerintah daerah maupun pusat untuk segera mencabut seluruh izin pertambangan di wilayah Raja Ampat. Dan menetapkannya sebagai wilayah bebas tambang secara permanen. Tuntutan ini sebenarnya bukan suatu hal ekstrem melainkan bentuk pertanggungjawaban. Sejalan dengan komitmen konservasi dan transisi hijau yang sudah sering disebut oleh pemerintah. Hal ini juga merupakan langkah nyata untuk membangun kepercayaan masyarakat bahwa keberlanjutan dan keadilan ekologis. Bukan hanya sekedar hiasan politik semata..

Bukan kompromi, tapi komitmen di tengah tekanan ekonomi, kebutuhan pembangunan, dan tuntutan perlindungan lingkungan. Munculah pertanyaan: adakah jalan tengah yang memungkinkan keseimbangan antara keberlanjutan dan kesejahteraan? Mungkin tidak sedikit dari kalian menjawabnya dengan kompromi seolah sedikit kerusakan alam bisa ditoleransi demi pembangunan. Padahal dalam konteks ekosistem yang rapuh seperti Raja Ampat, kompromi semacam itu justru menjadi titik awal dari sebuah kehancuran.

Jawabannya bukan terletak pada kompromi yang membiarkan kerusakan itu terjadi, melainkan keberanian untuk mengambil keputusan yang tegas dan juga visioner. Penetapan Raja Ampat sebagai kawasan bebas tambang permanen bukan hanya penting secara ekologi. Juga sebagai simbol komitmen dan bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menjaga harta karun lautnya.

Raja Ampat bukan hanya sekedar gugusan pulau atau objek wisata. Tetapi merupakan simbol dari apa yang masih bisa kita jaga di tengah krisis situasi saat ini, kepunahan dan keserakahan manusia. Pilihan yang dapat kita ambil saat ini, apakah tetap melindunginya atau justru membiarkannya tereksploitasi. Hal itu akan berdampak jauh ke depan, tidak hanya untuk masyarakat lokal tetapi juga dunia.***