KAPOL.ID –
Kabupaten Purwakarta menyimpan segudang peninggalan sejarah yang berhubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perjalanan nenek moyang terdahulu.
Dari hasil inventarisasi Dinas Pemuda Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan (Disporaparbud) setempat, di wilayah ini ada sedikitnya 26 kawasan cagar budaya. Kebanyakan, bersifat kebendaan peninggalan sejarah.
Kepala Disporaparbud Kabupaten Purwakarta, Agus Hasan Saepudin menuturkan, kawasan cagar budaya ini tersebar di sejumlah wilayah.
Adapun cagar budaya ini, diantaranya berupa situs, sumber mata air purba, makam nenek moyang, hingga bangunan-bangunan bersejarah.
“Kawasan Cagar Budaya ini tersebar. Di wilayah kota pun ada. Kebanyakan, itu makam leluhur,” ujar Agus, belum lama ini.
Agus menjelaskan, untuk di wilayah kota, cagar budaya ini berupa bangunan-bangunan tua. Di antaranya, Masjid Agung Purwakarta, Gedung keresidenan atau yang saat ini jadi kantor Bakorwil, Gedung Kembar di sekitar stasiun, Gedung Negara atau kantor bupati dan Pendopo, serta Situ Buleud.
Selain di wilayah kota, ada juga yang tersebar di sejumlah wilayah lainnya. Misalnya, Goa Jepang di Kecamatan Kiarapedes, Situs Pangcalikan dan Batu Peti yang berdekatan dengan Waduk Jatiluhur, serta beberapa mata air purba.
Menurut Agus, keberadaan kawasan Cagar Budaya ini perlu dilestarikan keberadaannya. Karena, lokasi ini memiliki nilai penting bagi sejarah, baik untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, atau sejarah kebudayaan. Pihaknya pun turut membantu dalam hal penataannya.
Sementara itu, Masjid Agung Purwakarta adalah termasuk satu di antara sekian banyak cagar budaya yang ada di wilayah ini.
Selama ini masjid besar yang lokasinya persis berada di sekitar perkantoran Pemkab Purwakarta itu juga kerap dijadikan lokasi wisata. Ya, wisata religi tentunya.
Apalagi, di masjid yang selama ini jadi ikon kabupaten tersebut, juga terdapat makam sang tokoh penyebar agama Islam. Adalah Baing Yusuf atau ulama besar yang memiliki nama asli RH Moch Yusuf itu.
Tak heran, jika selama ini hampir setiap hari banyak peziarah yang mendatangi makam Baing Yusuf. Mereka datang dari dalam dan luar kota. Bahkan, di waktu-waktu tertentu yang berziarah itu sampai puluhan bus.
Menurut cerita, RH Moch Yusuf atau lebih dikenal dengan Baing Yusuf, merupakan salah seorang tokoh ulama penyebar agama Islam di era 1800-an. Kini, Baing Yusuf sudah wafat. Akan tetapi, peninggalannya tetap abadi dan selalu dikenang oleh kaum muslimin.
Masjid Agung Purwakarta sendiri, merupakan salah satu peninggalan bersejarah Baing Yusuf. Bahkan, kuatnya ikatan antara sang ulama dengan masjid tersebut, sampai tempat peristirahatannya pun tak jauh dari masjid tersebut.
Pengurus Masjid Agung Baing Yusuf Purwakarta, RH Sanusi AS membenarkan, jika selama ini Masjid agung dan makam Baing Yusuf ini kerap menjadi tujuan wisata religi bagi masyarakat. Tak hanya masyarakat lokal, para peziarah pun banyak di antaranya dari luar kabupaten.
“Masjid Agung, juga menjadi salah satu tujuan wisata religi di Purwakarta,” ujar Sanusi.
Dari silsilahnya, lanjut dia, Baing Yusuf merupakan tokoh ulama kelahiran Bogor 1700-an. Ia datang ke Purwakarta, sekitar 1820.
Saat itu, pusat pemerintahan Karawang berada di wilayah Wanayasa. Konon kabarnya, Baing Yusuf ini merupakan masih keturunan Raja di Kerajaan Padjajaran.
Pada 1826, lanjut Sanusi, Baing Yusuf mulai membangun masjid. Masjid tersebut, saat itu masih berada di tengah hutan belantara.
Karena, pusat pemerintahan saat itu bukan di pusat Purwakarta. Melainkan, jauh ke wilayah selatan, yakni tepatnya di Alun-alun Wanayasa.
Kemudian, pada masanya dijadikan tempat syiar kajian Islam di wilayah Purwakarta. Apalagi, saat itu pemeluk agama Islam masih sangat jarang.
“Sejak kecil, beliau memang sudah sangat cerdas. Menurut cerita, pada usia belia Baing Yusuf sudah fasih Bahasa Arab.”
“Lalu, saat usia 12 tahun, beliau hafal Al Quran. Bahkan, beliau pernah belajar Islam di Makkah, Arab Saudi,” cerita Sanusi.
Namun, meskipun fasih berbahasa arab berdasarkan sejarah, syiar Islam dengan bahasa sunda. Apalagi, saat itu masyarakat Purwakarta belum mengenal dan memahami bahasa latin, bahasa arab, ataupun bahasa jawa kuno.
Bukti penyebaran Islam dengan bahasa sunda, yaitu dari kitab fikih dan tasawuf yang disusunnya. Meskipun tulisannya pakai bahasa arab, kitab tersebut diterjemahkan dalam bahasa sunda.
Pada 1830-an, lanjut Sanusi, pusat pemerintahan pindah dari Wanayasa ke Purwakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini, semakin berkembangnya penyebaran agama Islam.
Apalagi, keberadaan Masjid Agung ini sangat strategis. Yakni, berdekatan dengan pusat pemerintahan (kantor bupati) dan kesininya dekat dengan lembaga pemasyrakatan (Lapas).
“Baing Yusuf konon pernah menjadi murid Syekh Campaka Putih atau Pangeran Diponegoro,” ujarnya.
Tak hanya itu, Baing Yusuf juga banyak muridnya. Salah satunya, Syekh Nawawi Al Bantani, pengarang kitab asal Banten. Jejak sejarah Baing Yusuf ini, kini semakin banyak digandrungi masyarakat.
Masyarakat dari berbagai daerah, menyempatkan diri untuk menunaikan shalat baik shalat wajib maupun sunah di Masjid Agung Baing Yusuf.
Tak ketinggalan, warga juga menziarahi makam Baing Yusuf dan para muridnya. Mengingat, komplek pemakaman tersebut jaraknya hanya 100 meter dari Masjid Agung. (*)